Taman Rasa, Taman Metafora

Perupa Jumaldi Alfi kembali menggelar pameran karyanya di Kiniko Art Room, SaRang Building, Yogyakarta dari 19 Juli hingga 2 Agustus 2022.

Pameran karya Jumaldi Alfi

Perupa Jumaldi Alfi kembali menggelar pameran karyanya di Kiniko Art Room, SaRang Building, Yogyakarta dari 19 Juli hingga 2 Agustus 2022. Pameran tunggal kali ini bertajuk Taman Rasa. Serangkaian lukisan dipajang di lantai dua dan tiga gedung ini. Sesuai tema yang diusung Taman Rasa, pengunjung disajikan pemandangan layaknya sebuah taman yang mengaduk-aduk perasaan.

Heru Joni Putra, dalam katalog pameran ini menulis, bahwa Taman Rasa adalah jalan artisitik tersendiri yang ditempuh pelukisnya dalam “memperkarakan” makna. Taman Rasa lahir untuk menderukan kenikmatan atas upaya menemukan arsiran solutif pada garis-garis tebal yang cendrung mempertegas batas dan perbedaan lintas manusia di ruang-ruang sosial. Lukisan-lukisan pada Taman Rasa adalah juga ajakan untuk masuk dan memandang ke sekeliling sebuah taman. Bukan taman bunga.

Bukan taman kota atau taman margasatwa, tetapi Taman Rasa.
Taman ini adalah Taman Rasa, taman metafora. Pada ruang yang ditawarkan Taman Rasa inilah, sebetulnya, rasa (sensasi-emosi) dibawa naik dan periksa (nalar-ideologis) dibawa turun. Semacam narasi simbolik yang menguraikan kisi-kisi jawaban atas soal-soal yang terbentuk dari kolase relasi sosial yang rumit.

Memandang Rupa Metafora di Taman Rasa

Asam di gunung, garam di laut, dalam tempurung bertemu jua. Dari lagu dangdut era 90-an hingga lagu pop awal era milenial, pepatah yang sarat metafora ini menjadi bunyi yang begitu popular menghiasi ruang dengar generasi penikmatnya. Tidak hanya pada masa itu dan tidak pula hanya pada lagu dangdut dan lagu pop itu, metafora yang melekat dalam budaya tutur atau seni retorika masyarakat nusantara sering bertransformasi menjadi lagu, menjadi nyanyian.

Jelas sekali di sini, bahwa metafora telah memadat menjadi artefak dari mentalitas dan imajinasi masyarakat melalui laku bahasa dan sastra. Petikan gagasan, konsep, dan tata nilai secara efeketif mengkristal ke dalam metafora. Karya dalam Taman Rasa juga ambil bagian dalam hal merupakan metafora sebagai kekuatan menginternalisasi makna.

Hingga kini, ini masih terjadi, meskipun dalam hitungan yang tidak banyak. Efektivitas dan efisiensi bahasa kini justru beralih bentuk menjadi begitu fungsional melalui produk layanan aplikasi media dan teknologi komunikasi. Tabiat masyarakat kotemporer ini cendrung meminggirkan seni retorika dan menyisihkan metafora. Kata-kata digunakan secara fungsional-verbal semata. Diksi yang terpilih langsung menusuk pada poin pembicaraan. Metafora telah kehilangan pesonanya. Metafora tersudut sebagai gaya berbahasa yang berbunga-bunga, berpanjang-panjang, hingga pada stigma yang paling radikal, metafora dianggap sebagai sesuatu yang berumit-rumit dan bertele-tele.

Kita berada pada atmosfir komunikasi ini sekarang. Komunikasi kita, disadari atau tidak, telah dimesinkan oleh sistem informasi yang fungsional-verbal itu tadi. Makna kemanusiaan kita juga sedang dirasuki oleh gentayangan algoritma serta godaan menjadi eksis sebagai sesuatu, sebuah atau seseorang.

