Langgam.id - Gambir sebagai salah satu komoditi unggulan yang dikembangkan oleh masyarakat petani di Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel), hingga saat ini belum masuk dalam salah satu daftar komoditi perdagangan rempah-rempah dunia.
Kondisi ini menjadi salah satu penyebab jaminan kepastian harga gambir berdasarkan kesepakatan niaga internasional, tidak memiliki jaminan pasar yang jelas.
Hal itu disampaikan Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kabupaten Pesisir Selatan, Ramlan Djam, Jumat (7/1), sebagaimana dicuplik dari pesisirselatankab.go.id.
"Karena berada pada luar niaga rempah-rempah, sehingga standar harga yang bisa dijadikan sebagai jaminan pasar sebagaimana diharapkan masyarakat belum bisa dilakukan. Kondisi seperti ini, bukan saja berlaku untuk komoditi gambir, tapi juga terjadi pada jenis lainnya seperti gaharu, minyak nilam, walet dan lainnya," kata Ramlan.
Karena dinilai perlu masuk sebagai salah satu jenis hasil produksi rempah-rempah, sehingga setiap kali pertemuan Kadin, baik di tingkat provinsi maupun pusat, ini selalu menjadi pembahasan.
"Namun hingga saat ini belum ada kejelasan dan kepastiannya," jelasnya lagi.
Dia menambahkan bahwa harga gambir yang saat ini sudah berada di kisaran Rp 27 ribu per kilogram, belum bisa menembus harga yang ideal. Sebab pada masa-masa keemasan dulu, sempat menembus hingga Rp 90 ribu per kilogram.
"Berdasarkan kondisi itu, maka keluhan yang disampaikan oleh masyarakat petani gambir ini perlu untuk diperjuangkan. Sebab gambir merupakan komoditi ekspor di mana Indonesia merupakan salah satu penghasil yang memasok kebutuhan dunia. Dari kebutuhan ini, bisa dikatakan 60 persen nya berasal dari Sumatera Barat seperti kabupaten Pesisir Selatan (Pessel) dan Payakumbuh," ungkapnya.
Walaupun masyarakat di daerah ini sudah melakukan pengembangan perkebunan gambir secara besar-besaran, tapi produk masyarakat Pesisir Selatan yang di rajai oleh India ini, masih memenuhi sebagian kecil kebutuhan dunia.
"Kondisi ini, memang sebuah peluang yang cukup besar untuk di kembangkan di daerah ini. Bahkan bisa dikatakan sebagai salah satu produk dibidang perkebunan yang akan mampu membangkitkan taraf hidup masyarakat di daerah ini di masa datang," ujarnya.
Dari itu, kepada pemerintah daerah dia juga berharap agar masyarakat yang bergerak di sektor perkebunan budidaya gambir ini mendapat perlakuan dan dukungan yang lebih baik lagi. Sebab, keterbatasan pengetahuan baik dalam hal penanaman maupun dalam hal pengelolaan masih jauh tertinggal.
Kondisi ini dapat dilihat dari hasil produksi yang mereka peroleh berdasarkan intensitas panen tiga kali setahun. Sebab, berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, untuk satu hektar lahan ini bisa menghasilkan pasta dari sari daun itu sebanyak 4,5 hektar.
Namun di daerah, kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam melakukan pengelolaan hanya 2,1 ton hingga 2,4 ton saja. Itupun masih dalam bentuk pasta, padahal yang memiliki nilai ekonomi tinggi itu adalah katekin. Namun, pengelolaan hingga dalam bentuk katekin itu, pengetahuan nya tidak dimiliki oleh masyarakat di daerah.
Sekarang di daerah ini, sudah dibangun dua pabrik pengolahan gambir ini yang terdapat di kampung Lansano kecamatan Sutera dan Barung Barung Belantai kecamatan Koto XI Tarusan.
Investasi dua pabrik itu, masih berasal dari investor India.
"Jika upaya untuk bangkit tidak dimulai dari sekarang, maka sangat diyakini rakyat Indonesia akan tetap menjadi pekerja di negerinya sendiri," tutup Ramlan.