Umat di Tengah Covid-19

Wali Kota Padang Hendri Septa memboyong seluruh lurah dan camat se-Kota Padang untuk menghadiri Rakernas Apeksi di Makassar.

Miko Kamal (Foto: Dok. Miko)

Tulisan ini menceritakan “konflik sosial” yang terjadi di kalangan jemaah masjid yang saya pimpin. "Konflik sosial" yang juga banyak berlaku di masjid lain yang ujungnya menyulitkan kita memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Begini ceritanya:

Masjid kami masjid tengah kota. Terletak di belakang kampus Pascasarjana UIN Imam Bonjol Padang. Persisnya di Jalan Perak II No. 2 Padang. Karena berlokasi di Jalan Perak, kami menyebutnya Masjid Jihad Perak. Disingkat MJP.

Jalan Perak II masuk wilayah Rukun Warga (RW) 8, Kelurahan Kampung Jao. RW 8 dihuni sekitar 200 Kepala Keluarga yang tersebar di 5 Rukun Tetangga. Jumlah penduduknya sekitar 600 jiwa.

Sebagian besar warga RW 8 mampu secara ekonomi. Tergambar dari hampir semua rumah yang dibangun permanen.

Sebagian besar warganya terpelajar. Ada yang berprofesi sebagai pengusaha, pengacara, pekerja kantoran dan pensiunan bank dan pemerintahan. Walikota Padang dan keluarganya berdomisili di RW 8.

Dalam kondisi normal, penduduk miskin tidak banyak di RW 8. Hasil pendataan kami, di sekeliling masjid ada 15 keluarga kurang mampu. 15 keluarga itulah yang kami berikan bantuan pengaman sosial ketika “Virus Wuhan” mulai datang.

Kami menyebutnya program “Masjid Pengaman Sosial Ekonomi Corona”. Bantuan tahap pertama berbentuk sembako senilai Rp. 500.000 itu sudah lunas kami berikan pada 28/3/2020 ketika pemerintah masih agak ke agak juga.

Baca juga: Pandemi Corona, MUI Imbau Masyarakat Sumbar Agar Laksanakan Salat Tarawih di Rumah

Sejak Covid-19 mulai menyebar, MJP mengikuti himbauan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah. Jumatan dan salat fardhu 5 waktu ditiadakan. Pagar masjid digembok rapat. Hanya penjaga masjid dan keluarganya yang bisa keluar masuk masjid. Lockdown.

Mulanya aman saja. Sekitar 2 minggu, lockdown berjalan tanpa riak. Masuk minggu ketiga baru mulai bising. Warga yang tidak suka dengan kebijakan lockdown masjid mulai mempertanyakannya.

Group WA masjid mulai ramai. Mengapa masjid ditutup? Mengapa orang beribadah dihalangi? Pengurus kok lebih takut kepada Covid-19 ketimbang takut kepada Pembuatnya? Dan pertanyaan-pertanyaan standar lainnya yang banyak beredar di media sosial. Group WA masjid jadi ajang perang; yang mendukung masjid ditutup dan yang mendukung masjid segera dibuka untuk salat 5 waktu berlomba mengirim artikel dan video.

Hal itu nampaknya terpengaruh dari fakta di ruang publik. Beberapa masjid sekeliling kami memang tetap menyelenggarakan salat fardhu berjamaah seperti biasa. Bahkan salat Jumat. Beberapa ulama (setidaknya penceramah) berbeda pendapat terkait menutup atau membuka masjid dikala wabah. Ulama yang tergabung dalam MUI pada satu sisi, dan ulama non-MUI pada sisi yang lain. Kedua kelompok ini punya dalil dan dalihnya masing-masing.

Puncaknya, musyawarah kilat jamaah dan pengurus digelar. Musyawarah dilaksanakan pada Ahad 12 April 2020. Tempatnya di masjid. Mulai pukul 13.00 berakhir pukul 14.45. Rapat mengikuti protokol kesehatan yang disarankan WHO. Berjarak dan memakai masker.

Perdebatan sengit terjadi dalam musyawarah. Kedua kubu kukuh dengan pendapatnya masing-masing. Semua dalil dan dalih tumpah di teras masjid sore itu.

Sebagai ketua saya menyampaikan bahwa pada intinya, kami pengurus menjalankan kebijakan lockdown masjid karena sayang kepada para jamaah dari infeksi Covid-19. Terutama jamaah yang berusia lanjut (di atas usia 70 tahun).

“Tujuan lockdown adalah untuk meminimalisir kerumunan. Pasalnya, dengan berkerumun, penyebaran Covid-19 akan semakin cepat. Bukan melarang bapak-bapak yang sudah berumur untuk beribadah”, kata saya.

Mendengar pernyataan saya, jamaah tua yang hadir meradang.

