Tolak Revisi UU KPK, PuSaKO: Presiden Harus Bersikap

Tolak Revisi UU KPK, PuSaKO: Presiden Harus Bersikap

Direktur PUSaKO Unand Feri Amsari (ist)

Langgam.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah menyetujui revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada rapat paripurna, Kamis (5/9/2019). Namun rencana itu belum sampai ke Presiden.

Revisi UU-KPK dianggap sebagai bentuk operasi senyap yang dapat melemahkan fungsi lembaga anti rasuah itu. Hal itu ditegaskan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand), Feri Amsari dalam keterangan tertulis yang diterima langgam.id, Jumat (6/9/2019).

PuSaKO memandang, revisi UU KPK tidak taat terhadap ketentuan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Proses untuk melakukan perubahan kedua terhadap UU KPK melanggar ketentuan yang terdapat pada Pasal 45 ayat (1) UU nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan bahwa, pembahasan sebuah RUU harus berdasarkan program legislasi nasional (prolegnas).

"RUU KPK tidak termasuk dalam prolegnas tahun 2019. Sehingga telah terjadi pelanggaran formil dalam pembahasan perubahan kedua UU KPK yang dilakukan oleh DPR," katanya.

Selain itu, beberapa materi dalam RUU KPK bertentangan dengan konsep
independensi serat tugas pokok dan fungsi KPK. Seperti ketentuan membuat laporan pertanggungjawaban 1 kali dalam 1 tahun kepada Presiden, DPR dan BPK.

"Padahal, KPK dibangun sebagai lembaga mandiri yang independen dan terlepas dari cabang kekuasaan lainnya. Jika diberikan kewajiban bagi KPK memberikan laporan kepada lembaga eksekutif dan legislatif, maka akan membuat KPK rentan untuk diintervensi oleh cabang kekuasaan lainnya dan menciderai independensi KPK," tegas Feri dalam rilisnya.

Selain itu, kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK juga dicoba untuk dikebiri dengan cara mewajibkan KPK meminta izin tertulis kepada Dewan Pengawas. Padahal, ketentuan ini tidak terdapat pada UU KPK.

Menurut pengamat hukum nasional itu, pembentukan Dewan Pengawas merupakan sesuatu yang tidak dibutuhkan. Sebab, hal itu akan menghambat kinerja KPK dalam melakukan upaya pemberantasan
korupsi di Indonesia.

"Unsur pengisi posisi Dewan Pengawas serta mekanisme kerja yang tidak jelas akan mempermudah untuk melemahkan KPK secara sistematis dari dalam," katanya.

Kemudian, Presiden Joko Widodo telah menyatakan bahwa, selama ini, KPK bekerja dengan baik menjalankan tugas pokok dan fungsinya dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Pernyataan tersebut disampaikan Presiden pada Kamis (5/9/2019) di Pontianak. Hal itu ditegaskan Jokowi untuk menanggapi pembahasan revisi UU KPK yang diusulkan oleh Badan Legislasi DPR.

"Untuk menjaga KPK dari upaya pelemahan melalui revisi UU KPK, Presiden Joko Widodo harus mengambil sikap penolakan terhadap rancangan UU tersebut dengan cara mengirimkan Surat Presiden (Surpres) kepada DPR untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU KPK," pintanya.

Senada dengan itu, peneliti PUSaKO Hemi Lavour Febrianandez melanjutkan, membahas revisi UU KPK akan membuat DPR tidak fokus bekerja. Padahal, legislasi merupakan salah satu fungsi yang diberikan kepada DPR. Saat ini, teerdapat 55 RUU yang termasuk dalam Prolegnas Priotitas untuk tahun 2019.

"Revisi UU KPK tidak termasuk dalam prioritas pembahasan. Sehingga menjadi kekeliruan apabila DPR tiba-tiba mendahulukan merevisi UU KPK ketimbang mendahulukan membahas UU Prolegnas Prioritas," katanya.

Dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa, dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan RUU diluar Prolegnas. Dengan syarat untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam dan keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atau RUU yang dapat disetujui bersama oleh kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

"Pembahasan revisi UU KPK tidak memenuhi unsur yang diatur. Selain tidak fokus dengan mengabaikan pembahasan UU prioritas prolegnas, DPR juga
melanggar UU dalam pembentukan dan revisi terhadap sebuah peraturan perundang-undangan," tegasnya.

Atas dasar itu, PusaKO Unand menolak segala bentuk pelemahan KPK termasuk melalui revisi UU KPK yang memiliki permasalahan secara formiil dan materiil.

"Presiden Joko Widodo harus mengambil sikap dengan mengirimkan Surpres kepada DPR untuk menghentikan pembahasan dan rencana revisi terhadap UU KPK," tutupnya. (Rahmadi/rls)

Baca Juga

Survei Penilaian Integritas, UNAND Kerjasama dengan KPK
Survei Penilaian Integritas, UNAND Kerjasama dengan KPK
Mencari Pimpinan Pemberantasan Korupsi: Perspektif Antropologis - 'Ntah Ado Antah Indak'
Mencari Pimpinan Pemberantasan Korupsi: Perspektif Antropologis - 'Ntah Ado Antah Indak'
Miko Kamal
Firli dan Salah Presiden
Ditunjuk Jadi Ketua KPK, Nawawi Ingin Kembalikan Kepercayaan Masyarakat
Ditunjuk Jadi Ketua KPK, Nawawi Ingin Kembalikan Kepercayaan Masyarakat
Pemkab Dharmasraya meraih penghargaan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai pemerintah daerah terbanyak kedua di Provinsi
Berhasil Selesaikan Sertifikasi Aset, Pemkab Dharmasraya Terima Penghargaan dari KPK
Rombongan Roadshow Bus KPK 2023 telah hadir di Kota Payakumbuh pada Jumat (6/10/2023). Sebelumnya, Roadshow Bus KPK 2-23 sudah mengunjungi
Roadshow Bus KPK Hadir di Payakumbuh, Wako Ajak ASN Berperan Lawan Korupsi