Pelestarian Hutan dan Budaya serta Upaya Menuju Kemandirian Ekonomi Masyarakat Nagari Pagadih

“Ka rimbo babungo kayu, ka sawah babungo padi, ka lauik babungo karang, ka tambang babungo ameh, ka sungai babungo pasia”

Secara umum, representasi dari perekonomian masyarakat tradisional Minangkabau tidak terlepas dari alam. Pepatah di atas yang lebih kurang berarti ke rimba memperoleh kayu, ke sawah memperoleh padi, ke laut memperoleh karang, ke tambang memperoleh emas dan ke sungai memperoleh pasir, memberikan gambaran bahwa masyarakat Minangkabau hidup dari segala sesuatu yang diambil dan diolah dari alam. Perlu digarisbawahi, ketergantungan masyarakat Minangkabau zaman dahulu terhadap hutan bukan dalam rangka eksploitasi besar-besaran, melainkan hanya untuk kepentingan harian serta kelompok yang ada dalam sistem nagari.

Salah satu wujud pemanfaatan alam yang tidak mengarah pada eksploitasi besar-besaran kemudian tergambar dalam pepatah ka ladang di hulu tahun, ka sawah dipangka musim. Artinya, masyarakat sudah memiliki aturan tersendiri dalam menggarap lahan pertanian. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, maka aktivitas pertanian di ladang hanya dilakukan di awal tahun dan menggarap sawah dilakukan di awal musim.

Karenanya, alam bagi masyarakat Minangkabau bukan sekedar geografis semata. Lebih jauh, hutan, ladang, dan sawah adalah bagian dari kebudayaan dan bagian dari masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, berbicara tentang alam Minangkabau, maka secara tidak langsung akan membicarakan masyarakatnya, dan begitupun sebaliknya. Bagi masyarakat Minang, dapat dikatakan alam dan masyarakat menjadi sebuah indentitas kultural.

Secara kultural, keterikatan antara masyarakat Minangkabau dengan alam tentu tidak terlepas dari sistem kekerabatan matrilineal yang dianut oleh masyarakatnya. Dalam sistem ini, berbagai regulasi terkait kepemilikan hingga pengelolaan tanah sudah diatur dengan sedemikian rupa. Tanah ulayat dan harato pusako tinggi secara kepemilikan dipegang oleh kaum atau suku melalui penghulu, sehingga pengelolaan yang dilakukan secara kolektif tidak hanya akan memberikan dampak kepada satu individu tertentu, melainkan juga kepada individu lain yang ada di dalam kaum.

Salah satu nagari di Sumatera Barat yang hingga saat ini masih mempertahankan pola pengelolaan hutan dalan lahan secara adat adalah Nagari Pagadih, sebuah nagari di pinggir Kabupaten Agam yang berbatasan langsung dengan Koto Tinggi yang menjadi bagian dari Kabupaten Limapuluh Kota. Secara geografis, nagari ini berada jauh dari pusat pemerintahan kabupatan maupun provinsi. Dari pusat kecamatan yang berada di Palupuah, Pagadih dapat dicapai setelah menempuh jarak sekitar 17 kilometer dengan melewati bebukitan.

Dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Agam Nomor 31 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Nagari mengembalikan sistem pemerintahan di Pagadih ke dalam bentuk nagari setelah sebelumnya berada dalam sistem desa berdasarkan undang-undang No 5 tahun 1979. Pada masa sekarang, Nagari Pagadih yang memiliki luas sekitar 6.500 hektare ini terdiri dari lima jorong, yaitu Jorong Bateh Gadang, Jorong Pagadih Mudiak, Jorong Tigo Kampuang, Jorong Pagadih Hilia dan Jorong Banio Balirik dan dihuni oleh 1.990 jiwa yang secara mayoritas hidup dari pencarian sebagai petani.

Nagari yang berada pada ketinggian 350 sampai 1500 mdpl ini sudah ada sejak tahun 1.800-an yang berawal dari migrasi masyarakat Kamang. Migrasi masyarakat Kamang menuju Pagadih tergambar dalam pepatah adat yang berbunyi sitarak diateh bukik, sabuah jatuah ka lambah, lah sasak kamang ka bukik, mangko turunlah ka tujuah lurah. Inti dari pepatah ini menyampaikan bahwa migrasi masyarakat dari daerah Kamang berangkat dari mulai padatnya pemukiman di daerah tersebut, sehingga sebagian masyarakatnya memilih untuk manaruko (membuka) daerah baru untuk hunian. Pagadih yang berada di dalam kawasan Tujuah Lurah diputuskan oleh masyarakat sebagai tempat melanjutkan hidup.

