Mengapa Hak Angket DPRD Harus Kandas?

Jokowi Sumbar, pengamat,

Dosen Ilmu Politik Unand, Asrinaldi (Foto: Zulfikar Efendi)

Kebijakan DPRD Sumatera Barat menghentikan penyelidikan terkait surat gubernur meminta sumbangan (kontribusi) melalui penggunaan hak angketnya mengejutkan masyarakat. Pasalnya, sejumlah anggota fraksi dan partai politik mencabut usulan penggunaan hak angket DPRD sehingga tidak lagi memenuhi syarat formil. Publik pun bertanya sejauh mana anggota DPRD ini serius menyikapi masalah yang memang meresahkan masyarakat Sumatera Barat. Selama berbulan-bulan terjadi perdebatan dan polemik terkait dengan terbitnya surat gubernur ini. Sejumlah anggota DPRD pun merespons keresahan publik ini dengan mengusulkan dilakukannya penyelidikan terkait dengan kasus ini. Sebenarnya penyelidikan yang akan dilakukan DPRD dengan menggunakan hak angket ini sudah tepat karena terkait dengan pelaksanaan fungsi pengawasan tehadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Bagi masyarakat Sumatera Barat, penghentian penggunaan hak angket DPRD ini untuk menyelidiki masalah ini menyisakan sejumlah pertanyaannya. Apakah dapat dibenarkan kebijakan Gubernur Sumatera Barat menerbitkan surat ini melanggar larangannya sebagai gubernur yang diatur dalam Pasal 76 UU No.23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah? Ataukah terbitnya surat tersebut juga melanggar UU No.12 tahun 2019 tentang keuangan daerah yang melarang pemerintah daerah melakukan pungutan di luar yang diatur undang-undang? Begitu juga apakah terbitnya surat gubernur tersebut juga melanggar pelaksanaan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan?

Polemik yang muncul di masyarakat selama berbulan-bulan justru berakhir tanpa kejelasan. Munculnya usul penggunaan hak angket melakukan penyelidikan terkait masalah ini adalah bentuk penyelesaian yang elegan sesuai dengan prinsip demokrasi. Bahkan cara-cara elegan yang ini jarang dipraktikan di daerah lain. Padahal kalau ini bisa dilaksanakan akan menjadi pembelajaran bagi daerah lain bagaimana demokrasi yang baik itu dilaksanakan di Sumatera Barat. Karenanya tidak heran ketika 17 anggota DPRD dari Fraksi Gerindra, Demokrat, dan PDIP/PKB serta Partai Nasdem mengusulkan penggunaan hak angket ini rapat paripurna tanggal 14 September 2021 disambut antusias oleh masyarakat. Sayangnya, masyarakat pun kecewa setelah berbulan-bulan menunggu kelanjutan hak angket ini yang harus dihentikan.

Pasalnya, sejumlah anggota DPRD Sumatera Barat yang mengusulkan hak angket dari Fraksi Gerindra dan Fraksi PDIP/PKB menarik diri dari usulan ini sehingga penggunaan hak angket ini tidak memenuhi syarat formil untuk dilanjutkan. Namun anehnya lagi, anggota Fraksi Demokrat dan Partai Nasdem justru tidak menarik diri dari kasus ini.  Jika memang tidak ada persoalan serius dengan terbitnya surat gubernur ini, harusnya anggota Fraksi Demokrat dan Partai Nasdem juga akan berpikiran yang sama dengan partai lain untuk mencabut usul penggunaan hak angket tersebut.

Tidak tahu pasti apa alasan anggota DPRD itu mencabut usulan mereka kepada pimpinan DPRD. Namun satu kesimpulan yang mengemuka ke publik adalah agar gubernur ke depan berhati-hati dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dan tidak lagi mengulangi kasus yang sama. Kesimpulan ini cukup menarik. Pertanyaannya atas dasar apa kesimpulan ini dibuat? Apakah ada penyelidikan khusus yang sudah dilakukan DPRD sehingga sampai pada kesimpulan tersebut? Padahal penyelidikan yang harusnya dilakukan DPRD melalui hak angket ini bertujuan untuk mendapatkan kesimpulan apakah yang dilakukan gubernur itu melanggar UU terkait dengan tugas dan kewenangannya sebagai kepala daerah atau tidak.

