Langgam.id - Syekh Abdul Karim Amrullah, salah satu ulama besar Minangkabau yang dikenal sebagai pendidik, orator dan penulis. Selain akrab dengan sapaan Haji Rasul, ayah kandung Buya HAMKA ini juga dipanggil Inyiak DR. Julukan terakhir karena gelar doktor honoris causa yang ia peroleh dari Mesir.
Biografi Haji Rasul ditulis lengkap Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam Buku "Ayahku" (1982). Syekh Abdul Karim lahir di pinggir Danau Maninjau, tepatnya di Jorong Batuang Panjang, Nagari Sungai Batang, Agam pada Ahad, 17 Safar 1296 Hijriah. Bertepatan dengan 10 Februari 1879 Masehi. "Diberi nama oleh ayahnya Muhammad Rasul," tulis HAMKA.
Muhammad Rasul adalah keturunan ulama dari garis ayah. Ayahandanya Syekh Muhammad Amrullah (kelahiran 6 Rajab 1256 H) adalah ulama besar pada zamannya. Ia sempat sama-sama belajar di Mekkah dengan Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang kelak menjadi guru Muhammad Rasul, anaknya.
Di usia 7 tahun, Muhammad Rasul kecil sudah mulai diajar salat dan puasa. Usia 10 tahun, ia mulai belajar Alquran pada Tuanku Haji Hud dan Tuanku Fakih Sammun di Tarusan, Pesisir Selatan. Setelah tamat ia kembali ke Sungai Batang dan belajar menulis Arab kepada Adam anak Tuanku Said. Usia 13 tahun, ia mulai belajar Nahwu dan Sharaf pada ayahnya sendiri. Dilanjutkan ke Sungai Rotan, Pariaman kepada Tuanku Sutan Muhammad Yusuf.
Setelah itu, Syekh Amrullah memutuskan Rasul harus melanjutkan pelajaran ke Mekkah. Mereka berangkat pada tahun 1312 Hijriah atau 1894 Masehi untuk naik haji. Selanjutnya Haji Rasul menuntut ilmu di Mekkah selama tujuh tahun kepada Imam Besar Mazhab Syafii Masjidil Haram Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.
Selama di Mekkah, ia dikirimi uang oleh sang ayah setahun sekali. Bila uang itu habis, Syekh Ahmad Khatib memberinya pinjaman. "Demikianlah, tujuh tahun lamanya beliau belajar kepada orang besar yang terkenal itu. Beliau sangat cinta kepada gurunya dan selalu menjadi buah mulutnya. Jarang ada satu hari yang terlepas, beliau menyebut nama gurunya itu sampai tua," tulis HAMKA.
Pada 1319 Hijriah atau 1901 Masehi, Haji Rasul pulang ke kampung halaman bersama beberapa teman ulama yang lain. Pulang di usia 23 tahun, ia mulai mengkritik tarikat dan beberapa praktek agama yang dinilainya bid'ah. Padahal Syekh Amrullah sendiri adalah syekh tarikat Naqsabandiyah. Haji Rasul kemudian diangkat jadi Tuanku Syekh Nan Mudo, dipersiapkan menggantikan ayahnya dan kemudian menikah dengan Raihanah Binti Haji Zakaria.
Ketika punya satu anak, ia diminta sang ayah kembali ke Mekkah mengantarkan tiga adiknya untuk menempuh pendidikan di sana. Ia juga membawa istrinya.
Sampai di Mekkah, Syekh Ahmad Khatib meminta ia tak usah lagi mengaji padanya. Karena ilmu Haji Rasul dianggap sudah cukup. Ia kemudian mengajar di rumah dan hanya datang untuk menanyakan hal-hal yang sulit. Beberapa tokoh yang sempat belajar pada Haji Rasul sebelum kemudian melanjutkan kepada Syekh Ahmad Khatib adalah Syekh Ibrahim Musa Parabek dan Syekh Muhammad Zain Simabur.
Pada 1324 H (1906 M), Haji Rasul berturut-turut berduka karena istri dan anaknya meninggal dunia. Atas permintaan ayahnya, ia kemudian pulang ke kampung halaman. Ia kemudian diminta menikahi adik almarhumah isterinya yang bernama Syafiah, yang kemudian melahirkan Abdul Malik yang kemudian dikenal dengan panggilan Buya HAMKA. Syekh Amrullah kemudian wafat pada 1907.
Syekh Abdul Karim Amrullah kemudian mulai membuka pengajian di Sungai Batang. Salah satu yang datang di awal adalah Daud Rasyidi yang kelak jadi ulama besar dan dikenal sebagai Syekh Daud Rasyidi. Ia datang berguru ke Sungai Batang, sebelum berangkat berguru ke Mekkah. Makin lama, makin banyak murid yang datang ke Sungai Batang.
