Tanjung Barulak Menolak Pajak

Tanjung Barulak Menolak Pajak

Foto: Yose Hendra

Langgam.id - Kebijakan (beleid) Tabungan Perumahan Rakyat yang akan diberlakukan tahun 2027 mendedahkan polemik. Tapera sejatinya adalah pajak yang dibebankan kepada rakyat.

“Sejak ada perubahan dari Bapertarum ke Tapera ada kekosongan tahun 2020-2024 tidak ada sama sekali iuran karena memang Tapera belum jalan. Nanti Tapera akan berjalan, untuk ASN, yang setengah persen dari APBN itu setelah ada Kepmen dari Kementerian Keuangan. Selanjutnya untuk para pekerja yang swasta maupun mandiri itu (baru berlaku) setelah ada peraturan dari Kemenaker,” jelas Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko alam konferensi pers di kantor KSP, Jakarta, Jumat (31/5).

Komisioner BP Tapera Heru Pudyo Nugroho mengatakan tidak semua pekerja diwajibkan untuk menjadi peserta Tapera. Berdasarkan substansi dari UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera, katanya, disebutkan bahwa pekerja dengan gaji di bawah upah minimum regional (UMR) tidak wajib menjadi peserta Tapera.

Tapera entitasnya adalah pajak. Melansir online-pajak.com, pemberlakuan program Tabungan Perumahan Rakyat tentu tidak lepas dari pengenaan pajak. Dalam hal ini, Tabungan Perumahan Rakyat merupakan objek pajak yang dikenakan PPh 21.

Jika mengacu pada PP Nomor 25 Tahun 2020, praktik pemanfaatan Tapera adalah untuk pembiayaan pemilikan, pembangunan atau perbaikan rumah.

Iuran jenis ini masuk ke jenis taxable income later, dimana pengenaan PPh dilakukan ketika wajib pajak menerima dana simpanan karena wajib pajak dianggap memperoleh tambahan kemampuan penghasilan.

Perlakuan pengenaan jenis tabungan ini mirip dengan pengenaan PPh 21 dalam JHT dan JP dimana JHT dan JP yang dibayarkan pekerja menjadi pengurang penghasilan bruto. 

Dan beleid Tapera ini menuai gelombang penolakan dari pelbagai kalangan, mulai dari kaum pekerja, hingga pengusaha sendiri. “Undang-undang Nomor 4 Tahun 2016 ini, kan minta direvisi. Ada beberapa pasal tertentu (yang direvisi). Nah, kalau PP-nya, kita memang pikirkan apa yang mau kita bawa ke Mahkamah Agung,” ungkap Presiden Konfederasi KSBSI Elly Rosita Silaban, pada Jumat, 31 Mei 2024.

Bahkan Presiden Terpilih 2024 - 2029 Prabowo Subianto pun mengatakan saat ini pemerintah masih mencari solusi yang terbaik.

"Kita akan pelajari dan kita cari solusi terbaik," bilang Prabowo di Kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (6/6/2024).

Seruan untuk tidak membayar pajak bukanlah gagasan baru. Di zaman kolonial Belanda, seruan ini benar-benar menjadi aksi penolakan yang berdarah-darah dan melahirkan para syuhada. Bulan Juni 1908, penolakan membayar pajak masif, berlangsung di sejumlah nagari di Dataran Tinggi Minangkabau (Padangsche Bovenlanden).

Penolakan pajak yang berujung pada perlawanan rakyat dalam perspektif kolonial Belanda disebut pemberontakan, atau diistilahkan Perang Belasting, berlangsung pada 15-16 Juni 1908. Paling sohor, dan yang memulai adalah Kamang, sebuah nagari di timur Kota Bukittinggi. Selain Kamang, Perang Belasting juga terjadi di Lubuk Alung, Kayu Tanam, Pariaman, pinggiran Danau Singkarak seperti Malalo, Pandai Sikek, Tilatang, Magek, Panyalaian dan Tanjung Barulak.

“Periode kedua dalam Belasting dimulai pada 15 Juni 1908. Setiap hari (15-16 Juni), ratusan orang (penduduk) memberontak dan tak takut mati dalam menanti pasukan Hindia Belanda yang membawa bayonet dan senjata,” demikian nukilan berita Sumatra – Bode 2 Januari 1909.