Migrasi dari Kamang ke Pagadih pada awalnya dilakukan oleh enam suku dan kemudian ninik mamaknya (penghulu) dikenal dengan istilah rajo di Nagari Pagadih. Keenam penghulu tersebut adalah Datuak Rajo Nagari dari Suku Koto, Datuak Rajo Panghulu dari suku Bodi, Datuak Rajo Panawa dari Suku Pili, Datuak Rajo Imbang dari suku Sikumbang, Datuak Rajo Ruhun dari Suku Payobada dan Datuak Rajo Panduko Sati dari Suku Jambak. Lambat laun, keenam penghulu ini kemudian terus berkembang, hingga pada masa sekarang terdapat 20 orang penghulu yang dikenal dengan sebutan Niniak Mamak Nan 20 Dalam Nagari.

Pengeloaan Hutan Berbasis Hutan Nagari

Upaya pengelolaan hutan dan lahan pertanian berbasis hutan adat pada dasarnya sudah dilakukan sejak lama oleh masyarakat Nagari Pagadih. Pada tahun 2017, seluas 768 hektare hutan di Pagadih masuk dalam program Perhutanan Sosial (PS) dengan skema Hutan Nagari dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) beradasarkan SK.3837/Menlhk-PSKL/PKPS/PSL.0/7/2017. Artinya, masyarakat sudah mendapat legalitas dari negara untuk mengelola sebagian hutan.

Hanya saja, pengelolaan yang berada di bawah wewenang Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) kerap mengalami kendala lantaran tanah yang ada di Pagadih pada dasarnya dimiliki oleh kaum (adat).

“LPHN terkendela mengelola lahan yang izinnya telah diberikan negara, karena tidak ada satu tanah pun yang tidak bertuan di Nagari Pagadih” ujar Sekretaris Nagari Pagadih, Edo Iswara.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh World Resources Institute (WRI) Indonesia (2024), diketahui bahwa LPHN Pagadih sudah mengalami kevakuman sejak izin PS diterbitkan KLHK pada 2017 lalu. Hal tersebut berangkat dari perbedaan defenisi antara skema hutan nagari yang diterbitkan pemerintah dengan sistem adat yang ada di Nagari Pagadih, yang mana seseorang ataupun kelompok hanya boleh mengelola tanah ulayat kaumnya. Secara adat, pengambilan keputusan terhadap pengelolaan tanah ulayat ada pada penghulu selaku mamak kepala kaum. Sehingganya hal tersebut berpotensi memicu konflik di tengah-tengah masyarakat.

Oleh karenanya, maka dinilai perlu adanya regulasi yang akan menjembatani permasalahan tersebut. Melalui pendampingan yang dilakukan oleh WRI, maka pemerintah Nagari Pagadih mulai menggodok aturan yang dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat dalam mengelola hutan dan tanah ulayat agar tidak berbenturan dengan undang-undang maupun sistem adat yang ada. Pada 2023, pemerintah Nagari Pagadih akhirnya mengeluarkan Peraturan Nagari (Perna) Nomor 2 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Hutan Berbasis Kaum.

Pada intinya, perna ini menekankan pada aspek pengelolaan lahan yang mengacu pada musyawarah mufakat, asas perlindungan, serta asas pemanfaatan. Secara rinci, asas pengelolaan yang tertuang pada pasal 7 ayat 1 sampai 3 itu dijelaskan bahwa pengelolaan kawasan hutan nagari harus berdasarkan musyawarah mufakat di nagari dengan mempertimbangkan undang-undang yang berlaku dan unsur adat istiadat setempat. Asas perlindungan yakni dalam hal pengelolaan kawasan hutan nagari harus mengandung unsur perlindungan terhadap kawasan hutan nagari dan kawasan penyangga hutan nagari. Selanjutnya, pemanfaatan kawasan hutan nagari dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati bersama oleh masyarakat sesuai dengan peruntukkannya.

