Kepulauan Mentawai di lepas pantai Sumatra Barat, seyogianya menjadi penawar bumi yang kian terhuyung akibat perubahan iklim. Pasalnya, secara historis gugusan pulau di Samudera Hindia ini diselimuti ekosistem hutan hujan. Dari 1.744.549 hektar (ha) luas total tutupan hutan di Provinsi Sumatra Barat (Sumbar) per tahun 2021, Kabupaten Kepulauan Mentawai punya luasan tertinggi yakni 409.078 ha. Tutupan hutan membentuk 82 persen wilayah Kepulauan Mentawai yang memiliki luas 512.044 ha.
Pulau Siberut salah satu gugusan Kepulauan Mentawai menjadi wajah hutan hujan di Mentawai. Di sini juga ada terletak di lepas pantai Sumatera Barat yang dipisahkan oleh Selat Mentawai dan berjarak kurang lebih 155 km dari kota Padang.
Taman Nasional Siberut yang terletak di pulau tersebut, seluas 65% kawasan ditutupi oleh hutan primer Dipterocarpaceae, hutan primer campuran, rawa, hutan pantai, dan hutan mangrove.
Melalui Program Man and Biosphere (MAB) pada tahun 1981 United Nations Educational Scientifik and Cultural Organization (UNESCO) Pulau Siberut ditetapkan sebagai Cagar Biosfir di Indonesia.
Perkembangan selanjutnya, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 407/Kpts-II/1993 ditetapkan Taman Nasional Siberut dengan luas 190.500 yang merupakan gabungan dari kawasan suaka alam (132.900 ha), hutan lindung (3.500 ha), hutan produksi terbatas (36.600 ha) dan hutan produksi tetap (36.600 ha).
Pulau Siberut dalam pandangan pemerintah menyimpan cadangan besar kayu komersil. Sehingga eksploitasi hutan untuk mengambil kayu tak terelakkan sampai sekarang. Eksploitasi kayu di rimba Siberut secara masif dilakukan pada dekade 1970-an. Praktik penebangan kayu telah merusak 52.000 Ha atau sekitar 15 persen hutan di Siberut (Darmanto, Abidah B. Setyowati, 2012). Eksploitasi hutan Mentawai juga terjadi di 3 pulau besar lainnya yakni Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan.
Kontemporer, tutupan hutan di Kepulauan Mentawai terus menyusut. Analisis Citra Satelit Lansat TM 8 oleh tim Geographic Information System KKI Warsi pada tahun 2020, hutan Sumbar berkurang 31.367 hektar dalam empat tahun terakhir. Rinciannya, pada 2019-2020, tutupan hutan hilang 8.015 hektar. Kalau periode 2017-2020, ada 31.367 hektar. Dari jumlah itu, tutupan hutan hilang berada di Kepulauan Mentawai 7.458 hektar, Dharmasraya 5.131 hektar, dan Solok Selatan 4.975 hektar. Lalu, Pasaman Barat 3.931 hektar, Pesisir Selatan 3.147 hektar, Pasaman 2.944 hektar dan Sijunjung 2.024 hektar.
Deforestasi di Mentawai diperkirakan terus berlanjut seiring dengan beragam skema perizinan eksploitasi hutan yang terus diberikan oleh otoritas. Misalnya, skema usaha koperasi seperti Koperasi Serba Usaha (KSU) Purimanuaijat, perpanjangan tangan dari PT.Salaki Summa Sejahtera (PT.SSS) pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA), yang dikeluarkan Menteri Kehutanan mulai 2004-2049 untuk eksploitasi lahan seluas 48.420 hektar di Pulau Siberut.
Atau Koperasi Minyak Atsiri mengurus izin PKKNK ke Dinas Kehutanan Sumatera Barat tahun 2021 untuk membuka hutan untuk lahan perkebunan atsiri di Pulau Sipora, justru berbelok ke menebang hutan.
Kondisi seperti ini sudah mengancam kelestarian ekosistem hutan Mentawai sekaligus juga ancaman bagi obat penawar perubahan iklim global. Sehingga perlu kiranya upaya merestorasi ekosistem hutan hujan Mentawai dengan pendekatan kultural.
Di sini, uma bisa memainkan kembali peran fungsinya sebagai organisasi sosial yang menjadi dasar relasi sosial paling relevan bagi pembentukan klaim terhadap tanah, sumber daya, dan kepemilikan.
Secara historis, semua tanah yang ada di Siberut, diklaim sebagai milik orang Mentawai dalam kepemilikan secara komunal melalui uma. Artinya tak ada tanah kosong atau dikuasai pemerintah atau pun imigran dalam konsep orang Mentawai (Schefold, 1991).
Selain itu, hutan juga punya perspektif spritual bagi orang Mentawai. Di sana menjadi uang hidup roh nenek moyang dalam kepercayaan Arat Sabulungan, dan di hutan pula apotek hidup tumbuh kembang menjadi solusi medis di kala sakit.
Malinggai Uma Tradisional Mentawai yang berbasis di Siberut dan bercabang di Pulau Sipora, adalah salah satu gerakan kebudayaan berbasis konservasi yang dilakoni oleh Damianus Tateburuk dan kawan-kawan.
Kelembagaan uma ini, bisa menjadi jalan nyata upaya restorasi hutan Mentawai. Uma bisa menjadi kanopi pendidikan konservasi dengan melibatkan anak-anak muda sebagai jalan meretas kader konservasi. Dengan kesadaran konservasi, mereka diharapkan menjadi benteng pertahanan terakhir tegaknya hutan Mentawai.
Untuk menjalankan kurikulum konservasi berbasis uma bisa dilakukan melalui sekolah lapangan. Nantinya, sekelompok anak muda, misal dengan target 25 orang, digembleng menjadi siswa-siswa sekolah lapangan konservasi itu.
Sekolah lapangan dengan pendekatan agroekologi menjadi solusi bagi mereka untuk belajar bagaimana memanfaatkan ekosistem hutan tanpa merusaknya. Justru memperkuat tegakan hutan itu sendiri.
*Dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas (Unand) dan Pegiat Lingkungan