Untuk memadamkan api perlawanan rakyat ini, pusat pemerintahan kolonial di Bogor mengirimkan 20 batalion tentara ke Sumatra Barat.

Penulis sejarah Rusli Amran menjelaskan, tatkala budidaya kopi tak lagi menguntungkan, maka di tahun 1908, Belanda menghapuskan sistem tanam paksa tersebut, dan menjalankan pajak perorangan.

Ide pajak langsung menjadi solusi mandeknya budidaya kopi, muncul pada sebuah konfrensi di bulan Februari 1905 di Bukittinggi. Namun dalam konfrensi itu, muncul dialektika, bahwa pemaksaan pajak pada penduduk akan berbenturan dengan sendi tata cara hidup orang Minang yakni harato pusako (pusaka tinggi). Sebuah warisan dalam sistem kekerabatan matrilineal yang tak boleh dijual dengan begitu saja.

Singkat cerita, Jenderal van Heutzs yang diangkat menjadi Gubernur Jenderal pasca Perang Aceh, punya beban untuk mencari uang sebanyak-banyaknya yang sebelumnya tergerus untuk operasional Perang Aceh.

”Persetan dengan adat pusako. Jalankan pajak segera! sekarang bukan lagi zaman Pidari. Kalau kita takut menyentuh harato pusako¸ berarti kita memberi kesempatan pada rakyat untuk tidak membayar pajak karena mereka akan selalu berlindung di belakang harato pusako itu. Kalau toh rakyat menganggap keramat harato pusako itu, maka seharusnya mereka berusaha sekuat tenaga membayar pajak dari sumber-sumber lain. Kalau setiap orang menunaikan tugasnya, harato pusako tidak akan digerogoti!” tulis Rusli Amran mengulang pernyataan Heutzs, dalam Sumatra Barat Plakat Panjang.

Titah sudah keluar dari mulut Heutzs, kemudian hari digodok menjadi peraturan pemerintah. Tepatnya 21 Februari 1908, dikeluarkan tiga Peraturan Pemerintah No. 93, 95, dan 96. Ketiga peraturan ini dimuat dalam Lembaran Negari 5 hari kemudian. Pemberlakuannya dimulai sejak 1 Maret 1908.

Peraturan Pemerintah No. 93 menetapkan pajak sebesar 2 persen terhadap semua penduduk di Sumatra Barat yang disebut pajak atas perusahaan dan pemasukan-pemasukan lainnya.

“Tetapi yang terpenting ialah pasal 4. Dengan terang-terangan disebut bahwa pemasukan harta pusaka juga dikenakan pajak. Yang bertanggungjawab ialah mamak mewakili seluruh keluarga atau kaumnya,” ungkap Rusli.

Peraturan Pemerintah No. 95 memuat pengenaan pajak 3 gulden setahun untuk potong hewan seperti sapi, kerbau dan kuda. Sementara untuk babi dikenakan pajak 1,5 gulden. Lalu, Peraturan Pemerintah No. 96 menghapuskan penyerahan wajib kopi pada pemerintah sekalian budidaya kopi per tanggal 1 Maret 1908.

Menurut Rusli, langkah yang diambil Gubernur Jenderal Heutzs adalah suatu tindakan menentang banyak hal. Ia tak hirau dengan nasehat gubernur jenderal sebelumnya. Ia menafikan keputusan konfrensi yang digelar di Bukittinggi tiga tahun sebelumnya.

Heutzs bahkan tidak memedulikan nasihat Residen Sumatra Barat Taylor Weber yang telah mengingatkan, agar harato pusako di Minangkabau jangan sekali-kali diganggu gugat. Apalagi peraturan pajak ini jelas-jelas mengkhianati Plakat Panjang, konvensi 25 Oktober 1833, periode Perang Pidari.

Plakat Panjang sebuah solusi damai yang ditawarkan Belanda kepada masyarakat Minangkabau. Isinya antara lain, tidak saling berperang, Residen atau pejabat pemerintahan di pantai tak boleh ikut campur pemerintahan di nagari, pemerintah tidak akan mengadakan pajak berupa uang lagi, tapi berharap perluasan penanaman kopi dan lada untuk kepentingan bersama.