Mencintai dan membenci, menghargai dan menghina, memuji dan mengutuk, semua diekspresikan dengan bahasa yang dar der dor! Relasi sosial kita terkunci pada satu tambah satu sama dengan dua. Tidak sering lagi kedengaran retorika yang mengolah bahasa bahwa dua adalah juga 100 dikurang 98. Dua adalah kita yang terdiri dari aku dan kamu, dan seterusnya.
Kehilangan pesona metafora di masa ini, bila terus dikaji, memang akan membuat kita sedikit baper. Jiwa melankolik-dramatik kita seketika bisa saja terpantik, hingga kita kembali terpelanting ke masa lalu. Masa di mana para leluhur bercengkerama dalam suasana bahasa yang berhiaskan metafora. Akan tetapi, mesti pula cepat disadari bahwa masa yang penuh metafora antik itu telah terbenam ke dalam lumpur waktu lalu. Ia telah kekal sebagai khazanak enigmatik yang kini, secara diam-diam dan terang-terangan kembali diburu. Ia tidak hilang. Ia justru tertimbun oleh teks-teks kekinian bersama tumpukan sejarah, baik yang ditulis pisau kuasa, maupun yang digoreskan oleh pena para perekayasa.

Metafora telah menjadi sejarah kenikmatan berbahasa. Dikatakan kenikmatan bukan saja karena sifat melenakan yang ditimbulkannya ketika ia meliuk-liuk dalam serangkaian retorika. Ia menjadi kenikmatan lebih karena cipratan rasa dan makna yang dihadirkannya. Inilah seni paling tua di jagad raya bahasa manusia.

Tengoklah metafora itu kini hidup segan mati tak mau dalam laku kebahasaan kita. Metafora terselimuti konteks yang paradoks. Ada yang disusun sedemikian rupa oleh sekelompok orang yang sedang berunding dalam acara pinangan anggota keluarga. Pada saat lain, metafora masih tersusun dalam lisan seorang pengkhutbah di mimbar-mimbar keagamaan. Seorang pedagang di pasar pun masih menggunakan, namun garing dan tidak efektif lagi menjadi pemanis dagangan. Seorang guru di depan kelas kadang memerlukan waktu tambahan untuk menjelaskan maksud dari sebuah metafora. Seorang yang sedang berorasi di panggung kampanye, di podium demonstrasi, juga pilih-pilih audiens dalam menggunakan metafora. Serta ada banyak lagi medan ruang, ranah tempat di mana metafora bertahap hidup. Semua membawa visi artistik yang sama. Adapun yang berbeda barangkali terletak pada sejauh apa metafora itu menyentuh dan membangunkan sensasi terdalam dari kesadaran manusia, yakni rasa.

Setelah Rasa Dibawa Naik dan Periksa Dibawa Turun, Apalagi?

Celoteh di atas, sebetulnya terpicu dari emosi personal saya saja yang campur aduk dan tertegun setelah berhadap-hadapan dengan lukisan Jumaldi Alfi, pada pameran tunggalnya, serial Taman Rasa ini. Bisa saja, kesadaran saya sedang terjebak baper alias ketertegunan melankolik-dramatik. Sindrom kehilangan metafora yang ternyata juga saya idap, terdeteksi sepanjang menyaksikan komposisi titik dan liukan garis pada Taman Rasa ini. Saya seolah kembali menemukan metafora yang hilang dalam laku bahasa komunikasi kekinian kita.

Memang yang saya temukan bukan lagi asam di gunung garam di laut dalam tempurung bertemu jua. Yang saya temukan pada lukisan yang berjudul Taman Rasa #03 Birthday, Taman Rasa #04 Soul, Taman Rasa #07 Fort, dan Taman Rasa #08 Monument, justru kaktus di gurun, teratai di telaga, dalam kanvas bertemu muka. Saya bisa saja sebagai kaktus dan Anda sedang memerankan Teratai. Saya dan Anda kini menyatu dalam sebidang taman yang menjahit jarak perbedaan kita.