Menurut WRI Indonesia (2024), hadirnya Perna Nomor 2 Tahun 2023 tersebut dapat memberikan ruang bagi masyarakat Nagari Pagadih untuk mempraktikkan sistem adatnya. Di tingkat lokal, setidaknya perna tersebut dapat memberikan kepastian hukum untuk mengamankan lahan sebagai aset kaum agar tidak disalahgunakan oleh pihak luar. Selain itu, juga dapat mendorong pengelolaan lahan-lahan yang tidak produktif untuk dikelola berdasarkan prinsip konservasi untuk menjamin fungsi ekosistem alami.

Melestarikan Alam, Merawat Budaya

Perna Nomor 2 Tahun 2023 yang diterbitkan oleh Nagari Pagadih menjadi landasan yang penting dalam rangka menjaga kelestarian hutan berikut kebudayaan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Sekali maurak puro, duo tigo hutang tabaia, (sekali membuka dompet/tabungan, dua hingga 3 hutang dapat terbayar) sederhananya, pepatah ini bermakna dalam satu kali tindakan beberapa persoalan dapat terselesaikan. Seperti dijelaskan di awal, hutan atau alam adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan masyarakat Minangkabau, khususnya di Nagari Pagadih. Sehingganya, melestarikan hutan juga menjadi bagian dari merawat budaya yang ada.

Sejumlah aturan yang termuat dalam Perna Nomor 2 Tahun 2023 tersebut jelas bertujuan untuk menjaga kelestarian hutan dengan berbasis pada tradisi dan kearifan lokal. Secara teknis, pada pasal 4 ayat 2 dijabarkan bagaimana anak kemanakan di nagari melakukan pengendalian lahan berbasis sosial budaya. Tradisi gotong royong yang memang sudah menjadi rutinitas masyarakat kemudian diperkuat dengan adanya regulasi perlunya dilakukan gotong royong nagari minimal 2 kali dalam setahun.

Seni budaya melalui randai, pasambahan (pidato adat), gandang tambua, bansi, pencak silat, saluang, rabano dan barzanji perlu terus dilestarikan melalui kegiatan-kegiatan yang membawa pesan-pesan terkait pengelolaan lahan pertanian dan hutan nagari secara berkelanjutan. Serta melindungi ikan larangan yang ada di aliran Batang Pagadih dari pencemaran. Terkait ikan larangan, pada 6 Juni 2023 pihak pemerintah nagari melepaskan sebanyak 16.000 bibit yang terdiri dari ikan garing, nilem dan baung dan direncanakan akan dipanen pada tahun 2025.

“Ikan larangan ini tidak diberi makanan pellet, melainkan buah-buahan yang tumbuh di sekitar sungai. Ini dilakukan untuk menjaga ekosistem, sehingga diberi makanan alami,” tutur Edo.  

Selain itu, pada tahun 2021 Nagari Pagadih menggelar Festival Batanam Padi yang dilaksanakan pada tanggal 1 sampai 3 Juli. Festival tersebut tidak hanya dihadiri oleh unsur pemangku kepentingan di tingkat kabupaten Agam, melainkan juga wisatawan yang datang dari sejumlah daerah, seperti Pekanbaru, Bukittinggi, Padang, Agam dan Limapuluh Kota. Secara kultural, batanam padi merupakan sebuah simbol dari kebiasaan masyarakat yang saling membantu saat menanam padi.

“Melalui Festival Batanam Padi, kami ingin mempertahankan tradisi serta memperkenalkan kepada orang banyak bahwa Pagadih masih mempertahankan tradisi gotong royong dalam menanam padi,” kata Jefri Diana selaku ketua panitia pelaksana festival.

Sementara itu, pada 21-22 Oktober 2023 Nagari Pagadih menggelar even Pagadih Baralek Gadang. Pada kegiatan ini, kesenian-kesenian tradisi seperti gandang tambua, tari piring, rabab, badikia ditampilkan oleh anak nagari Pagadih. Tidak hanya itu, sejumlah kerajinan tangan masyarakat berupa kampia mansiang (tas rajut dari daun mansiang atau Actinoscirpus grossus) juga dihadirkan. Selain ramah lingkungan, bagi masyarakat Pagadih, kampia mansiang juga memiliki nilai filosofis tersendiri, terutama berkaitan dengan bentuk serta peruntukannya.

