Langgam.id - Salah satu ulama besar yang tercatat mewarnai pemikiran Islam di Minangkabau pada awal abad ke-20 adalah Syekh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi. Ulama asal Pesisir Selatan ini, lebih dikenal dengan sebutan Syekh Bayang, merujuk kampung kelahirannya.
Yulizal Yunus yang menulis profil beliau di buku "Riwayat Hidup Ulama Sumatera Barat dan Perjuangannya" (2001) menulis, Syekh Muhammad Dalil lahir di Pancung Taba, Bayang, Pesisir Selatan pada 1864. Meski lahir di Pesisir Selatan, Syekh Bayang dibesarkan dan kemudian menetap di Padang.
Syekh Bayang berasal dari keluarga yang taat beragama. Ayahnya, Syekh Muhammad Fatawi juga merupakan ulama. Sementara, tak diperoleh informasi tentang ibunya.
Di masa kecilnya, Syekh Muhammad Dalil belajar Islam pada ayahnya. Selain itu juga kepada sahabat seangkatan sang ayah, Syekh Muhammad Jamil. Setelah Syekh Fatawi wafat saat Syekh Bayang berusia remaja, ia bertualang mencari guru untuk menambah ilmu.
Menurut Yulizal, dengan berjalan kaki, Syekh Bayang menuju Alahan Panjang untuk berguru pada Syekh Muhammad Salih bin Muhammad Saman. Syekh Salih saat itu merupakan salah seorang ulama besar, penulis buku berjudul "Al-Kasyaf" yang berisi analisa fiqih dan tasawuf.
Dari Alahan Panjang (kini wilayah Kabupaten Solok) Syekh Bayang melanjutkan pelajaran ke Solok Selatan, pada Syekh Mahmud di Pintu Kayu dan Syekh Mustafa di Sungai Paku, Muara Labuh. Syekh Bayang sama belajar dengan Syekh Khatib Muhammad Ali, yang kemudian sama-sama jadi ulama dengannya.
Tertarik pada kepribadian dan ketekunannya, Syekh Mustafa mengambil Syekh Bayang sebagai menantu. Ia dinikahkan dengan anak gadis Syekh Mustafa. Setelah menikah, pada 1891, Syekh Muhammad Dalil Bayang membawa istrinya pindah ke Padang.
"Kepindahan ini tak lain dari rangkaian usahanya untuk meningkatkan dakwah dan ilmunya sebagai guru mengaji kitab serta memperluas lapangan pengembangan dakwah Islamiyah," tulis Yulizal Yunus.
Di Padang, Syekh Muhammad Dalil menetap di Ganting. Di sini juga, ia membuka halakah dan pengajian kitab untuk yang ingin belajar. Muridnya berdatangan dari berbagai penjuru wilayah. Selain karena ilmunya, Syekh Bayang disukai karena cara komunikasinya yang baik dan keahliannya sebagai mubaligh.
Pada 1903, ia berangkat naik haji ke Mekkah sekaligus menambah ilmu. Di samping mengikuti majelis Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syekh Bayang juga disebutkan belajar pada Syekh Jabal Kubis.
Setelah itu ia kembali ke Padang. Selain di Gantiang ia juga membuka halaqah di Pasar Gadang, Palinggam, Lolong, Ulak Karang, Kalawi serta di kampung halamannya, Pancung Taba, Bayang. Perguruan Tarekat Naqsabandiyah yang diasuk Syekh Bayang makin populer, karena kedalaman ilmu dan tasawuf Syekh Bayang.
Halaqah di Ganting, Padang makin ramai saat ia gelar di Masjid Raya Gantiang. Syekh Bayang memberikan pelajaran tafsir, tauhid, fiqih, usul fiqih serta ilmu alat nahu/saraf dalam tata Bahasa Arab.
Hal lain yang membuat Syekh Bayang populer adalah kepiawaiannya dalam dunia tulis menulis. "Bukan hanya mahir menulis narasi, tapi juga pandai bersyair layaknya seorang pujangga," tulis Apria Putra dan Chairullah Ahmad dalam "Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX" (2011).
BJO Schrieke, seorang sarjana Belanda yang mengamati perkembangan Islam awal abad XX, memberikan pujian terhadapat Syekh Bayang. Ia menyebut ulama besar ini sebagai tokoh pejuang yang penuh moral.
"Hal ini disebabkan karangan Syekh Bayang dianggap lebih moderat dibandingkan dengan teman-temannya sesama Kaum Tua," tulis tulis Apria dan Chairullah.
Di antara buku-buku tersebut adalah Targhub Ila Rahmatillah, Nazhm Darul Mau’izhah/ Miftahul Haq dan Majmu’ Musta’mal. Menurut Apria, kitab terakhir sangat populer sehingga dicetak berulang kali.
Secara umum karya yang berarti “kumpulan yang diperlu diamalkan” tersebut, berisi tuntunan praktis terhadap ibadah, mulai dari bersuci hingga haji dan diakhiri dengan doa-doa.
Bermazhab Syafi'i, Syekh Bayang merupakan penganut tarekat Naqsyabandiyah. "Syekh Bayang melihat bahwa tarekat salah satu cara mendapatkan ketetapan hati mengenai Allah SWT," tulis Yulizal.
Dalam perdebatan dengan kaum muda (ulama pembaharu) yang marak saat itu, meski Syekh Bayang berada pada posisi kaum tua (ulama tradisional), ia tergolong moderat. Syekh Bayang tak ikut berdebat dengan kata-kata keras. "Hatinya lembut, selembut langkah dan tutur katanya, selembut bacaannya dalam shalat," tulis Yulizal.
Selain berdakwah, mengajar dan menulis buku, Syekh Bayang bekerja menghidupi keluarga dengan menjadi importir buku-buku dari Timur Tengah. Dengan isteri pertamanya Siti Rahmah, Syekh Bayang mempunyai anak 10 orang. Dengan istri keduanya Situ Nuraini beliau juga mempunyai 10 anak.
Syekh Bayang wafat pada 2 Jumadil Awal 1342 atau bertepatan dengan 10 Desember 1923, dalam usia sekitar 61 tahun. Beliau dimakamkan di komplek Masjid Ganting, Padang, tempat Syekh Bayang lama membina majelis ilmu. (HM)