Setiap makhluk hidup pasti pernah mengalami krisis. Secara etimologi kata ‘crisis’ dalam bahasa Inggris diturunkan dari kata benda Yunani “krisis” dan kata kerja “krino” yang memiliki beberapa arti terkait: “pemisahan (to separate)”, “penentuan (to decide)”, “pembedaan (two draw a distinction)”, dan “titik balik (turning point)”.
Jared Diamond dalam buku barunya, “Upheaval: How Nations Cope with Crisis and Change” menjelaskan bahwa krisis bisa dianggap sebagai sebuah momen kebenaran: sebuah titik balik kondisi sebelum dan sesudah krisis itu terjadi sehingga muncul perbedaan. Diamond menambahkan bahwa titik balik merupakan sebuah tantangan yang mampu memberikan tekanan untuk merancang metode penanggulangan yang baru (new coping methods). Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa setiap krisis yang dihadapi merupakan peluang untuk menemukan sesuatu yang lebih baik.
Memahami krisis sebagai titik balik merupakan upaya membangun optimisme. Dalam bahasa Alquran surat Asy-Syarh ayat 5-6 disebutkan bahwa “sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan”. Seakan-akan Allah memberikan kalkulasi sederhana bahwa satu kesulitan itu mendatangkan dua kemudahan. Maka dalam kajian hukum Islam muncul beberapa kaidah hukum diantaranya, “kesulitan mendatangkan kemudahan (al-masyaqqah tajlibu at-taisir)”, atau kaidah lain, “apabila sesuatu telah menyempit maka ia menjadi luas (idza dhaqa asy-syai’u ittasa’)”.
Kaidah-kaidah hukum tentang kesulitan ini merupakan abstraksi dari pesan global hukum Islam, yaitu kemudahan. Kebanyakan orang tidak acuh dengan pesan penting syari’ah seperti ini. akibatnya banyak yang memaksakan diri di tengah kesulitan padahal jelas-jelas mengandung keringanan (rukhsah). Religiositas tidak lagi diukur dengan pengetahuan yang mumpuni, tetapi sudah dikalahkan oleh sensitifitas gairah keagamaan palsu.
Betapa banyak orang yang tanpa rikuh bicara tentang konsep-konsep agama padahal yang dikemukan cuma hasrat kesalehan tanpa pengetahuan. Bahkan muncul juga sifat mengagulkan diri dibanding pihak yang lebih otoritatif. Lihat saja, fatwa sebagian besar ulama di dunia yang bisa dikatakan sebagai kuasi (hampir) ijmak dalam konsep hukum Islampun masih dicaci-maki. Bahkan nahasnya yang berkomentar destruktif itu sebelumnya juga tidak terlalu patuh dengan kaidah-kaidah fikih, sekarang malah merasa saleh, padahal seringkali salah.
Menolak uzur syar’i yang diberikan Allah merupakan bentuk lain dari kesombongan. Atau memang kita semua memang harus dihantam bala dulu baru bisa menghilangkan kesombongan? Saya tidak sedang bicara kasuistik secara khusus tentang respon masyarakat terhadap fatwa MUI selama pandemi. Walaupun sebagian besarnya bisa ditarik ke fenomena tersebut.
Sampai pada titik fenomena yang saya deskripsikan tersebut, kita harusnya menyadari bahwa keadaan krisis menuntut kita untuk belajar lebih banyak. Apalagi bersangkut dengan persoalan agama, butuh ilmu dan pengetahuan. Tidak cukup hanya gairah tok.
Upaya memahami krisis sebagai titik balik tidak hanya membangun sikap optimis, namun juga merupakan momentum pembelajaran. Satu persoalan yang mengentak kalbu pasti akan membawa impresi mendalam dan mendatangkan perubahan. Walaupun peristiwa itu sederhana, pendek, dan berlalu dengan cepat. Namun apabila sentuhan peristiwa tersebut menyentuh sisi terdalam hati, maka perubahan dimulai.
Ingatlah cerita Umar bin Khatab yang datang dengan keinginan memuncak untuk membunuh Nabi. Keinginan itu berbalik menjadi peristiwa besar yang mengubah jalan sejarah setelah dia membaca surat Tha Ha dari catatan adiknya. Ayat-ayat alquran menembus rohaninya, entakan spritual terjadi seraya mendatangkan titik balik perubahan. Umar pada akhrinya menjadi sosok teladan yang mampu menjadi perisai perjuangan Nabi.
Popular juga cerita tentang seorang perampok yang pada akhirnya menjadi guru para ulama, Fudhail bin Iyadh. Beliau mendapatkan momentum perubahannya sesaat sebelum melangsungkan niat perampokannya kepada sekelompok kafilah. Dalam salah satu riwayat diceritakan, sewaktu Fudhail menyergap kafilah tersebut, tiga orang pihak kafilah tersebut mengacungkan anak panah sembari membaca surat Al-Hadid ayat 16. Apa yang terjadi? Fudhail terkapar dan tersentak dengan kerasnya. Bukan karena anak panah kafilah itu menembus fisiknya, tetapi karena anak panah ayat Tuhan menghunjam nuraninya. Bacaan kafilah itu mengentak alam sadarnya dan dia mengubah jalan hidupnya menjadi seorang zahid serta ulama besar.
Kisah ketiga terjadi di ranah Minangkabau. Suatu malam ada seorang pemuda yang dikejar-kejar oleh warga karena berbuat rusuh dan meresahkan. Pemuda yang terkenal parewa (perusuh) ini kemudian menyuruk di sebuah ruangan mesjid sampai dia tertidur di sana. Di saat azan subuh berkumandang, pemuda tadi tersentak, terbangun lahir dan batin, alam rohaninya disentuh oleh suara dan bacaan azan. Suara dan bacaan azan itu menjadi titik balik yang mengubah jalan hidupnya. Siapa parewa Minang itu? Dialah Jamil Sutan Maleko atau yang kita kenal sebagai salah satu ulama besar minangkabau, Syekh Muhammad Jamil Djambek.
Dari ketiga peristiwa tersebut kita ambil hikmah sederhana, bahwa perubahan akan terjadi kalau peristiwa yang dialami seseorang mampu membangkitkan potensi baik di dalam dirinya. Naluri manusia mengandung dua potensi dasar, kebaikan dan keburukan. Dalam bahasa Alquran surat As-Syam ayat 8 disebutkan potensi fujur dan taqwa. Potensi baik dan buruk insting dasar yang terkadang butuh entakan peristiwa ataupun krisis untuk membangkitkannya. Dalam hal ini, tidak berlaku adagium film Joker yang terkenal, “orang jahat adalah orang baik yang tersakiti”. Jahat dan baik itu potensi bawaan yang bisa dibangkitkan, tergantung orangnya ingin seperti apa.
Peristiwa di atas juga mengandung hikmah jangan terlalu cepat menilai buruk hidup orang lain. Perubahan itu pasti terjadi, cepat atau lambat. Kita tidak bisa menilai hidup orang lain sebelum kita mengupas kelopak demi kelopak perjalanan hidupnya. Mengupas perjalanan hidup manusia itu seperti mengupas kelopak bawang, penuh lapisan.
Tugas kita sekarang, renungilah segala peristiwa walaupun hidup bukan sekadar renungan. Akan tetapi hidup butuh perenungan. Renungan melahirkan pikiran-pikiran besar, sikap bijak, dan menghasilkan kebesaran hati. Pandemi di bulan suci merupakan momentum besar untuk memulai perenungan. Selamat bermenung!
Aidil Aulya, Dosen Fakultas Syariah UIN Imam Bonjol Padang