Pada akhirnya Weber memilih mengundurkan diri setelah peraturan pajak diumumkan. Sebab, ia tak mau bertanggungjawab atas segala akibatnya.

Weber benar. Pemaksaan peraturan pajak pada akhirnya menimbulkan perlawanan rakyat serempak di Sumatra Barat. Sangat heroik. Darah pun mengucur dengan deras di banyak nagari.

Pada pertengahan bulan Juni 1908, imbas pemberlakuan pajak ini mulai menuai perlawanan. Sejumlah nagari-nagari di Sumatra Barat terutama Dataran Tinggi Minangkabau berkecamuk. Mengangkat klewang yang kemudian direspons Belanda dengan senjata api.

3 Bulan Masa Bersiap

Muhammad Danan (90) yang ditemui tahun 2023, pewaris gelar sako penghulu kaum bersuku Simabur dengan gelar Angku Datuak Panghulu Nan Itam, mendapatkan kisah perlawanan itu dari orang tuanya. Gelar yang menempel dibelakang Namanya adalah gelar sako, gelar pusaka tinggi yang diwariskan turun temurun kepada seorang lelaki untuk memimpin kaumnya menurut garis matrilineal. Gelar ini pernah melekat pada dedengkot Perang Rakyat Tanjung Barulak menentang pajak tahun 1908.

Danan yang waktu itu masih muda,  bahkan ketemu baju hitam penuh tebuk selongsong peluru. "Saya ketemu baju hitam, banyak tabuk (lubang atau tebuk) oleh peluru. Diserahkan ke rang gaek (orang tua), dan kemudian beliau mengatakan bahwa ini baju yang dipakai waktu perang masjid oleh Dt. P. Nan Itam.”

Danan banyak mendapatkan cerita menarik dalam perang itu.  Seperti Angku Dt. P. Nan Itam yang tidak mempan kena peluru. Dada Dt. P. Nan Itam sebenarnya menjadi sasaran peluru dengan bukti baju yang dikenakannya pada waktu itu, banyak bolong bekas kena peluru. Namun ia tak gugur.

Tanjung Barulak saat itu dipimpin kepala nagari bernama Angku Dt. Rajo Lelo. Pemberlakuan bayar pajak yang ditolak keras, disadari oleh kaum adat dan kaum agama akan beujung perang suatu hari.

Maka tak mengherankan di sejumlah surau, pengajian yang bahkan berupa kaji batin diintensifkan.

Misalnya di surau Tuk Husein. Di sana para ulama berkumpul sebelum perang melawan pemberlakukan pajak.

“3 bulan lamanya masa-masa menolak pajak sejak mulai diberlakukan, kajian di surau Tuk Husein semakin bergelora. Banyak yang ikut pengajian itu. Gurunya adalah Katik Sutan dari Maninjau. Di sana dipelajari ilmu batin. Dan disela itu juga bagaimana mengasah senjata seperti kelewang,” ungkap Danan.

Akhirnya masa-masa yang sudah diperkirakan itu menjadi nyata. Di pertengahan bulan Juni 1908 itu pertempuran terjadi, tak terelakkan.

Perang Basosoh

Pada tanggal 13 Juni 1908, petugas pajak menyambangi Nagari Tanjung Barulak, 14 km selatan Kota Padang Panjang atau 3 km di utara Danau Singkarak. Tanjung Barulak hari ini, nagari yang dibelah jalan lintas Sumatra, berada di Kecamatan Batipuh, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat.

Saat itu, 4 kepala keluarga berikut kaumnya di Tanjung Barulak yang menerima nota tagihan pajak, dengan tegas menolak membayarnya.

Kemudian keesokan harinya, kepala laras pergi menemui mereka yang menolak membayar pajak. Hasilnya tetap nihil.

Selasa, 16 Juni 1908, Pemerintah Kolonial Belanda pun mendapat bocoran, nagari-nagari di selatan Padang Panjang akan memberontak, sebagai wujud menolak kebijakan pajak secara tegas. Sebuah operasi militer ke selatan Padang Panjang pun diluncurkan.

