Insya Allah, tanggal 22 April 2020, Pemerintah Sumatera Barat akan menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan yang berat memang, karena dampaknya jelas. Di antaranya tentang cara memenuhi kebutuhan hidup yang tak dapat ditunda selama pemberlakuan PSBB.
Banyak sektor informal mengeluh, bagaimana mereka bisa mencari meski sekedar untuk menutupi pungguang nan tak basaok, kapalo nan tasingkok (kebutuhan pokok). PSBB diyakini betul akan membatasi ruang gerak mereka.
Boleh jadi PSBB punya konsekwensi anggaran. Pemprov Sumbar katanya sedang mengoordinasikan persiapan anggaran dan operasionalisasi jaring pengamanan sosial untuk kabupaten dan kota di wilayahnya, termasuk membantu kabupaten dan kota yang belum memiliki persiapan untuk penerapan PSBB.
Timbullah pangana (pemikiran) Tan Rajo Khairul Anwar, Koordinator PID KPW2 P3MD Provinsi Sumatera Barat menawarkan agar masyarakat Sumatera Barat kembali kepada kearifan lokal.
“Dalam hal ini saya menawarkan, disamping bantuan pemerintah dan bantuan pihak lain yang bisa dimanfaatkan masyarakat desa. Masyarakat desa diminta kembali pada kearifan lokal sesuai dengan kondisi desa dan nagari,” tulisnya di portal berita inioke.com (16 April 2020).
Katanya ada empat langkah penguatan untuk kebutuhan penanganan covid-19 di desa dan nagari. Pertama; membebankan pada keluarga inti. Kedua, memberi tanggung jawab kepada kaum a untuk menyelamatkan anggota kaumnya. Ketiga; Apabila kaum kewalahan, peran ini akan diambil oleh suku. Keempat, Sekiranya suku tidak mampu juga, maka diambil alih oleh kampung ataupun desa dan nagari. Hmm, boleh juga.
Seruan dari Dalam
Seruan serupa juga acap terdengar sebelumnya. Seruan ini tentu tidak berangkat ruang kosong. Pastilah ini berasal dari seruan dari masa lampau, menjadi memori kolektif, kenangan yang masih berbekas dalam ingatan masyarakat Minangkabau.
Hampir dapat dipastikan, yang menyerukan itu adalah orang Minangkabau yang terikat batinnya, terlibat dalam denyut budaya (cultural engagment) dengan Minangkabau. Seruan ini mestilah pula dianggap sebagai seruan dari dalam (a soul calling).
Akan halnya tawaran Tan Rajo Khairul Anwar tadi merupakan tawaran simpatik agar kembali kepada kearifan lokal, yIkatan sosial berbasis teritorial dirasa kurang sanggup mengatasi beban anggaran akibat pandemi Covid-19, apalagi bila PSBB dijalankan.
Tawaran ini teramat pas dan Qur'anic. Perintah agama juga begitu. Simaklah pesan Al Quran ini “Peliharah dirimu dan keluargamu dari api neraka. (Q.S. At Tahrim, 66:6). Baik neraka di akhirat nanti, maupun neraka kecil akibat pandemi Covod-19 ini.
Bagi Masyarakat, seruan ini sekaligus menjadi dalil sosiologis mengembalikan elan vital susunan masyarakat Minangkabau yg berbasis genealogis konjugal. Periksalah, pengelompokan masyarakat Minangkabau mulai dari tingkat rumah, paruik, kaum hingga suku, adalah pengelompokan berbasis kerabat genealogis.
Pengelompokan berbasis wilayah teritorial baru tersua di tingkat nagari. Itupun berupa konfederasi suku, sesuai dengan syarat mendirikan nagari di Minangkabau. Tersua aturan ini dalam Tambo. “Nagari baampek suku, dalam suku babuah paruik. Kampuang ba nan tuo. Rumah batungganai.”
Sebagai penguat ikatan kekerabatan berbasis suku, Minangkabau yang berkerabat menurut garus ibu (matrilineal) juga punya sebentuk keluarga yang lain yang berkerabat kepada garis ayah. Itulah yang disebut keluarga bako.
