Langgam - Kegaduhan mewarnai hari-hari pasca pencoblosan 17 April kemarin. Kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden saling klaim kemenangan.
Alih-alih menunggu hasil penghitungan suara manual (real count) resmi dari KPU, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor urut 02 Prabowo Subianto - Sandiaga S. Uno, maupun tim sukses pasangan nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi) - Ma'ruf Amin, sama mendeklarasikan kemenangan dengan referensi berbeda.
Meski hasil quick count dari lembaga-lembaga survey terverifikasi KPU, menunjukkan persentase kemenangan justru diraih pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin, nyatanya pasangan Prabowo-Sandi tidak bergeming.
Malah sejumlah lembaga survey telah dilaporkan ke kepolisian, dengan dalih pembohongan publik.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Humum Universitas Andalas, Feri Amsari menyebut, jika memperhatikan kegaduhan elit dan jagat maya, maka potensi sengketa akan terjadi dalam dua cara.
Pertama, sengketa inkonstitusional, berupa pengerahan massa untuk menganggu proses demokrasi yang sedang berlangsung. Atau, menciptakan ketidaknyamanan berupa pelaporan-pelaporan pidana kepada lembaga survey atau pihak-pihak yang berbeda pandangan dengan kubu tertentu.
Kedua, jalur konstitusional di Mahkamah Konstitusi, yang mengajukan perselisihan hasil Pemilu.
"Pada perselisihan ini diperlukan bukti yang kuat untuk memenangkan persidangan. Jika merasa bukti tidak kuat maka biasanya akan beralih kepada langkah-langkah inkonstitusional yang membuat gaduh," jelas Feri tempo hari.
Feri menyarankan kepada kedua kubu agar persiapan bukti benar-benar terukur dimana perselisihan itu harus berujung pada mempengaruhi hasil.
"Jika cuma hal-hal minor berupa kecurangan kubu tertentu atau kekhilafan kecil penyelenggara tapi tidak mampu mempengaruhi hasil maka tidak akan mengubah hasil yang telah ditetapkan KPU nantinya," tandas Feri.
Menurutnya, satu bulan menuju hasil real count KPU, kedua belah pihak benar-benar harus matang mempersiapkan bukti-bukti tersebut.
Feri juga mengatakan, potensi sengketa pileg akan lebih banyak, karena kursi yang direbutkan lebih banyak. "Logikanya semakin banyak petarung yang bermain, semakin meningkat potensi sengketa," imbuhnya.
Namun, sambung Feri, bukan berarti banyak kasus akan membawa bukti yang kuat. "Biasanya sengketa di MK lebih didorong sisi emosional calon dibandingkan kesiapan akan data dan fakta yang benar-benar baik," katanya.
Terkait dengan polemik lembaga survei, Feri berpendapat, lembaga survei yang menyampaikan hasil quick count di banyak televisi merupakan lembaga yang telah terverifikasi organisasi survey dan diakui KPU keberadaannya. (OSH)