Dalam operasi militer ini, bivak didirikan di Nagari Bungo Tanjung dan juga Nagari Batu Taba, pinggiran Danau Singkarak. Bivak di Bunga Tanjung dipimpin oleh Letnan Baptis. Pendirian bivak ini tak terlepas dari operasi militer untuk menekan penduduk yang diinformasikan menolak kebijakan pajak.

Tanggal 16 Juni itu juga, pasukan Belanda digerakkan. Pasukan ini berada di bawah komando Kapten van Nieuwland. Dari Bunga Tanjung para serdadu berjalan ke arah selatan atau hilir, dengan tujuan bukan saja Tanjung Barulak, tapi juga Malalo, nagari di sisi barat Danau Singkarak.

Sudah ada 19 orang yang diidentifikasi berkat laporan mata-mata, akan menghadang pasukan Belanda di Tanjung Barulak. Di Tanjung Barulak pasukan ini mencari rumah mereka yang dianggap aktor utama dalam menolak kebijakan pajak. Namun gagal didapatkan.

Tanggal 16 itu hari Selasa, saat bersamaan, sedari pagi orang-orang sudah memenuhi masjid nagari atau disebut juga masjid mudiak di Jorong Palembayan, Nagari Tanjung Barulak. Masjid itu beratap ijuk, di mana di seberangnya berdiri kokoh bukit kecil bernama Limau Puruik. Masjid yang penuh sesak, berkumandang bacaan zikir.

Seorang mata-mata mengarahkan pasukan tersebut ke masjid itu. Di sana, diinformasikan banyak yang berkumpul untuk menanti kedatangan Belanda. Mereka disebut-sebut, siap untuk mati demi mempertahankan penolakan membayar pajak.

Menjelang siang itu, pasukan Belanda berjalan ke arah ke hilir (menuju Tanjung Barulak) dari Pitalah Bunga Tanjung, diketahui oleh Pandeka Rafiun, warga Tanjung Barulak. Secepat kilat dia ke masjid dan kemudian langsung memukul beduk masjid.

Kepada mereka yang tengah berkumpul di masjid, Pandeka menyorakkan bahwa posisi pasukan Belanda sudah di Kapalo Koto, kurang 1 km dari Masjid Nagari Tanjung Barulak.

Tak berselang lama, Belanda datang. Utusan mereka kemudian menjemput A. Dt Rajo Lelo. Dan diwanti-wanti, masjid akan dibakar, jika rakyat di sana bertahan di dalam masjid dan tak menyerahkan diri.

Juru bicara pasukan Belanda, meminta mereka yang ada di masjid (surau) untuk keluar. Namun hanya 5 pria yang muncul keluar. Saat itu, tidak ada tembakan yang menembus dinding masjid, karena hanya wanita yang masih ada di dalam.

“Dibawa juga orang Maninjau bergelar Katik juga. Dibujuknya orang keluar dari masjid. Diminta serahkan senjata ke Belanda, kita (kata Katik) tidak mungkin melawan Belanda,” kisah Danan.

Seketika, alarm berbunyi di masjid itu. Pasukan Belanda dikepung oleh banyak orang dalam upaya melucuti senjata mereka.

Surabaiasch-Handelsblad memberitakan kejadian itu pada terbitan Kamis, 18 Juni 1908. Diterangkan, kala pasukan Belanda mendekati masjid itu, ada sekitar 16 orang, terdiri dari pria dan wanita di sana.

Danan kemudian melanjutkan, Katik Kayo terpengaruh. Diserahkan senjatanya. Dalam proses penyerahan senjata itu, Dt. Pangulu Nan Itam dengan sekelebat menghunuskan pisau ke salah seorang pasukan Belanda. Ia rebah, dan seketika meninggal.

Kecamuk pun terjadi. Dt. Pangulu Nan Itam ditembak. Tapi ia tidak meninggal. Hanya terasa sedikit sakit, dan rebah ke arah sungai kecil di samping masjid. Dt. P. Nan Itam ini, kata Danan, baru meninggal tahun 1914.

“Atas perintah seorang haji tua, pasukan itu kemudian diserang oleh orang-orang yang berpunuk, sehingga terjadilah perkelahian terlebih dahulu.,” tulis Surabaiasch-Handelsblad.