Saya ingin menggarisbawahi frase jarak perbedaan ini. Jarak perbedaan kaktus dan teratai itu ditegaskan untuk menemukan persamaannya. Meskipun rupa metafora yang dimuncul kaktus dan teratai mengukir lapisan-lapisan garis, bidang, dan warna yang berbeda, namun fokusnya, menurut saya adalah menayangkan sisi yang sama dari keduanya. Sekilas memang terkesan rumit, bagaimana bisa mencari titik persamaan antara kaktus dan teratai? Ini akan menjadi teka-teki estetik yang menantang dan terus minta dipecahkan.
Kesan yang lain terbit dari suasa pada Taman Rasa #06 Liberte. Ada formasi sekawanan kolibri terbang di atas kemelut garis berwarna gelap penuh huruf yang terjerat dan tersekat. Pandangan dan ingatan saya atas dimensi warna gelap ini menggambarkan genangan cairan di pabrik minyak goreng, di pusat-pusat pengolahan minyak bumi, di pertambangan, atau bahkan warna cairan pada tabung nuklir dan senjata biologis. Nah, di atas suasana itulah beberapa ekor kolibri mengepakkan sayap kemerdekaan dengan indah. Bertambah lagi satau paradoks yang menyayat rasa. Kita semua tahu, kolibri adalah burung pemakan nectar (madu yang merahasia di dalam kelopak bunga). Ini seolah memukul cita rasa pemaknaan kita akan arti kemerdekaan (liberte).

Sedikit ke belakang, pada serial karya Jumaldi Alfi yang bertajuk Digital Spritualism, dirilis 2020, metafora tentang hal ahwal yang paradoks juga hadir dengan temperamental yang berbeda. Serial ini menyorot produksi teks keagamaan yang alangkah banyak sementara makna di wilayah praktis terus menipis. Siapa saja, dengan gawai di tangan, tiba-tiba bisa mengumbar teks pemikiran keagamaannya. Siapa saja boleh menceracau mengigaukan kesalehan. Siapa saja telah begitu hafal jalan ke surga. Siapa saja sangat kenal kunci neraka. Di tengah atmosfir itu, yang terlihat justru manusia-manusia yang sedang mengambang.

Baca juga: Merindukan Arsitektur Perumahan Otentik Nusantara

Kembali ke Taman Rasa. Taman Rasa itu adalah bentangan pemandangan dalam diri makhluk yang mengambang itu, yang tersusun dari kepingan-kepingan kuasa bahasa. Taman Rasa adalah layer-layer rasa beraneka warna yang berkelindan menjadi kolase, menjadi komposisi. Taman rasa itu adalah kita, manusia yang terdiri dari tumpukan dan lapisan metafora.

Penulis: Zelfeni Wimra

Tag:

Baca Juga

Diterapkan pada Mudik Lebaran 2024, Ini Jalur Alternatif Menuju Pintu Masuk One Way
Diterapkan pada Mudik Lebaran 2024, Ini Jalur Alternatif Menuju Pintu Masuk One Way
Dishub Sumatra Barat mencatat ada 26 titik potensi kemacetan. Ke-26 titik potensi kemacetan itu tersebar di 8 kabupaten/kota di Sumbar.
Berikut 26 Titik Potensi Kemacetan di Sumbar, Tersebar di 8 Kabupaten/Kota
Pemkab Pesisir Selatan akan merelokasi korban banjir yang rumahnya mengalami rusak parah terdampak bencana, khususnya di Kampung Langgai dan
Pemkab Pessel Bakal Relokasi 59 Rumah Warga yang Rusak Berat Akibat Banjir
Sebanyak 39 kali gempa terjadi di wilayah Sumatra Barat (Sumbar) dan sekitarnya selama periode 22-28 Maret 2024. Selama periode ini
Periode 22-28 Maret 2024, 39 Kali Gempa Terjadi di Sumbar
Dharma Wanita Persatuan (DWP) UIN Imam Bonjol Padang berbagi kebahagiaan dengan menggelar kegiatan “Berbagi Sesama” jelang Hari Raya Idul
DWP UIN Imam Bonjol Padang Bagikan Paket Lebaran kepada 279 Orang Tenaga Penunjang
Prabowo Punya Pesan ke Perantau yang Pulang Basamo Gratis 2024
Prabowo Punya Pesan ke Perantau yang Pulang Basamo Gratis 2024