Langgam.id - Syekh Khatib Muhammad Ali merupakan seorang ulama pembaharu pendidikan Islam. Lahir di Muara Labuh, Solok Selatan ia berkeliling mencari guru agama, hingga ke Mekkah. Setelah menetap di Padang, selain mendirikan Madrasah Al Irsyadiyah, ia aktif dalam pergerakan Syarikat Islam.
Yulizal Yunus yang menulis biografi Khatib Muhammad Ali di Buku "Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat" (1981) menyebut, ulama ini lahir pada tahun 1279 Hijriyah yang bertepatan dengan 1861 Masehi.
Muhammad Ali lahir di Muara Labuh (kini masuk wilayah Kabupaten Solok Selatan). Ayahnya Abdul Muthalib, seorang ulama dan guru mengaji di Muara Labuh. Selain belajar pada ayahnya, Ali juga belajar pada Syeikh Mustafa di Muara Labuh. Pendidikan waktu kecil ia jalani sambil belajar di sekolah gouvernement Hindia Belanda.
Setamat itu, Muhammad Ali ingin memperdalam pendidikan agama Islam. Ia kemudian belajar ke beberapa guru di Lubuk Sikarah dan Gantung Ciri, Solok. Ia kemudian terus ke Pesisir Selatan, belajar di Kambang dan Pancung Soal termasuk pelajaran silat.
Belum sampai berusia 20 tahun, Muhammad Ali kembali ke kampung halaman dan langsung mengajar agama di surau. "Banyak orang yang datang hendak menjadi muridnya mengaji ilmu agama Islam. Sehingga namanya menjadi harum dan karena ia bersurau di Lakuak, maka ia dijuluki 'Tuanku Lakuak'. Di samping gelar Khatib di pangkal namanya," tulis Yunus.
Di usia 21 tahun, pada tahun 1301 H, Muhammad Ali berangkat ke Mekkah untuk pertama kali. Setelah menunaikan ibadah gaji, ia menetap di tanah suci selama 7 tahun untuk memperdalam ilmu agama.
Khatib Ali kembali ke Muara Labuh pada tahun 1307 H untuk melihat mengurus keluarga. Tiga tahun berselang, ia kembali berangkat ke Mekkah pada 1310 H, untuk memperdalam ilmu agama Islam kepada sejumlah guru. Di antaranya, Usman Fauzy al-Chalidy Jabal Qais, Imam Besar Masjidil Haram Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syekh Sa'udasy Mekkah, Syekh Ahmad Ridwan Madinah dan sejumlah ulama lainnya.
Ia menamatkan semua pelajaran dengan baik dan memperoleh ijazah. "Lima tahun lamanya ia di Mekkah kali kedua ini. Ia merasa pengetahuan yang ia peroleh telah begitu memadai," tulis Yunus.
Ali kembali ke Muara Labuh dan melanjutkan mengajar agama. Di Muara Labuh juga, Syekh Khatib Muhammad Ali mulai mengeluarkan fatwa. Salah satunya menyelesaikan permasalahan antara kaum adat dengan kaum agama tentang harta warisan, yang muncul karena kritik Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi terhadap sistem waris adat Minangkabau yang dinilai bertentantan dengan hukum Faraidh (hukum waris Islam).
Masoed Abidin dkk dalam Buku "Eksiklopedi Minangkabau" menulis, salah satu yang mencari jalan keluar atas masalah itu adalah Syekh Khatib Muhammad Ali. Harta harta pusaka yang turun temurun dibedakan dengan harta pencarian. Terhadap harta pusaka tetap diberlakukan hukum adat. Sementara, terhadap harta pencarian yang berlaku adalah hukum waris Islam.
Melalui jalan pernikahan dan karena ingin mengembangkan dakwah lebih luas, Syekh Khatib Muhammad Ali akhirnya hijrah ke Padang. Dakwahnya makin luas dengan murid dari berbagai wilayah. Syekh Khatib juga kemudian bergabung dan aktif dalam organisasi politik Syarikat Islam.
"Syekh Khatib Muhammad Ali termasuk ulama tradisionalis yang lebih dulu masuk Syarikat Islam. Dia mengadakan hubungan dengan H.O.S Tjokroaminoto dan diundang untuk menghadiri kongres pertama Syarikat Islam di Surabaya pada tahun 1913," tulis Djohan Effendi dalam "Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi" (2010).
Menurutnya, Syekh Khatib memainkan peran yang membuat ulama-ulama tradisional terlibat dalam gerakan politik. Karena keterlibatannya dalam politik ini, ia sempat ditahan selama beberapa hari pada tahun 1911 oleh Pemerintah Hindia Belanda. Tak jelas apa penyebabnya. Namun, akhirnya ia dibebaskan.
Pada tahun 1337 H, bertepatan dengan Juni 1919, Syekh Khatib Ali mendirikan surau di pinggir timur Batang Arau, Parak Gadang. Saat itu bertepatan dengan maraknya perdebatan antar ulama yang berbeda pendapat di Sumatra Barat.
Polemik saat itu, antara lain berkutat soal khilafiyat dalam fiqih, seperti soal apakah niat sebelum shalat harus diucapkan atau cukup di dalam hati, soal rukyah dan hisab,
Perdebatan para ulama yang umumnya sesama murid Ahmad Khatib Al-Minangkabawi tersebut berlangsung hangat. Pasalnya, masing-masing pihak menulis dan berbantahan melalui buku atau media massa. Polemik itu berbuntut rapat terbuka pada tahun 1919 dan penerbitan buku oleh masing-masing ulama mempertahankan pendapatnya.
HAMKA dalam Buku "Ayahku" menyebut Syekh Khatib Ali adalah yang dituakan dari para ulama kaum tua. Khatib Ali bersama ulama kaum tua lainnya seperti Syekh Sulaiman Ar Rasuli (Inyiak Canduang) dan Muhammad Jamil Jaho. Sementara, di sisi lain yang berbeda pendapat adalah ulama kaum muda seperti Syekh Abdullah Ahmad, Syekh Jamil Jambek, Syekh Abdul Karim Amrullah dan yang lainnya.
Bersama para ulama kaum tua juga pada 1928, Syekh Khatib Muhammad Ali ikut mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Candung.
Lalu, pada 1930, jemaah Syekh Khatib Ali bisa menyelesaikan pembangunan masjid di Parak Gadang yang telah dibangun bertahun-tahun. Masjid yang kemudian menjadi tempat ia mengajar agama.
Pada 1932, Syekh Khatib Ali berhasil mendirikan Madrasah Al Irsyadiyah di Parak Gadang, Padang. Madrasah ini menerima ledakan murid yang ingin belajar. Datang dari berbagai penjuru Sumbar, Bengkulu, Jambi dan Palembang. Sehingga, madrasah ini harus membuka cabang di tiga tempat di Padang.
Seiring kemampuannya mengajar, Syekh Khatib juga kuat menulis. Ia menulis 28 buku dan karya tulis baik berbahasa Arab maupun Melayu. Syekh Khatib Ali wafat pada 30 Juli 1936. Beliau dimakamkan di komplek pemakaman Masjid Istighfar, Parak Gadang, Padang. (HM)