Langgam.id - Perang kemerdekaan antara 1945-1949 sudah berlalu lebih 70 tahun lalu dari hari pahlawan yang diperingati Selasa (10/11/2020) ini. Di Sumatra Barat (Sumbar), perjuangan dengan pengorbanan berat itu bukan saja melibatkan para tokoh, tetapi juga masyarakat biasa. Bahkan, salah seorang pejuang menceritakan perlawanan tiga orang dengan gangguan jiwa di Limapuluh Kota, Bukittinggi dan Solok pada tentara Belanda.
Baharudin Jaka, veteran Perang Kemerdekaan itu menulis kesaksiannya dalam Buku "Pejuang Kemerdekaan Sumbar-Riau: Pengalaman Tak Terlupakan, Volume 2". Ia menulis dua kisah yang terjadi di Limapuluh Kota dan Bukittinggi. Soewardi Idris , editor buku tersebut menambahkan cerita seorang lagi di Solok.
Baharudin tak menulis tanggal kejadian tersebut. Namun, melihat lokasi kejadian di Limapuluh Kota, Bukittinggi dan Solok, maka dipastikan ketiga peristiwa tersebut terjadi pasca-Agresi Militer II. Berbagai literatur menulis, Agresi Militer II Belanda digelar pada 19 Desember 1948.
Sebelum peristiwa tersebut, tentara Belanda belum sampai ke wilayah "darek" atau pedalaman Sumbar seperti Limapuluh Kota, Bukittinggi dan Solok. Mereka ada di Padang dan sejauh batas di garis demarkasi sesuai Perjanjian Renville. Dari Kota Padang ke utara hanya sampai di Lubuk Alung, ke timur hanya sampai Indarung dan ke selatan hanya sampai Nagari Siguntur, Kecamatan Koto XI Tarusan, Pesisir Selatan.
Demikian ditulis Sejarawan Mestika Zed dalam "Somewhere in The Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia" (1997). Agresi Militer II membuat Belanda menguasai seluruh kota di pedalaman Sumbar, termasuk Bukittinggi, Payakumbuh, Padang Panjang dan Solok.
Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi bersama pemimpin sipil dan militer kemudian mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Pemerintahan darurat yang kemudian bergerak ke berbagai pelosok Sumatra Barat (Sumbar) untuk menggantikan para pimpinan negara yang ditawan Belanda dari Yogyakarta.
Bukittinggi jatuh, kabinet itu bergerak mulai dari Halaban (Limapuluh Kota), Bangkinang (Riau), Sungai Dareh (Dharmasraya), Abai Sangir dan Bidar Alam (Solok Selatan), Sumpur Kudus dan Silantai (Sijunjung) dan Koto Tinggi serta Padang Japang (Limapuluh Kota). Nagari terlama menjadi basis PDRI adalah Bidar Alam dan Koto Tinggi.
Koto Tinggi yang terletak di bagian utara Kabupaten Limapuluh Kota sudah menjadi basis pemerintahan Gubernur Militer Sumbar Sutan Mohammad Rasjid, saat Sjafruddin dan anggota kabinet lainnya masih di Bidar Alam. Baharudin Jaka adalah ajudan Gubernur Rasjid. Ia merangkap menjadi kurir sekaligus petugas intel Divisi IX Tentara Republik Indonesia.
Menurutnya, saat tentara Belanda menyerang Koto Tinggi secara mendadak, ada sebuah peristiwa yang membuat serangan itu diketahui. "Kurang lebih satu kilometer dari Kototinggi, tentara Belanda itu berpapasan dengan lelaki tanpa baju," tulis Baharudin Jaka.
Lelaki tanpa baju yang tak disebutkan namanya tersebut, menurutnya, diketahui warga sebagai orang dengan gangguan jiwa. Ia punya kebiasaaan bolak-balik di jalan tanpa baju, baik dalam kondisi panas maupun hujan. "Dia tahan panas dan hujan dan selalu tanpa baju," tulis Jaka.
Saat bertemu tentara Belanda yang hendak menyerbu ke Koto Tinggi, lelaki dengan gangguan jiwa tersebut meneriakkan salam kemerdekaan. "Lelaki itu meneriakkan pekik 'Merdeka' sekuat-kuatnya kepada Belanda itu, diiringi sumpah serapah," tulisnya.
Tentara Belanda tersebut, menurutnya, tanpa berbicara apapun langsung memberondong lelaki tersebut dengan tembakan hingga meninggal. Namun, menurut Jaka, gugurnya lelaki dengan gangguan jiwa tersebut tak sia-sia.