Artinya, Minangkabau sebenarnya sudah punya modal sosial (social capital) dalam sistem kekerabatan yang dibangun oleh para penggagas adatnya. Hanya saja, kemauan menjalankan sistem ini saja yang perlu disegerakan.
Momentum Kembali Berkaum-kaum
Membaca Minangkabau kadang tak populer. Bisa dituduh orang glorifikasi, hagiografi, romantisme, maratoki cirik anyuik dan sebagainyo. Mereka tak menyadari mengkaji Minangkabau adalah mengkaji “barang iduik” yang masih ada. Istilah sosiolognya, meneliti Dinamic Group yang unsur aktif serta spirit yang manggerakkan masyarakat ini masih terlihat hidup.
Kata Prof Hazairin (1968) sejak Minangkabau dijajah Belanda, belum ada contohnya nagari yang betul-betul dapat membangkitkan kekuasaan pemerintahan adatnya dalam kondisi yang sebenarnya, sesuai apa yang dituturkan oleh tambo mereka.
Meskipun demikian bukan berarti cara hidup beradat mereka sebenar-benar hilang. Orang Minangkabau lebih percaya, bahwa keluarga matrilineal mereka adalah sebuah organ yang lebih dapat diandalkan dalam mengatasi keadaan. Tak ada tempat mengadu yang lebih selesa (nyaman) selain kepada keluarga.
Sudah lama sekali sistem ini terbenam. Rusli Amran dalam bukunya Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang (1981:187) memastikan sejak diumumkannya Plakat Panjang oleh Belanda tanggal 25 Oktober 1833, merupakan awal hancurnya cara hidup beradat. Organisasi sosial berbasis kekerabatan dialahkan oleh organisasi poitik berbasis teritorial, yaitu angku Lareh dan Pangulu Basurek yang bekerja sebagai perpanjangan tangan Belanda.
Boleh jadi banyak kasus di mana ikatan kerabat matrilineal ini hancur lebur akibat keserakahan dan pengkhianatan onum-okonum di dalam kaum. Sebagaimana ditulis oleh Dt Sutan Maharadja (1903) “Inilah djaman2 pengkhijanatan para penghoeloe terhadap kaoemnja. Djaman2 dimana lebai lebih mulja daripada mamak poesaka. Dimana datoek2 adalah kepala soekoe rodi atas anak kemanakannja. Lebih pandjang soengoetnja dari pada toean belanda.”
Kasus-kasus seperti itu mesti dipahami sebagai kesalahan orang-orang yang menjalankannya. Bukan karena kesalahan sistem. Kesalahan-kesalahan oknum bukanlah alasan yang tepat untuk menyalahkan sistem.
Orang Minangkabau mesti menyadari bahwa organisasi sosial berbasis suku adalah basis civil society yang paling jelas. Sebab, fakta kerasnya, ndak ado manusia nan ndak badunsanak, ndak ado manusia nan ndak bakarik-karik. (tak ada manusia yang tak bersaudara, tak ada manusia yang tak berkerabat). Karenanya, menghidupkan kembali organisasi sosial berbasis kaum lebih relevan.
Usaha ini agaknya lebih realistis dibanding membuat masyarakat palsu yang berdiam di balik tanda pagar (tagar) #SayaIndonesiaSayaPancasila. Entah siapa datuk kepala sukunya. Musim corona sekarang, entah kemana mengirapnya. Wirid dan amalan Pancasilanya tak ada rupanya.
Begitu timbul pangana untuk kembali ke pelukan kaum, mestinya disambut gembira. Apatah pula, Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2018 tentang Nagari konon sudah ada. Meski ahli-ahli hukum masih berdebat tentang hal-hal prosedural, lupakan saja. Sebab, ikatan sosial kekerabatan Minangkabau tak tergantung hidup matinya kepada Perda.
*Muhammad Nasir adalah Dosen Fakultas Adab & Humaniora UIN Imam Bonjol Padang