Motif Politik

Idealnya penggunaan hak angket yang sudah diusulkan DPRD dalam paripurna ini tetap dilanjutkan untuk menjawab pertanyaan publik terkait dengan kasus surat gubernur tersebut. Masyarakat bertanya-tanya apakah benar secara administrasi pemerintahan, gubernur sebagai kepala daerah melanggar larangan yang diperintahkan UU kepadanya. Dari polemik yang terjadi, tidak sedikit yang berpendapat gubernur sebagai kepala daerah memang sudah melanggar sejumlah larangan yang ada dalam UU Pemerintahan Daerah, UU Keuangan Daerah dan UU Administrasi Pemerintahan. Namun, mengapa DPRD menganggap tidak ada persoalan dengan surat itu dan mencabut usulan penyelidikan terkait kasus ini? Justru ini menimbulkan masalah yang semakin rumit, terutama bagi publik yang ingin mengetahui alasan dari tindakan gubernur ketika menerbitkan surat permintaan sumbangan tersebut.

Tidak terhindarkan memang atmosfir politik di DPRD terkait dengan masalah ini mendominasi keputusan DPRD ini. Tentu ada motif politik dibalik pembatalan penggunaan hak angket ini yang tidak diketahui oleh publik. Bagi publik Sumatera Barat, apa yang diperlihatkan oleh DPRD ini menggambarkan ketidakprofesionalan lembaga perwakilan ini melaksanakan fungsi pengawasannya sebagaimana yang diatur oleh UU. Bahkan dampaknya adalah pada turunnya kepercayaan publik kepada DPRD. Jadi jangan disalahkan jika masyarakat berpersepsi bahwa DPRD kerjanya hanya membuat "sensasi" saja.

Tahun lalu, DPRD juga melakukan interpelasi untuk mendapatkan kejelasan terkait dengan perjalanan dinas mantan Gubernur Irwan Prayitno ke luar negeri. Semangat yang mengebu-gebu anggota DPRD untuk "menyerang" agar mendapatkan keterangan dari Gubernur Irwan Prayitno justru menjadi antiklimaks. Bagaimana tidak penjelasan yang diberikan mantan Gubernur Sumatera Barat 2015-2021 tersebut sangat rasional dan logis sehingga publik pun mendapatkan penjelasan dari persoalan yang diangat DPRD.

Bagaimana pun, kandasnya hak angket ini akan menjadi preseden buruk bagi kinerja DPRD yang mungkin saja akan diragukan publik ke depan. Tidak adanya kejelasan hasil dari pengawasan yang dilakukan DPRD terhadap kebijakan pemerintah daerah masih meninggalkan sejumlah pertanyaan dibenak publik yang belum terjawab. Tujuan hak angket ini tentu tidak untuk menjatuhkan gubernur Sumatera Barat dari jabatannya.  Tapi untuk menunjukan kepada publik bahwa ada fungsi pengawasan yang berjalan dalam rangka menilik dan menyeimbangkan kekuasaan gubernur yang dilakukan oleh DPRD. Pada akhirnya, penggunaan hak angket ini adalah untuk memberi klarifikasi kepada masyarakat terkait apa yang mereka sangkakan kepada gubernur. Apakah surat permintaan sumbangan yang dibuat tersebut dapat dbenarkan dan tidak ada persoalan? Kalau begini cara DPRD menjawab tanya publik, tidak hanya gubernur yang melanggar Asas-asas Pemerintahan Umum yang Baik, tapi juga DPRD.***

Dr. Asrinaldi adalah Dosen Ilmu Politik dan Studi Kebijakan Universitas Andalas

Baca Juga

Kegiatan Reses merupakan pelaksanaan tugas kedewanan dalam rangka menghimpun aspirasi masyarakat di daerah pemilihannya sebagai bentuk
Reses di Taeh Baruah, Anggota DPRD Sumbar Ilson Cong Terima Aspirasi Masyarakat
Komisi IV DPRD Sumbar melakukan studi komparatif ke Dinas Tenaga Kerja,Transmigrasi dan Energi Sumber Daya Mineral DKJ
Komisi IV DPRD Sumbar Studi Komparatif ke Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan ESDM DKJ
Komisi II DPRD Sumbar melakukan studi komparatif ke Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Banten. Hadir juga dalam kegiatan tersebut yaitu Kadis
Komisi II DPRD Sumbar Studi Komparatif ke Dinas Kelautan dan Perikanan Banten
Gamawan Fauzi
Semua Ada Akhirnya
PKS tidak menunjuk Irsyad Syafar sebagai ketua DPRD Sumbar periode 2024-2029. Namun PKS menunjuk Muhidi sebagai ketua DPRD Sumbar.
Bukan Irsyad Syafar, Ini Penjelasan PKS Soal Penunjukan Muhidi Jadi Ketua DPRD Sumbar
Langgam.id-Asrinaldi
PKS Cabut Dukungan di Pilkada Dharmasraya, Pengamat: Bentuk Pragmatisme Politik