Langgam.id - Syekh Muhammad Thaib Umar adalah ulama pertama yang berkhutbah dalam Bahasa Indonesia/Melayu di Ranah Minang. Dalam berdakwah, mendidik, menulis di media dan bahkan berpakaian, ulama besar dari Sungayang ini adalah seorang pembaharu.
Alirman Hamzah, dalam profil Syekh Thaib Umar di Buku "Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat" (1981) menulis, Syekh Thaib lahir di Sungayang, Tanah Datar pada 8 Syawal 1291 Hijriah. Bila dikonversikan ke tahun masehi, tanggal ini bertepatan dengan 18 November 1874.
Syekh Thaib adalah anak dari Umar bin Abdul Kadir, seorang ulama terkenal pada zamannya. Ia memulai pelajaran Al Quran pada ayah sendiri di suraunya, lalu ke surau mamaknya H. Muhammad Yusuf dan menamatkan Al Quran di surau H. Muhammad Yasin.
Syekh Thaib Umar tidak memperoleh kesempatan menempuh pendidikan di sekolah milik Pemerintah Hindia Belanda. Ia melanjutkan pendidikan agama dengan belajar pada Syekh Haji Abdul Manan di Surau Talago, Padang Ganting. Seterusnya kepada Syekh M. Salih di Surau Padang Kandis, Suliki.
Thaib muda yang cerdas, cepat menangkap pelajaran yang diberikan guru-gurunya. Sang ayah kemudian mengajaknya naik haji. Mereka kemudian bermukim di Mekkah selama 5 tahun. Selama itu, Syekh Thaib Umar memperdalam pendidikan agama pada sejumlah ulama besar. Salah satunya adalah Imam Besar Masjidil Haram asal Ranah Minang, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.
Baca juga : Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi: Imam Besar Masjidil Haram, Guru Para Ulama
Saat kembali ke Sungayang, Syekh Thaib mengajar di surau ayahnya. Pengajiannya langsung membludak, sehingga ia harus membuka surau baru di Tanjung Pauh, Sungayang. "Dalam usia 23 tahun, usia yang relatif muda, beliau membangun surau sendiri di Tanjung Pauh, Sungayang," tulis Alirman Hamzah.
Murid-murid Syekh Thaib datang dari berbagai penjuru Minangkabau. Ia memang memperbarui kurikulum pendidikan surau. Biasanya pendidikan di surau hanya mengajarkan 4 ilmu saja: sharaf, nahwu, fiqih dan tasir. Syekh Thaib menambahnya jadi 12 pelajaran. Yakni, ilmu nahwu, sharaf, fiqih, ushul fiqh, tafsir, hadis, mustalah hadis, tauhid, mantiq, ma'ani, bayan dan badi'.
Di samping itu, ia juga memperbarui buku-buku yang dipakai. Ia menggunakan buku yang sudah dicetak, pengganti buku yang ditulis tangan.
Buku "Ensiklopedi Minangkabau" (2010) yang disusun Masoed Abidin dkk, mencatat, pada 1897-1908 di periode pertama suraunya, Syekh Thaib telah mengkader sejumlah ulama muda. Mereka adalah H. Abdul Manaf (Batusangkar), Abdul Wahid (Tabek Gadang), Makhudum (Solok), Makhudun (Lintau), Pakih Abah, Ka'bah dan Jalaluddin (Sicincin).
Lalu, pecah pemberontakan belasting di Kamang dan Manggopoh pada 1908. Pemerintah Hindia Belanda melakukan pembersihan besar-besaran, menutup semua surau tanpa kecuali.
Pada 1909, Syekh Thaib membuka madrasah di Lantai Batu, Batusangkar yang kemudian diserahkannya kepada guru-guru di sana. Ia sendiri mendirikan madrasah lagi di Sungayang yang ia beri nama "Madras School".
"Madras School adalah sekolah agama pertama yang bercorak modern di Minangkabau. Dalam proses belajar mengajar, murid-muridnya tidak lagi bersila mengelilingi guru (berhalaqah), tetapi sudah menggunaka meja, kusi dan papan tulis," tulis Masoed dkk.
Namun, karena muridnya lebih suka belajar dengan sistem lama, Syekh Thaib menutup madrasah dan kembali mengajar secara halaqah. Pada periode 1913-1917 ini, beberapa muridnya yang jadi adalah Mahmud Yunus (kelak menjadi guru besar dan Rektor I IAIN Imam Bonjol Padang), Ajuhri Hamzah, Muhammad Ilyas dan Haji Ishak.
Murid-muridnya ini yang kemudian menggantikan Syekh Thaib, saat ia harus berhenti mengajar karena sakit. Baik saat Madras School menjadi Diniyah School maupun ketika dibagi ke dalam dua jenjang sekolah.
Selain di dunia pendidikan, Syekh Muhammad Thaib Umar juga aktif berdakwah lisan. Meski bukan orator seperti Syekh Dr. Abdul Karim Amrullah, pengajiannya ditunggu karena pilihan kata yang lembut dan simpati.
Selain lisan, Syekh Thaib juga aktif menulis di Majalah Al Munir yang dikelola sahabatnya yang lain Dr. Abdullah Ahmad. Dalam salah satu tulisannya, ia mengimbau generasi muda ilmu pengetahuan umum, selain ilmu agama. Menurutnya, dominasi bangsa-bangsa Eropa hingga bisa menjajah ke timur karena penguasaan mereka pada ilmu yang dibutuhkan saat ini. Karena itu, ia tak sepakat bila di madrasah hanya diajarkan ilmu agama saja.
Tulisannya bercorak pembaharuan, mengkritik kebiasaan yang menurutnya tak baik, atau praktek beragama yang menurutnya tak mempunya dasar yang kuat.
Pembaruan lain yang dilakukannya adalah mempelopori khutbah dengan Bahasa Indonesia/Melayu, kecuali rukun-rukunnya. Khutbah Jumat pertama kali dengan Bahasa Indonesia dilakukannya di Masjid Lantai Batu, pada tahun 1918. Kemudian dipraktekkan juga di Sungayang.
Selanjutnya diikuti masjid-masjid lain dan akhirnya ke seluruh pelosok Minangkabau. Syekh Thaib kemudian juga menyusun buku khutbah Jumat dan hari raya dalam Bahasa Melayu.
Menurut Alirman Hamzah, pada mulanya banyak ulama yang menentang khutbah dalam Bahasa Indonesia ini. Namun karena Syekh Muhammad Thaib Umar mengemukakan alasannya berlandas Kitab Ulama Syafii, tentangan makin berkurang. Akhirnya, lenyap sama sekali.
Hal lain yang menarik dari Syekh Thaib adalah caranya berpakaian ala Eropa, berpentalon dan berdasi. Padahal, sebelumnya cara berpakaian Eropa tersebut sempat disebut haram oleh ulama lain. Syekh Thaib kompak berpakaian ala Eropa tersebut dengan beberapa ulama kaum muda lainnya, seperti Syekh Dr. Abdul Karim Amrullah, Syekh Dr. Abdullah Ahmad dan Zainuddin Labay El Yunusy.
Pada 1820, setelah sering sakit sejak 1817, Syekh Muhammad Thaib Umar wafat pada 6 Zulkaedah 1338 Hijriah atau bertepatan dengan 22 Juli 1920. Perjuangannya dilanjutkan para sahabat dan murid-muridnya. Pembaruan yang digagasnya terus menjadi catatan dalam sejarah pendidikan Islam di Minangkabau. (HM)