Upaya Penguatan Ekonomi, Pelestarian Lingkungan dan Wisata Berkelanjutan

Pada pembahasan sebelumnya cukup jelas dibahas bahwa pengelolaan hutan dan lingkungan di Nagari Pagadih dilakukan dengan mengacu pada aspek kearifan lokal. Sederhananya, dapat dipahami bahwa semuanya bermuara pada upaya penguatan ekonomi masyarakat dengan mengambil manfaat dari hutan maupun tanah ulayat. Sekalipun demikian, penguatan ekonomi tidak hanya terbatas pada aspek pertanian belaka, secara lebih luas, hal tersebut dapat dilakukan dengan mengembangkan aspek pariwisata dengan mengusung konsep Pariwisata Hijau.

Belakangan, pihak Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mulai mengembangkan konsep pariwisata berkelanjutan atau sustainable tourism. Pengembangan kosep ini dinilai mampu memberikan dampak jangka panjang. Baik itu terhadap lingkungan, sosial, budaya, serta ekonomi untuk masa kini dan masa depan bagi seluruh masyarakat lokal maupun wisatawan yang berkunjung. Pengembangan konsep ini mengacu pada empat pilar fokus, yaitu pengelolaan berkelanjutan (bisnis pariwisata), ekonomi berkelanjutan (sosio ekonomi) jangka panjang, keberlanjutan budaya (sustainable culture) yang harus selalu dikembangkan dan dijaga, serta aspek lingkungan (environment sustainability).

Nagari Pagadih mulai mengarahkan pengembangan wisata dengan mengusung aspek pelestarian lingkungan maupun pelestarian budaya. Jika dirujuk pada konsep yang dibuat oleh Kemenparekraf, maka dapat dikatakan apa yang dilakukan di Pagadih sudah mengarah pada konsep sustainable tourism. Jika dikelompokkan, Nagari Pagadih memiliki destinasi wisata yang meliputi beberapa aspek, seperti wisata kuliner, wisata alam, wisata sejarah dan budaya, wisata even dan agroekoeduwisata.

Sejumlah destinasi wisata yang dapat dikunjungi ketika datang ke Pagadih di antaranya adalah Air Terjun Sarasah Pagadih Gadang, Gua Ngalau, Bukik Ngalau/Bukik Kebun Serai, Bukik Tontong dan Camping Ground, Surau Tuo Syekh Tuanku Jadid, Makam Syekh Tuanku Jadid / "Tampat" tempat sejarah asal mula Pagadih/makam 6 Rajo, Rumah Singgah M Natsir dan Mr Syafruddin Prawiranegara, Festival Batanam Padi, Festival Pagadih Baralek  Gadang, dan river camp.

Merujuk pada empat pilar sustainable tourism, maka Pagadih sudah memulai bisnis pariwisata dengan pola pengelolaan berkelanjutan yang dilakukan oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) nagari serta melibatkan masyarakat secara kolektif. Terkait ekonomi berkelanjutan (sosio ekonomi) dapat dikatakan sebagian destinasi wisata yang dikembanggkan tersebut mengusung konsep pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Edo Iswara yang juga menjabat sebagai ketua Pokdarwis Nagari Pagadih menuturkan, aktivitas pariwisata yang sejauh ini sudah dilakukan, memang diarahkan agar keuntungan yang didapat tidak hanya oleh segelintir orang, melainkan semua masyarakat dapat merasakan manfaatnya. Oleh karena itu pihaknya berusaha mengembangkan beberapa produk yang diproduksi oleh masyarakat, seperti teh daun gambir, minyak serai, kampia mansiang dan lain sebagainya.

Sementara itu, aspek keberlanjutan budaya juga menjadi salah satu concern Pokdarwis yang sudah berdiri sejak 2020 ini. Eksplorasi seni dan budaya menjadi salah satu tawaran yang dapat dinikmati ketika berwisata ke Pagadih. Selain pelaksanaan Festival Batanam Padi yang merupakan salah satu kearifan lokal masyarakat, masih banyak aspek lain yang dikembangkan. Penggunaan Rumah gadang sebagai homestay bagi para wisatawan adalah salah satu daya tarik yang ditawarkan.