Katanya, “Ketua tidak usah memikirkan kami. Biarlah kami mati. Yang penting kami bisa beribadah di masjid. Semua risiko menjadi tanggung jawab kami. Tidak ada yang perlu disesalkan kalau hal buruk terjadi kepada kami”.

“Kami sudah tahu semua dalil-dalil yang ketua sampaikan. Sekarang, begini saja. Kalau ketua tidak mau membuka masjid, kami akan cari masjid lain yang banyak buka di sekitar kita”, tambah juru bicara mereka.

Keras benar mereka. Saya kaget. Saya berpikir, akan lebih berbahaya lagi kalau saya membiarkan mereka keluyuran mencari masjid di tempat lain. Saya mengambil keputusan moderat.

Keputusannya, pengurus tetap tidak menyelenggarakan shalat berjamaah 5 waktu. Tapi gembok pagar masjid dibuka. Jika ada warga yang datang ke masjid menyelenggarakan salat 5 waktu, itu diluar kewenangan dan diluar tanggung jawab pengurus. Azan tetap dikumandangkan seperti biasa dengan menambahkan lafadz “Sholluu fii buyutikum” (shalatlah di rumah kalian).

Rapat berakhir. Kedua kubu terlihat cukup senang. Dalam perjalan pulang ke rumah saya berpikir keras. Mengapa ini bisa terjadi di mesjid tengah kota. Masjid yang sebagian besar jamaahnya adalah orang-orang kota terpelajar. Saya tidak akan berpikir sekeras ini jika hal serupa terjadi di kampung saya yang tidak banyak dihuni oleh orang-orang terpelajar.

Saya dapat jawaban. Bisa jadi hanya jawaban sementara. Yaitu, karena tidak satu katanya ulama menyikapi cara beribadah pada saat wabah seperti sekarang.

Hal ini diperparah lagi dengan fakta tidak seiramanya aparatur pemerintah menyikapi keadaan. Pernyataan saling simpang siur. Ada pejabat yang membolehkan mudik. Ada pula yang tidak. Akhirnya Presiden Jokowi membuat pernyataan "jalan tengah": yang dilarang itu mudik, pulang kampung dibolehkan.

Pemerintah pusat juga sering tidak sejalan dengan pemerintah daerah. Yang satu berjalan ke hilir, satunya lagi mengarah ke mudik. Keamburadulan itu ditransmisikan sampai ke kamar-kamar tidur warga. Tidak lagi hanya sampai di ruang tamu.

Rakyat kehilangan pegangan. Biasanya hanya umara dan ulama saja yang bersitegang. Sekarang, sesama ulama juga tarik menarik urat leher. Akibatnya, seperti yang terjadi di MJP.

Menurut saya, berdamai ulama obatnya. Ulama, mubaligh, ustadz, penceramah dan sejenisnya harus duduk semeja. Untuk menyelamatkan umat. Kalau meja offline tidak bisa, meja online jadi juga. Bertengkarlah di meja itu. Keluarkanlah semua dalil-dalil. Kalau diperlukan, meninju meja atau melempar kursi pun boleh. Setelah itu keluarlah dengan satu kata. Insyaallah mujarab untuk menyelamatkan umat dari serangan Covid-19 yang semakin agresif.

Miko Kamal, Legal Governance Specialist

Baca Juga

Pemprov Sumbar bakal membangun kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatra Barat pada awal 2025 nanti. Kantor MUI Sumbar itu Masjid Raya
2025, Kantor MUI Sumbar Bakal Dibangun di Kawasan Masjid Raya
Baru-baru ini publik dihebohkan dengan kabar di media sosial soal dugaan adanya 18 orang Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka)
Heboh Paskibraka Wanita Lepas Jilbab, MUI Sumbar: Kebijakan Ini Bertentangan dengan UUD
Zakat fitrah merupakan zakat yang diwajibkan atas setiap jiwa baik lelaki dan perempuan muslim yang dilakukan pada bulan Ramadan, sebelum
Kapan Waktu Terbaik Melaksanakan Zakat Fitrah?
Bulan Ramadan 1445 Hijriah akan memasuki 10 malam yang terakhir. Oleh karena itu dianjurkan untuk memperbanyak ibadah dengan berdzikir,
4 Amalan Agar Dapat Meraih Kemuliaan Lailatul Qadar
Umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak ibadah selama bulan Ramadan. Salah satu ibadah sunnah yang biasa dilakukan yaitu salat tarawih.
Begini Sejarah Awal Mula Penamaan Salat Tarawih
Sebanyak delapan warung makan ditertibkan oleh personel Satpol PP karena memfasilitasi makan siang di tempat. Penertiban itu dilakukan
Buka Siang Hari Ramadan, 8 Warung Makan di Padang Ditertibkan