Pada 1 April 1911, bersama Syekh Muhammad Djamil Djambek, Syekh Muhammad Thaib Umar dan Syekh Abdullah Ahmad, Inyiak Rasul ikut menerbitkan Majalah Al-Munir di Padang. Syekh Abdul Karim Amrullah kemudian pindah ke Padang, banyak menulis untuk media pembaruan gerakan Islam itu. Majalah ini menyebar di seluruh Sumatra, Semenanjung Malaka dan Pulau Jawa. KH Ahmad Dahlan adalah salah satu pelanggannya.
Setelah menetap di Padang, Inyiak Rasul kemudian juga sering diundang ke Bukittinggi dan Padang Panjang untuk memberi pengajian. Setiap pengajiannya dihadiri oleh banyak orang. Ia akhirnya menetap di Padang Panjang dan rutin mengajar di Surau Jembatan Besi.
Menurut HAMKA, ayahandanya Syekh Abdul Karim Amrullah ahli dalam mendidik, bertablig dan menulis. "Tiga hal sangat dipersungguhnya, mengajar muridnya dalam pengetahuan agama cara berdalam-dalam, memberi nasehat kepada orang banyak dengan cara mengaji tablig dan mengarang. Dalam ketiga hal itu nampak keahliannya," tulisnya.
Pada 1917, Syekh Abdul Karim Amrullah melawat ke Pulau Jawa. Ia bertemu dan berdiskusi antara lain dengan aktivis pergerakan kemerdekaan Abdul Muis, HOS Cokroaminoto dan pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan.
Selanjutnya, pada 1918, murid-murid Inyiak Rasul mendirikan perkumpulan bernama "Sumatera Thawalib". Gerakan ini kemudian diikuti oleh murid-murid Syekh Parabek di Bukittinggi, lalu di Sungayang dan di berbagai tempat di Ranah Minang. Masing-masing perkumpulan juga menerbitkan majalah. Semua kemudian berafiliasi dan bersatu menjadi "Sumatera Thawalib"
Perkembangan kemudian, pelajaran di Surau Jembatan Besi diubah ke sistem kelas dan dibakukan jadi kurikulum Sumatera Thawalib. Kurikulum ini kemudian diadopsi di berbagai pelosok Ranah Minang dan juga beberapa tempat di Sumatra. Di Padang Panjang, awalnya tiga kelas, kemudian berkembang menjadi tujuh kelas. Inyiak Rasul mengajar di kelas VII.
Pada 1920, para ulama kaum muda sepakat mendirikan Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI). H. Abdullah Ahmad diangkat menjadi ketua. Sementara. Inyiak Rasul dan Inyiak Djambek jadi penasehat di organisasi ini. Saat itu, Sumatera Thawalib sebagai sekolah rendah sudah berdiri di berbagai pelosok, namun belum ada sekolah guru agama Islam. Maka, kemudian PGAI mendirikan Normal Islam.
Bersama H. Abdullah Ahmad, pada 1926, Syekh Abdul Karim menghadiri kongres Khifalah di Mesir sebagai utusan PGAI. Karena pidato singkat Syekh Abdul Karim dan pemikiran baru keduanya, kedua ulama Minangkabau ini menjadi pusat perhatian peserta kongres.
Salah satu yang jadi perhatian adalah pakaian yang dikenakan Syekh Abdul Karim Amrullah, berjas dan berdasi. Saat ada yang menanyakan kenapa tidak menggunakan pakaian yang biasa digunakan ulama, Haji Rasul menjawab, "Di negeri kami, ilmu itu bukan di sudut jubah atau surban, tetapi di dada dan tahan uji."
Atas usul Sayid Abdul AZiz As Salaki, seorang penasehat Islam Irak, dibentuk panitia untuk menyelidiki riwayat perjuangan kedua utusan PGAI itu dalam agama Islam di Sumatra. Para syekh dari berbagai negara mengusulkan agar keduanya diberi gelar doktor honoris causa. Guru Besar Al Azhar Syekh Husain Wali yang menjadi ketua kongres kemudian mengesahkan gelar tersebut. Sejak itulah, Syekh Abdul Karim Amrullah dan Syekh Abdullah Ahmad mendapat gelar doktor di belakang namanya.
Setelah itu, Dr. Abdul Karim Amrullah tetap melanjutkan peran ulamanya sebagai mendidik, bertablig dan menulis. Pada 1926, ia berperan besar saat ribuan ulama dan guru agama di Ranah Minang menolak Ordonansi Guru yang akan diterapkan Pemerintah Hindia Belanda. Karena penolakan itu, ordonansi yang mengatur guru agama harus minta izin kepada pemerintah, batal diterapkan. Ordonansi Sekolah Liar pada 1932 yang rencananya juga akan diberlakukan, karena penolakan para ulama dan pendidik di bawah komite yang ia ketuai.
Inyiak Rasul juga orang pertama menganjurkan pendirian Muhammadiyah di Sumatra Barat. Meski ia sendiri tak pernah jadi anggota Muhammadiyah, tetapi murid-muridnya membesarkan Muhammadiyah di Sumatra Barat.
