Langgam.id - Syekh Abdurrahman Batuhampar dianugerahi ilmu yang dalam, umur yang panjang dan anugerah kesehatan yang berlimpah. Setelah berpuluh tahun menimba ilmu hingga Mekkah, kakenda Bung Hatta tersebut membina umat hingga berusia 122 tahun dengan sistem pesantren pertama di Minangkabau.
Berbagai literatur menulis, Abdurrahman lahir pada tahun 1777 Masehi di Nagari Batuhampar, Luhak Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Ia lahir dari ayah Abdullah gelar Rajo Intan dan ibu Tuo Tungga. Abdurrahman adalah satu-satunya anak yang hidup dari pasangan ini. Karena itu, ia menerima curahan kasih sayang dan tumpuan harapan kedua orang tua.
Mansur Malik dalam tulisannya di Buku "Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat" (1981) yang diterbitkan Islamic Center Sumatera Barat menyebut, Abdurrahman sudah berkemauan keras, cerdas dan cakap sejak berusia kecil.
Di usia 15 tahun, sekitar tahun 1792, ia minta izin kepada orang tua untuk belajar agama pada Syekh Galogandang di Batusangkar. Bertahun-tahun di sana, ia kemudian berangkat berjalan kaki ke Tapak Tuan, Aceh.
Di Aceh, Abdurrahman belajar pada Syekh Abdur Rauf sekitar 8 tahun, sebelum kemudian memutuskan berangkat ke Mekkah untuk naik haji. Di Mekkah, Abdurrahman tinggal selama 7 tahun untuk memperdalam pengetahuan agama.
Setelah merantau 48 tahun, Syekh Abdurrahman pulang ke Batuhampar dalam usia 63 tahun. Sesampai di kampung halaman, ia melihat masyarakat yang telah beragama Islam belum menjalankan tuntunan agama sebagaimana mestinya. Judi dan sabung ayam marak, masjid sepi tak berjamaah.
Syekh Abdurrahman melakukan pendekatan bertahap. Sikap ramah dan pemurahnya adalah modal meraih simpati masyarakat. Sejak anak-anak, penyabung ayam, hingga petinggi adat ia rangkul, untuk meramaikan masjid.
Ia kemudian mendirikan surau. Mulai mengajar ilmu tilawatil Qur'an, tuntunan salat dan ilmu tauhid. Namanya makin besar. Murid datang dari berbagai penjuru, sampai dari Jambi, Palembang dan Bengkulu. Rumah penduduk ramai karena diinapi murid-murid Syekh.
Karena sudah tak muat di rumah penduduk, di areal sekitar 3 hektare Syekh Abdurrahman membangun komplek pemukiman untuk murid-muridnya yang dinamakan kampung dagang. Banguna utama di bagian tengah, dikelilingi puluhan surau tempat menginap murid-muridnya.
Komplek itu makin lama makin megah, saat Syekh Arsyad, anak yang kelak menjadi pelanjut Syekh Abdurrahman mendirikan bangunan utama bergaya timur tengah dengan menara. Berhadapan dengan bangunan itu, Syekh Abdurrahman mendirikan masjid untuk beribadah sekaligus mengajar agama.
"Jumlah murid yang belajar pada Syekh Abdurrahman mencapai 1.000-2.000 orang. Jumlah tertinggi santri yang belajar di komplek tersebut terjadi pada masa Syekh Arsyad yang kemudian menggantikan Syekh Abdurrahman," tulis Malik.
Santri yang disebut orang siak tersebut belajar tanpa dipungut biaya. Surau hidup dari sumbangan masyarakat, baik yang anaknya belajar di sana maupun tidak.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra dalam "Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di tengah Tantangan Milenium III" menulis, sistem yang dibangun Syekh Abdurrahman merupakan surau besar yang benar-benar mirip pesantren.
Menurutnya, Surau Batuhampar mewariskan kekayaaan historis keberhasilan sistem pendidikan surau dalam mengembangkan kaum ulama di Minangkabau.
"Sejauh data sejarah yang ada, surau Syekh Abdurrahman di Batuhampar dapat dikatakan merupakan representasi dari sistem 'pesantren' ala Minangkabau. Memang banyak surau lain di Minangkabau pada periode yang sama, tetapi dari segi kelengkapan sarana dan fasilitas, Surau Batuhampar kelihatannya tetap nomor wahid," tulis Azyumardi.
Ranji yang dimuat Buku "Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat" menyebut, Syekh Abdurrahman mempunyai 10 anak dari lima istri. Syekh Arsyad pelanjutnya adalah anak kedua dari isteri bernama Afifah. Sementara, dari isteri bernama Saadiyah, lahir Muhammad Djamil. Ia merupakan ayahanda Mohammmad Hatta, yang kelak menjadi salah satu proklamator kemerdekaan RI.
Baik ayahnya Muhammad Djamil, kakendanya Syekh Abdurrahman maupun pamannya Syekh Arsyad, diceritakan oleh Bung Hatta dalam buku biografinya "Memoir" (1981).
Bung Hatta menulis, "Aku tak pernah berjumpa dengan Datukku, sebab sebelum aku lahir beliau sudah berpulang ke Rahmatullah. Beliau digantikan oleh anak (laki-laki) tertua Haji Arsad sebagai Syekh Batuhampar."
Karena kebesaran kakendanya, menurut Bung Hatta, murid-murid bukan saja datang dari Pulau Sumatra. Tetapi juga dari Kalimantan dan Semenanjung Malaka. "Beliau bukan saja seorang guru agama yang besar pengaruhnya, tetapi juga seorang ahli Tarikat Islam. Ia bercita-cita menjadikan Batuhampar sebagai benteng pertahanan agama Islam, karena penyerbuan bangsa kulit putih ke Minangkabau sudah mendesak umat Islam ke pinggir," tulis Hatta.
Bung Hatta lahir pada 1902. Ia belum ada saat Syekh Abdurrahman berpulang pada 1899. Bung Hatta juga tak mengenal ayahandanya. Karena, M. Djamil yang menikah dengan Ibunda Hatta, Saleha asal Bukittinggi, meninggal saat si Bung berusia 8 bulan.
Namun cerita tentang ayahnya dan nama besar kakendanya Syekh Abdurrahman tetap sampai ke telinga Hatta. Si Bung mendengarnya dari cerita Syekh Arsyad dan keluarga lainnya, saat ia mengunjungi keluarga ayahnya di Batuhampar.
Wafat di usia 122 tahun, Syekh Abdurrahman memang meninggalkan nama besar karena telah mendidik ribuan orang dengan sistem pendidikan surau yang digagasnya. Beberapa di antara murid Syekh, kemudian menjadi ulama. Mereka adalah Syeikh Salim Batubara, Syekh Ibrahim Kubang dan Syekh Sulaiman Ar Rasuli (Inyiak Canduang).
Dan, meski tak pernah melihatnya, nama Syekh Abdurrahman tetap terbawa, ketika sejarah mematri nama Mohammad Hatta, cucunya, jadi salah seorang proklamator yang memerdekaan negeri ini. (HM)