Homestay yang kita gunakan di Pagadih adalah rumah gadang, selain ingin memperkenalkan rumah gadang sebagai identitas masyarakat Minang, pada dasarnya rumah gadang memiliki nilai filosofis berkaitan dengan budaya masyarakat Minangkabau yang terkenal dengan sistem kekerabatan matrilineal,” ujar Madrid Ramadhan, salah seorang pegiat wisata di Pokdarwis Nagari Pagadih.

Selain itu, Madrid menambahkan, di Pagadih para wisatawan juga dapat belajar dan menyaksikan pembuatan kampia mansiang, dimana secara filosofis tas tradisonal itu memiliki makna yang berkaitan dengan sosiokultural masyarakat. Jejak sejarah Nagari Pagadih yang berkaitan dengan peristiwa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Adanya rumah singgah M Natsir dan Mr Syafrudin Prawiranegara juga memperkuat fakta bahwa Pagadih yang berada di tengah belantara Bukit Barisan itu ikut menjadi bagian dari sejarah mempertahankan kedaulatan NKRI.

Dari semua desnitasi dan tawaran pengalaman berwisata di Nagari Pagadih, tentu saja tidak terlepas dari aspek pelestarian lingkungan. Pada sejumlah destinasi wisata alam, misalnya, Pokdarwis membuat sejumlah aturan yang mengarahkan para wisatawan untuk ikut menjaga lingkungan. Pada beberapa kesempatan, pengemasan makanan sudah mulai mengurangi penggunaan plastik, melainkan menggunakan daun pisang, termasuk juga menawarkan wisatawan untuk berbelanja kampia mansiang.

“Kampia mansiang dibuat dari daun mansiang, sehingga lebih ramah lingkungan dan dapat menggurangi sampah plastik,” ujar Madrid.

Sekalipun demikian, bisnis pariwisata yang ditawarkan di Nagari Pagadih tentu saja bukan kategori wisata populer, melainkan lebih pada wisata minat khusus. Untuk menjaga kelestarian lingkungan dan budaya agar dapat memperkuat perekonomian tentu saja dibutuhkan konsistensi dari pengelola. Salah satu tantangan ke depan adalah bagaimana bisnis pariwisata ini tetap bertahan dan memberi manfaat kepada seluruh masyarakat.

Masuknya Nagari Pagadih sebagai salah satu nominasi dalam 50 besar Anugerah Desa Wisata Idonesia (ADWI) tahun 2024 menjadi harapan sekaligus tantangan bagi pengelola wisata serta masyarakat Pagadih sendiri. Tentu saja, berada pada peringkat ini akan menjadikan Pagadih sebagai sorotan dari dunia luar, sebab selama ini Pagadih cenderung tidak dikenal dan bahkan baru kali pertama ikut serta dalam even tersebut.

Lantas, bagaimana Pagadih di masa mendatang? Apakah semua upaya pelestarian lingkungan, hutan, budaya dan tradisi untuk mencapai kemandirian ekonomi masyarakat bisa bertahan, atau malah mulai tergerus oleh arus popularitas yang kerap hanya bersifat sementara?

Tag:

Baca Juga

SIEJ Bahas Kondisi Hutan Sumbar Lewat Pemutaran Hasil Liputan Deforestasi Yang Terjadi di Kalbar
SIEJ Bahas Kondisi Hutan Sumbar Lewat Pemutaran Hasil Liputan Deforestasi Yang Terjadi di Kalbar
Pemkab Pesisir Selatan dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan Bahas Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan
Pemkab Pesisir Selatan dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan Bahas Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan
KKI Warsi Catat Ada Penambahan 3.000 Ha Tutupan Hutan di Sumbar
KKI Warsi Catat Ada Penambahan 3.000 Ha Tutupan Hutan di Sumbar
Bupati Agam, Andri Warman mengatakan bahwa Agam memiliki perhutanan sosial mencapai 16.247 hektare pada 2023 ini. Hal ini sesuai dengan data KPHL Agam Raya.
Agam Miliki Perhutanan Sosial Mencapai 16.247 Hektare
Perdagangan karbon menjadi pembicaraan hangat saat ini sebagai salah satu upaya yang ditempuh untuk mitigasi perubahan iklim dan
Dishut Sumbar dan KKI Warsi Gagas Konsep Carbon Non-market
Uma Kanopi Merestorasi Ekosistem Hutan Mentawai
Uma Kanopi Merestorasi Ekosistem Hutan Mentawai