Bersama sejumlah ulama murid-murid Syekh Ahmad Khatib, menurut HAMKA, ayahandanya pada masa itu disebut termasuk ulama kaum muda. Kelompok ulama yang bersemangat mensyiarkan amalan Islam dengan sumber jelas kepada Alquran dan hadits. Kelompok ulama ini menentang tarekat dan sejumlah amalan yang dinilai bid'ah.
Dalam kelompok ini, termasuk Syekh Dr. Abdul Karim Amrullah, Syekh Dr. Abdullah Ahmad, Syekh Djamil Djambek, Syekh Thaib Umar Sungayang,
Syekh Daud Rasyidi, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh Abbas Abdullah dan Syekh Mustafa Padang Japang.
Beliau-beliau ini kemudian terlibat polemik dengan ulama-ulama yang membela tarekat dan disebut ulama kaum tua. Seperti Syekh Saad Mungka dan Syekh Khatib Ali. HAMKA juga mencatat perbedaan pendapat Inyiak Rasul dengan Syekh Sulaiman Arrasuli (Inyiak Canduang), Syekh Muhammad Zain Simabur dan Syekh Djamil Djaho.
Namun, menurut HAMKA, perbedaan pendapat Inyiak Rasul dengan Inyiak Canduang tak seberapa. Mereka hanya berbeda pendapat, antara lain soal tarikat dan rukyat sebelum puasa. "Beliau sepaham bahwa harta pusaka Minangkabau adalah harta "musabalah". Tetapi harta pencarian hendaklah dibagi menurut faraidh (hukum waris Islam)," tulisnya.
Begitupun dengan Inyiak Djaho, menurutnya, banyak kesamaan pendapat dengan Inyiak Rasul. "Hanya dalam hal-hal khilafiyah dan furu' kami berlainan pendapat. Tetapi dalam pokok agama, kami tidak pernah berselisih," ujar Inyiak Djaho kepada HAMKA.
Polemik yang semula panas tersebut akhirnya mereda saat menghadapi berbagai persoalan yang dihadapkan pada penjajahan Belanda. Pada 1937, saat bersama-sama berdakwah menggembleng umat, Inyiak Rasul sering memberikan pengajian bersama Inyiak Canduang maupun Inyiak Djaho.
"Pertentangan kaum tua dan kaum muda habis sendirinya... Kaji-kaji tetek bengek tidak dibuka lagi. Malahan kalau ada ulama-ulama muda yang membuka itu, beliau tegur dengan keras," tulis HAMKA.
Namun, dakwah Inyiak Rasul yang tak basa-basi masih terus berpengaruh pada penolakan kebijakan pemerintah Hindia Belanda di Sumatra Barat zaman itu. Selain terhadap beberapa ordonansi, juga terhadap berbagai kebijakan terkait adat dan pemerintahan.
Syekh Abdul Karim Amrullah dinilai berbahaya. Maka ancaman mulai dilakukan. Ia sempat dipanggil sampai 12 kali sejak controleur di Maninjau, asisten residen di Bukittinggi dan residen di Padang. Sejumlah muridnya ditangkap karena aktivitas politik. Istri, adik, anak dan kemenakannya dicari-cari kesalahan dan diproses hukum. Semuanya dinilai bersumber dari ceramah dan pengajiannya.
Bagi Syekh Karim Amrullah, ia hanya menyiarkan agama dan tidak mencampuri politik. Kepada controleur saat dipanggil Inyiak Rasul berkata, "Jangan tuan ancam saya! Sudah bosan saya dengan ancaman. Yang berkuasa adalah Tuan! Digantung saya tinggi, dibuang saya jatuh! Leher saya genting, pedang tuan tajam! Namun akan berhenti saya mengajarkan agama, tidak bisa! Saya akan berhenti hanyalah bila berhenti nafas saya dalam tubuh saya!"
Akhirnya, pada 1941, Syekh Abdul Karim Amrullah ditahan di Bukittingi. Sejumlah aktivis gerakan kemerdekaan bersuara keras menentang penahanan tersebut. Namun, ia tetap ditahan dan dibuang ke Sukabumi sampai Belanda kalah perang dari Jepang.
Di Zaman Jepang, Inyiak Rasul pindah ke Jakarta. Ia sempat didekati Jepang dan diminta untuk menjadi penasehat beberapa organisasi bentukan Jepang. Dalam sebuah kesempatan, Syekh Abdul Karim Amrullah diminta menghadiri pertemuan ulama di Bandung. Dalam acara tersebut, ia tak bersedia melakukan penghormatan Kaisar ala Jepang.
Pada 1944, Syekh Abdul Karim Amrullah mulai sakit-sakitan. "Pada 2 Juni 1945 bertepatan dengan 21 Jumadil Akhir 1364, maka kembalilah beliau ke alam baka. Dalam usia 68 tahun menurut bilangan tahun hijriah dan 67 tahun menurut hitungan Milladiyah," tulis HAMKA.
Selain meninggalkan banyak murid yang melanjutkan dakwahnya, Syekh Dr. Abdul Karim Amrullah menulis 27 buku. Buku pertamanya, 'Amdatul Anam fi Umil Kalam (1908) dan yang terakhir Hanya Allah (1943). (HM)