Mengganti "Setelan Cuek" dengan Setelan Santri

Keistimewaan Hari Jumat

Ilustrasi - Umat Islam sedang membaca Alquran. [Foto: Pixabay.com]

Oleh: Fatahilla

"Jika engkau mendidik anakmu hanya untuk dunIa, maka dia akan kehilangan akhirat, tapi jika engkau mendidiknya untuk akhirat, maka dunia akan turut serta." (Imam Al-Ghozali)

Kutipan Imam Al-Ghazali ini bukan cuma sekadar nasihat klasik, tapi makin terasa relevan di zaman sekarang. Di tengah dunia yang makin cepat, sibuk, penuh distraksi digital, banyak anak muda justru merasa kosong. Mereka kehilangan arah, hidup dalam tekanan sosial media, terjebak dalam budaya instan. Di sisi lain, banyak orang tua mulai merasa resah. Sekolah formal memang penting, tapi apakah cukup untuk membentuk anak yang kuat secara karakter dan mental? Apakah cukup hanya dengan nilai rapor, tanpa ada fondasi nilai hidup yang kokoh?

Ternyata, jawaban itu mulai ditemukan di tempat yang dulu kerap dianggap kuno yaitu pesantren. Fenomena ini bukan asumsi semata. Data dari Kementerian Agama RI mencatat bahwa jumlah santri meningkat dari 3,9 juta pada 2019 menjadi lebih dari 4,5 juta pada 2023. Jumlah pesantren kini telah menembus angka 36 ribu lebih di seluruh Indonesia. Ini bukan sekadar statistik, tapi cerminan dari perubahan cara pandang masyarakat terhadap pendidikan.

Kini, pesantren tak lagi dianggap sebagai alternatif cadangan, tapi justru mulai dilihat sebagai pilihan utama. Orang tua melihat bahwa di pesantren, anak-anak belajar lebih dari sekadar pelajaran di kelas. Mereka diajak menjalani hidup yang terstruktur: bangun subuh, shalat berjamaah, belajar kitab, berinteraksi sosial, disiplin waktu, dan jauh dari candu gadget.

Bagi sebagian orang, sistem seperti ini mungkin terdengar keras. Tapi justru di situlah letak kekuatannya. Anak-anak belajar mengatur waktu, mengelola emosi, menghargai keberadaan sesama, dan membangun kesadaran spiritual. Mereka tidak hanya pintar secara teori, tapi juga tahan banting secara mental.

Bahkan, kini banyak pesantren yang tidak hanya fokus pada pendidikan agama, tapi juga mengembangkan kurikulum yang menyatu dengan pendidikan umum, bahkan teknologi dan bahasa asing. Beberapa pesantren memiliki program kewirausahaan, tahfidz digital, sampai robotik. Pesantren sudah bertransformasi. Mereka bukan tempat yang tertinggal zaman, tapi justru menjadi pionir pendidikan karakter di zaman serba cepat ini.

Hal yang menarik, model pendidikan ala pesantren kini juga mulai diadopsi oleh sekolah umum. Munculnya Islamic Boarding School adalah buktinya. Sekolah-sekolah ini mencoba menggabungkan nuansa pesantren dengan kurikulum nasional dan pendekatan modern. Ini membuktikan bahwa nilai-nilai dari pesantren tidak ketinggalan zaman justru sangat dibutuhkan oleh zaman.

Di era ketika banyak anak muda lebih kenal tren TikTok daripada nilai tanggung jawab, pesantren hadir sebagai ruang yang menghadirkan ketenangan, makna, dan tujuan hidup. Menjadi santri bukan berarti mundur dari dunia, tapi justru menyiapkan diri untuk menghadapinya dengan lebih matang dan terarah.

“Waktu itu seperti pedang. Jika kamu tidak pandai memanfaatkannya dengan baik, maka ia akan memanfaatkanmu.” Ungkapan klasik ini seolah jadi alarm di tengah generasi muda yang mudah larut dalam waktu luang tanpa arah. Dan sistem asrama di pesantren justru mengajarkan bagaimana waktu bisa jadi teman, bukan musuh. Mereka dibentuk untuk tahu kapan harus berjuang, kapan harus istirahat, dan kapan harus berdoa. Ini adalah nilai-nilai hidup yang tidak selalu bisa diajarkan oleh sistem pendidikan formal biasa. Menjadi santri bukan sekadar pilihan untuk “anak-anak alim” atau “calon ustaz”. Santri hari ini adalah calon pemimpin masa depan yang dibekali disiplin, spiritualitas, dan ketangguhan karakter.

Kita hidup di zaman di mana semuanya berjalan cepat, tapi tidak semua orang tahu ke mana mereka sedang menuju. Maka, memilih jalur pendidikan yang mendidik hati, bukan hanya pikiran, adalah investasi terbaik. Dan mungkin, “setelan santri” adalah jawaban bagi mereka yang mulai lelah dengan setelan cuek, setelan instan, dan setelan tanpa arah. Ini bukan soal pakaian. Ini soal cara berpikir. Karena masa depan bukan tentang siapa yang paling viral, tapi siapa yang paling siap. (*)

Fatahilla (Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang)

Tag:

Baca Juga

Ribuan Santri di Lubuk Basung Gelar Pawai Obor
Ribuan Santri di Lubuk Basung Gelar Pawai Obor
139 Santri Tamat dari MTI Canduang Tahun Ini
139 Santri Tamat dari MTI Canduang Tahun Ini
Langgam.id - Windu Nuril Ilahi tamatan Ponpes Nurul Yaqin Ringan-ringan bertarung dalam pemilihan Putri Hijab Nusantra tahun 2022.
Windu, Guru Kitab Kuning Asal Kota Padang Wakili Sumbar di Ajang Putri Hijab Nusantara
Langgam.id - Polres Ponorogo menetapkan dua orang tersangka dalam kasus meninggalnya santri Pondok Pesantren (Ponpes) Gontor Mlarak Ponorogo.
Polisi Tetapkan 2 Tersangka Kasus Meninggalnya Santri Gontor, Seorang di Antaranya Asal Sumbar
IZI Sumbar Berbuka Bersama Santri Surau Al Qur'an RAS
IZI Sumbar Berbuka Bersama Santri Surau Al Qur'an RAS
Pemprov Sumbar Upayakan Santri Berprestasi Kuliah di Timur Tengah
Pemprov Sumbar Upayakan Santri Berprestasi Kuliah di Timur Tengah