"Secara tidak langsung, orang yang kurang waras itu telah menyelamatkan para pemimpin dan para pejuang yang berada di Koto Tinggi. Mereka semua terbangun karena bunyi tembakan yang gencar itu dan sempat menyalamatkan diri. Kematiannya ternyata tidak sia-sia," tulis Baharuddin Jaka.
Ia tak menulis tanggal serangan tentara Belanda tersebut. Sejarawan Mestika Zed mencatat tanggal tersebut adalah 10 Januari 1949. Hari itu, Belanda menyerang Kototinggi dari basisnya di Payakumbuh.
Mestika Zed bersama Edy Utama dan Hasril Chaniago dalam "Sumatera Barat di Panggung Sejarah, 1945-1995" (1995) menulis, serangan patroli itu membuat kocar-kacir para pejabat pemerintahan dan militer yang mengawal salah satu basis penting PDRI tersebut. "Keadaan panik yang ditimbulkan oleh serangan dan patroli Belanda," tulisnya.
Namun, diketahuinya terlebih dahulu serangan itu memberi waktu Mr. Rasjid, para pejuang dan masyarakat untuk bersembunyi ke hutan di dekat Koto Tinggi. Stasiun radio yang ditinggalkan, juga dalam kondisi aman karena sempat disembunyikan.
Audrey Kahin dalam "Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia, 1926-1998" (2003) menulis, tentara Belanda tak menemukan para pejuang dan juga stasiun radio yang menghubungkan Mr. Rasjid dengan dunia luar. Mereka tak menyangka, Koto Tinggi adalah basis penting PDRI dan saat itu menjadi pusat pemerintahan Sumatra Barat.
Orang dengan gangguan jiwa kedua yang diceritakan Baharudin Jaka adalah seorang bapak tua yang sering membawa bambu runcing di Bukittinggi. Ia sehari-hari mangkal di Masjid Raya Pasa Ateh, sehingga ada yang menyebutnya sebagai garin. Saat bertemu dengan tentara Belanda, Pak Tua malang tersebut mengadangnya sambil mengacungkan bambu runcing.
"Tanpa basa-basi, tentara Belanda itu langsung melepaskan tembakan ke tubuh pak tua. Dia terkapar tak bernyawa seraya memeluk bambu runcingnya," tulis Jaka.
Menurutnya, kejadian-kejadian tersebut perlu dicatat untuk menggambarkan bagaimana tentara Belanda melakukan hal-hal di luar batas perikemanusiaan.
Soewardi Idris yang menyunting buku Buku "Pejuang Kemerdekaan Sumbar-Riau: Pengalaman Tak Terlupakan, Volume 2" menambahkan, orang dengan gangguan jiwa lain yang melawan tentara Belanda.
Suatu kali, ceritanya, sepasukan tentara Belanda patroli ke Nagari Salayo dari Kota Solok. Mereka menangkap beberapa pemuda termasuk seorang dengan gangguan jiwa bernama Munaf, atau sering dipanggil Muneh. Meski gangguan jiwa, Muneh tak mengganggu orang lain.
Namun, saat ditangkap Belanda ia marah. Dalam perjalan dari Salayo ke Solok, saat pemuda yang lain diam, ia malah memarahi semua tentara Belanda. "Sepanjang jalan, jika bertemu dengan ibu-ibu, Muneh selalu bercarut-marut kepada Belanda," tulis Soewardi.
Muneh antara lain berkata, "... Anjiang waang. Pulanglah ka nagari ang!" (Anjing kamu. Pulanglah ke negerimu). Namun, tentara Belanda tersebut diam saja. Meski ada yang berkulit sawo matang dan diduga paham, mengerti dengan ucapan Muneh, mereka tak menanggapi.
Muneh lebih beruntung dari dua cerita terdahulu yang gugur diberondong senjata. Ia dibebaskan setelah ditahan beberapa hari. Dalam perjalanan pulang, ia kembali bercarut-marut seperti dalam perjalanan ke Solok.
Cerita-cerita yang disampaikan Baharuddin Jaka dan Soewardi Idris, merupakan bagian dari peran orang kecil yang mungkin sering luput dicatat sejarah. Sesuai perannya, meski tak dimakamkan di makam pahlawan dan tak dikenal, banyak sekali orang kecil yang sebenarnya adalah pahlawan dalam perjuangan perang kemerdekaan. Bahkan, mereka yang memiliki keterbatasan. (HM)