Larangan bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk mengadakan acara buka bersama menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Pelbagai narasi muncul, termasuk retorika bahwa Presiden Jokowi sebagai anti-Islam.
Terus terang, pengalaman beberapa tahun terakhir menunjukkan bagaimana acara buka puasa (ifthar) yang diselenggarakan oleh kantor-kantor pemerintah biasanya berubah menjadi pesta besar. Jarang sekali acara ifthar ini dalam ukuran kecil, bahkan banyak juga ditemukan sebuah instansi mengadakannya lebih sekali untuk mengakomodasi pemangku kepentingan sebanyak mungkin, termasuk wartawan.
Para undangan akan pulang dengan hadiah atau oleh-oleh yang lumayan. Benar bahwa acara buka bersama ini mencakup shalat tarawih dan taushiyah oleh para dai terkenal, tetapi sulit dinafikan bahwa acara ifthar ini tak lepas dari simbol-simbol kemewahan.
Acara buka puasa bersama, yang juga dilaksanakan oleh kalangan swasta dengan skala yang tak kalah besarnya, hanyalah salah satu contoh bagaimana Ramadhan saat ini telah kehilangan sisi spiritualitasnya.
Bukan lagi kontradiksi bahwa umat Islam (yang berjumlah 88 persen dari total 280 juta warga Indonesia) justru makan paling banyak selama Ramadhan. Ini dibuktikan oleh angka inflasi bulanan yang selalu tertinggi saban Ramadhan. Pemerintah sangat menyadarinya. Karenanya pemerintah selalu menyediakan kebutuhan pokok bagi rakyat untuk bulan Ramadhan, kapan perlu dengan mengimpor.
Sebetulnya, pesta makan-makan besar sudah dimulai beberapa minggu sebelum Ramadhan. Kegiatan ini berlanjut dengan acara buka bersama di kantor, perusahaan, hotel atau di restoran, sepanjang bulan Ramadhan. Ini berlanjut saat dan seusai perayaan Idul Fitri, yang dikenal dengan halal-bihalal.
Benar bahwa acara ini menyantuni dan memberi makan orang miskin, sebagaimana Islam memerintahkan penganutnya melakukan hal yang sama selama Ramadhan. Tetapi melihat betapa besar penyelenggaraan acara dan pesta tersebut oleh para pejabat atau ASN, kita dengan gampang melihat bahwa mereka memberi makan diri mereka sendiri.
Bagi hotel dan restoran, Ramadhan adalah masa panen. Mall, toko serba ada, dan mini market beroleh durian runtuh karena masyarakat banyak membelanjakan uangnya. Tren ini tidak khas untuk Islam, karena kita juga mengamati spanduk penjualan besar-besaran yang sama di banyak toko menjelang Natal dan Imlek. Begitu juga tradisi mudik untuk merayakan Idul Fitri di akhir Ramadhan.
Ramadhan hari ini dipenuhi proyek komersial besar. Pesta, belanja, dan turisme dengan cepat melampaui nilai-nilai spiritual yang seharusnya menjadi waktu untuk refleksi diri dan perbaikan spiritual, dan masa untuk mengasah akhlakul karimah, seperti kejujuran, kerendahan hati, pengendalian diri, solidaritas dan banyak lainnya yang akan membekali kita melewati sebelas bulan ke depan.
Para orang tua kita kerap mengingatkan suasana Ramadhan hari ini berbeda dengan 20 atau 30 tahun yang lalu. Ada yang berpendapat ini mencerminkan kemakmuran bangsa, tetapi tak sedikit yang mengatakan ini sebagai penurunan nilai-nilai religiusitas, meskipun paham dan ekspresi keberagaaam masyarakat hari ini lebih konservatif.
Di lain sisi, kritikan terhadap Presiden Jokowi karena mengaitkan instruksinya untuk tidak mengadakan acara buka puasa bagi para ASN dengan upaya pembatasan mobilitas sosial, sebagai prokes utama selama pandemi Covid-19.
Pihak-pihak yang menentang Presiden Jokowi sudah menyampaikan daftar panjang irasionalitas instruksi ini, termasuk upacara pernikahan besar putra ketiganya di Surakarta, Jawa Tengah, pada bulan Desember, dan konser girlsband asal Korea Blackpink di Stadion Bung Karno di Senayan, Jakarta, awal bulan ini. Namun, ini tetap saja tidak bisa membenarkan bahwa Presiden Jokowi sebagai anti-Islam.
Jujur saja, ini adalah salah satu kebijakan pemerintah dengan niat baik tetapi beroleh oposisi publik secara luas karena jeleknya hubungan masyarakat dengan pihak kantor kepresidenan.
Di tengah kritik yang bertubi-tubi terhadap pejabat pajak dan bea cukai karena gaya hidup mewah, instruksi presiden ini bisa menekankan bahwa pembatasan ini adalah seruan presiden bagi pejabat pemerintah untuk memoderasi gaya hidup mereka.
Mengadakan acara buka puasa bakal tampak flamboyan dan boros saat ini. Mengingat betapa besar dan mewahnya pelbagai acara buka puasa oleh kantor pemerintah dan pihak swasta, instruksi ini bisa ditafsirkan sebagai daya tarik untuk lebih moderat dalam melakoni ritual keagamaan, sebuah tema yang secara luas didakwahkan oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dua organisasi Islam terbesar di negara ini. Penyelenggaraan acara ifthar besar-besaran adalah bentuk ekstremisme.
Tidak ada yang salah dengan masyarakat yang pergi ke acara buka puasa dengan teman dan kerabat, dan ini kemungkinan akan berada dalam kelompok kecil. Pesan ini lebih jauh mendorong pejabat pemerintah untuk mengadakan ifthar di rumah bersama keluarga masing-masing.
Tidak ada tempat yang lebih baik untuk memperkuat kesatuan dan kekuatan keluarga daripada rumah.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas