Konflik Buaya-Manusia di Sumbar Mencapai 12 Kali Setahun, BKSDA Ungkap Penyebabnya

Cari Ikan di Sungai, Seorang Warga Agam Meninggal Diterkam Buaya, bksda

Ilustrasi kemunculan buaya. (Foto: polettix/pixabay.com)

Langgam.id - Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) mencatat, konflik buaya dan manusia di Sumatra Barat (Sumbar) mencapai 12 kali dalam setahun terakhir. Konflik tersebut makin sering terjadi karena habitat buaya dipenuhi pohon kelapa sawit.

Kepala BKSDA Sumbar Ardi Andono mengatakan, konflik antara manusia dan buaya tersebut tersebar di Kabupaten Agam, Pasaman, dan Pasaman Barat. Dalam catatan BKSDA, konflik itu terjadi sepanjang Januari 2022 sampai Maret 2023.

Menurutnya, konflik itu terjadi karena daerah yang biasa menjadi tempat tinggal buaya sudah dipenuhi pohon sawit. "Lokasi-lokasi sawit itu dulu adalah tempat tinggal dan tempat berkembang biak ataupun tempat singgah buaya. Dari hulu sungai itu saat ini sudah dipenuhi pohon sawit, jadi buaya tidak dapat lagi mencari makan dan singgah di lokasi tersebut," katanya saat dihubungi langgam.id, Minggu (2/4/2023).

Ia mengatakan, buaya memerlukan tempat khusus untuk membesarkan anak serta berburu. Di lokasi-lokasi buaya, menurutnya, saat ini tidak ada lagi makanan yang jadi mangsa, seperti babi hutan, kera, beruk ataupun burung-burung yang biasanya memenuhi lokasi tersebut.

Ia dan timnya juga sudah memberikan saran pada masyarakat yang daerahnya yang sering terjadi konflik, agar berbagi ruang dengan buaya.

"Lokasi tersebut jangan semuanya dijadikan lahan sawit. Kami amati daerah tersebut banyak tanah yang seharusnya daerah buaya, tapi yang terjadi saat ini lokasi tersebut menjadi lahan sawit."

Menurutnya, berbagi ruang dapat dilakukan misalnya dengan menanam pohon yang berbuah di lokasi tersebut, agar hewan-hewan yang biasa menjadi makanan buaya kembali ke sana. "Kalau juga tidak berbagi ruang konflik ini akan terus terjadi sampai kapanpun," ujarnya.

Ardi juga mengimbau agar warga menghindari aktivitas di wilayah potensial sarang buaya. Masyarakat di sejumlah lokasi yang berkonflik dengan buaya, menurutnya, masih banyak berkegiatan sehari-hari di sungai. Kegiatan itu mulai dari mandi sampai buang hajat di sungai tersebut.

Ia melihat baru masyarakat Tiku, Lima Jorong (Agam) yang baru beradaptasi dengan hal tersebut. "Masyarakat perlu memiliki sumur dan toilet sendiri. Agar menghindari konflik ini," tuturnya.

Sementara, masyarakat di daerah Sasak dan Kinali (Pasaman Barat) masih sering berkegiatan di sungai yang pontesial menjadi sarang buaya. "Masyarakat di sana masih sering mandi dan berkegiatan lebih di sungai," katanya.

Ia juga menyebut tidak semua buaya di sungai merugikan. Hanya ada beberapa buaya yang menyerang manusia saat hewan reptil itu kawin sampai membesarkan anaknya. Pada masa-masa itu, menurutnya, buaya akan merasa terganggu dengan kehadiran manusia. Jadi ia berharap pada masyarakat agar lebih memahami lagi hal ini.

"Proses reproduksi hingga beranak buaya ini terjadi di bulan November sampai April. Sehingga ini menjadi masa-masa kritis antara buaya dan manusia berkonflik. Mengenai konflik ini, kami juga sudah membentuk tim yang namanya WRU BKSDA Sumbar yang berfungsi untuk mengevakuasi buaya yang membahayakan manusia," tuturnya.

Ia juga meminta masyarakat juga berperan aktif membantu tim BKSDA. "Buaya yang membahayakan manusia biar kami evakuasi. Agar konflik ini dapat dihindaari," ujarnya.

Selama ini, menurutnya saat terjadinya konflik antara buaya dan manusia tim BKSDA selalu menurunkan alat khusus untuk mengevakuasi buaya tersebut.

Alat tersebut mulai dari alat kandang jepit dan perangkap terapung yang lebih aman untuk buaya itu sendiri. "Jadi kami ingatkan lagi, tidak semua buaya itu mengangu walau ia berukuran besar. Karena besar buaya itu butuh proses juga, jadi tidak sembarangan buaya menganggu manusia," katanya.

Ia menjelaskan, hewan liar yang diamankan BKSDA, harus dikembalikan pada tempatnya yang tidak mengganggu manusia. "Kami meminta (juga) pada pemerintah setempat bisa memberikan tanda yang wilayah tersebut ada buaya. Agar masyarakatnya yang berkegiatan di sana dapat teredukasi," ujar Ardi.

Konflik antara buaya dan manusia di Sumbar, menurutnya, sudah memakan tiga korban meninggal dunia di Kabupaten Pasaman Barat. Daerah itu mulai dari Kinali dua orang dan di Sungai Beremas satu orang pada satu hari yang lalu.

Sebelumnya Rifandi (13), pelajar yang hilang saat mandi di Sungai Batang Sikabau Nagari Air Bangis Kecamatan Sungai Beremas, Kabupaten Pasaman Barat, akhirnya ditemukan dalam keadaan meninggal dunia, Sabtu (1/4/2023).

Rifandi ditemukan sekitar 15 kilometer dari lokasi kejadian pada pukul 10.16 WIB. Sebelumnya korban dan dua temanya mandi dilokasi tersebut pada Kamis 30 Maret sekitar pukul 16.00 WIB. Namun nahas, Rifaldi diterkam buaya saat berkegiatan di sungai tersebut. (Afdal/SS)

Baca Juga

Kabag Ops Polres Solok Selatan, AKP Dadang Iskandar resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penembakan yang menewaskan Kasat
Pelaku Polisi Tembak Polisi Dijerat Pasal Pembunuhan Berencana, Terancam Hukuman Mati
Komisi III DPR RI akan mendatangi Polda Sumatera Barat (Sumbar) dan Polres Solok Selatan untuk meninjau langsung kasus penembakan yang
Komisi III DPR RI Akan ke Sumbar, Tinjau Kasus Polisi Tembak Polisi di Solok Selatan
Kapolda Sumatra Barat (Sumbar), Irjen Pol Suharyono menegaskan akan mengambil langkah tegas dalam menangani kasus penembakan yang menewaskan
Kasus Penembakan di Polres Solsel, Kapolda Upayakan Pemberhentian Tidak Hormat Kepada Pelaku
Kapolda Sumatera Barat (Sumbar), Irjen Pol Suharyono, mengonfirmasi kasus penembakan yang melibatkan dua perwira polisi di Solok Selatan.
Kapolda Sumbar: Kasus Penembakan di Solok Selatan, Tersangka Sudah Diamankan
Diduga Persoalan Tambang Ilegal, Kasat Reskrim Polres Solok Selatan Tewas Ditembak Rekannya
Diduga Persoalan Tambang Ilegal, Kasat Reskrim Polres Solok Selatan Tewas Ditembak Rekannya
Semen Padang vs PSM Berakhir Imbang
Semen Padang vs PSM Berakhir Imbang