Perlawanan rakyat Tanjung Barulak dipimpin oleh Katik Kayo. Di belakangnya, ada 3 orang yang menjadi wakil komandan yakni Dt. P. Nan Itam, Datuak Tianso, Datuak Damuanso.

Lantas perang basosoh (sesuatu di luar batas kewajaran, liar, gigih, tak takut mati) kian tak terelakkan.

“Orang-orang itu bertarung sampai mati, atau lebih tepatnya, mencari kematian daripada harus tunduk pada tindakan administratif terkait pajak,” demikian penggalan berita di laman Surabaiasch-Handelsblad.

Pertempuran begitu sengit. Percikan darah mereka membasahi tanah di lokasi yang masih sama keadaannya sekarang; masjid dengan benteng bukit Limau Puruik itu.

Dalam perang basosoh ini, ada juga lakon yang mencuat bernama si Ansa. Ia membawa pasukan Belanda satu lawan satu. Oleh pasukan Belanda, Ansa ditembak dengan senjata api, tapi Ansa dengan lihai bisa mengelak. Ia adalah seorang pesilat yang cukup sohor di kampung itu.

Terbebas dari peluru, Ansa dengan begitu cepat menebaskan parang ke orang Belanda itu. Dan kemudian lawan terkapar.

Danan mengatakan, komandan dalam operasi militer Belanda ini dibawa dari Aceh. Tatkala komandan ini sedang mengikat Masa Jamil (salah seorang yang ikut perang dari Tanjung Barulak), leher sang komandan ditebas oleh si Balik. Dan ia langsung mati.

"Aceh kecil," kata orang Belanda meratapinya, seperti ditirukan kembali oleh Danan. Sebab, sang komandan itu, saat perang Aceh yang hebat, ia tidak apa-apa. Justru di nagari Tanjung Barulak, nyawanya melayang.

Sebaliknya, si Balik kena tembak. Perang semakin berkobar. Setelah komandan perang mati, seorang letnan naik ke atas bukik Limau Puruik di depan masjid. Ia menembakkan peluru secara membabi buta ke arah masjid palagan perang basosoh.

“Mertua saya bernama Tankin gelar Pangeran ikut perang itu mengalami luka-luka,” ujar Danan.

Kibasan klewang atau janok mereka juga ada yang berhasil menumpahkan darah di sisi musuh, dalam hal ini Belanda. Yang dimaksud adalah Letnan van Gumster dan Sersan Horn. Mereka ditebas dengan parang, mengena pergelangan tangan kirinya. Darah mencucur, dan lukanya cukup parah. Asisten Residen De Nijs yang ikut, menderita dislokasi pinggul akibat jatuh.

Sementara pasukan Belanda menggunakan karabin dan senjata api untuk menghentikan perlawanan. Belasan orang gugur menjadi syuhada.

“Di afdeling (afdeeling) Batipuh dan X Kota, asisten residen, inspektur di bawah perlindungan departemen polisi militer  (Marehaussee) di bawah komando Kapten van Nieuwland, pergi ke laras Boenga Tandjoeng (Nagari Tanjung Barulak termasuk bagian Kelarasan Bunga Tanjung masa itu), yang terletak di dekat Danau Singkarak, untuk menyelidiki penyimpangan sehubungan dengan pajak yang akan diperkenalkan. Di Negari Tandjoeng Barulak, pejabat tersebut menemukan kerumunan (orang-orang) berkumpul di masjid, yang dengannya pasukan bentrok. Untuk alasan apa kita tidak tahu. Satu sersan pribumi tewas, Letnan van Gumster dan dua anak di bawah umur luka serius dan lima anak di bawah umur luka ringan, sementara di pihak pribumi 14 orang tewas dan satu terluka,” tulis de Sumatra Post terbitan 30 Juni 1908.

Data korban agak berbeda didapatkan pada sebuah prasasti di pojok atas sisi tangga ke masjid. Ada 19 nama yang menjadi korban dipahat di prasasti itu. Kebanyakan niniak mamak (penghulu atau pimpinan kaum atau suku).

12 orang di antaranya gugur dalam pertempuran itu yakni Taher, Tamin, Katik Kayo, Dt. Damuanso, Dt. Bagindo, Dt. Garanggu, Dt. Talelo, Pakiah Kayo, Dt. Sipado, Gindo Malin, Dt. Tianso, dan Balik. Sementara sisanya 7 orang lagi mengalami luka, yakni Dt. P. Nan Itam, Pasa Jamil, Pakiah M. Lelo, R. Gindo Malin, L. Pk. Basa, Tankin, Kaimah.

Dalam perang ini, 12 orang Tanjung Barulak gugur. “Sebagian dikubur di masjid, sebagian dibawa pulang,” kata Danan.

Sementara orang Belanda yang meninggal dan luka-luka dibawa ke stasiun kereta api di Simpang (masih di Tanjung Barulak). Sore itu juga, kereta terakhir yang digunakan untuk membawa Letnan van Gumster dan 8 pasukan lainnya yang terluka parah untuk dirawat di rumah sakit di Padang Panjang.

Usai pertempuran hebat itu, tanggal 18 Juni 1908, penduduk Tanjung Barulak mencari tahu pengkhianat atau mereka yang membantu pihak kolonial.

Pada akhirnya, diketahui seorang penghulu telah bersengkokol. Tak berselang lama, seorang penghulu kepala dibunuh penduduk di Tanjung Barulak. Selain itu, malam 17 Juni itu juga, penduduk ramai-ramai mendatangi bivak Letnan Baptis di laras Bunga Tanjung.

Perang ini berhasil dipadamkan oleh Belanda. Sejumlah orang Tanjung Barulak ditangkap, dibawa ke Padang Panjang.

“Dibawa orang-orang itu ke Padang Panjang, dan mau dioper ke luar (negeri lain). Tapi oleh jaksa asal (danau) Maninjau yang bertugas di Padang Panjang, dia bantah dasar atau alasan untuk mengoper mereka ke luar. Tidak bisa katanya. Kenapa tidak bisa? Tuan-tuan salah, masuk nagari orang tidak permisi. Jaksa itu menyebut kesalahan Belanda. Akhirnya mereka hanya di tahan di Padang Panjang,” beber Danan.

Masjid yang menjadi palagan bulan Juni 1908 silam sudah berupa bentuk, tapi tetap di lokasi yang sama. Untuk menghormati para pejuang dan mereka yang meninggal dalam peristiwa itu, masjid itu kemudian diberi nama Masjid Raya Syuhada.

Sebagian naskah ini telah diterbitkan di Historia.id.

Baca Juga

Jabatan Gusti Chandra sebagai Direktur Kredit dan Syariah merangkap tugas Pjs Direktur Utama (Dirut) dan seluruh Direksi Bank Nagari,
Bank Nagari Siapkan Rp500 Miliar Ikut Danai Proyek Flyover Sitinjau Lauik
Debat publik kedua Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Padang digelar oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Padang di Hotel Truntum
Cek Fakta: Hendri Septa Klaim Turunnya Kemiskinan, M Iqbal Soroti Tingginya Pengangguran di Padang
Seekor harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) berhasil terperangkap dalam kandang jebak yang dipasang oleh Tim BKSDA Sumbar d
Sempat Buat Warga Khawatir, Akhirnya Harimau Sumatra Masuk Perangkap di Solok
Dalam debat pertama Pilgub Sumbar yang digelar di Hotel Mercure Padang pada Rabu (13/11/2024), calon Gubernur dan Wakil Gubernur memaparkan
Debat Pilkada Sumbar: Kebebasan Beragama dalam Sorotan, Tantangan bagi Toleransi di Ranah Minang
Debat Pilgub Sumbar: Apa Benar LGBT di Sumbar Peringkat Ketiga Nasional?
Debat Pilgub Sumbar: Apa Benar LGBT di Sumbar Peringkat Ketiga Nasional?
Dalam debat pertama Pilgub Sumbar yang digelar di Hotel Mercure Padang pada Rabu (13/11/2024), calon Gubernur dan Wakil Gubernur memaparkan
Debat Pilgub Sumbar: Epyardi Asda Tuduh Anak Buah Mahyeldi Terjerat KKN, Ini Faktanya