Tingkat pengangguran di Sumatra Barat (Sumbar) tertinggi kedua di pulau Sumatra, 6.7 persen. Persentase ini berada di atas rata-rata nasional yang 6.3 persen. Ini berdasarkan data mutakhir dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) bulan Februari 2021.
Di sini tentu ada dampak Covid. Secara nasional, pengangguran sudah terus menurun. Tetapi naik cukup tajam di Sakernas Bulan September 2020, kemudian mulai menurun di Februari 2021. Ini menandakan bahwa perekonomian mulai menggeliat kembali setelah dihantam Covid.
Angka pengangguran itu sendiri bisa jadi bebas nilai. Ia hanyalah sebuah persentase. Pemaknaannyalah yang bisa positif atau negatif.
Ia berkonotasi positif ketika pengangguran diartikan sebagai cerminan kemampuan masyarakat untuk menganggur untuk menanti kesempatan kerja yang lebih baik. Mereka tidak “desperate-desperate amat”. Seorang kawan bekomentar, “Bisa jadi para penganggur itu adalah yang tengah bersiap-siap untuk pergi merantau. Atau mereka yang sedang pulang kampung yang tengah menikmati hasil pencaharian di rantau.”
Bahkan, angka pengangguran yang rendah bisa menjadi penanda kemelaratan. Karena orang tidak mampu untuk tidak berkerja. Tingkat pengangguran terendah di Indonesia adalah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), sekitar 3 persen saja. Tapi, NTT adalah salah satu provinsi paling melarat di republik. Pendapatan per kapita rendah, sementara angka kemiskinan tinggi. Saudara-saudara kita di NTT tidak memiliki kemewahan untuk menganggur.
Pengangguran tertinggi di Indonesia adalah di Provinsi Kepulauan Riau - Kepri (10 persen), diikuti Banten (9 persen). Prospek ekonomi kedua daerah ini sangat baik. Merupakan dua provinsi dengan tingkat industrialisasi tertinggi. Merupakan pusat pertumbuhan dan menjadi magnet bagi pencari kerja untuk berdatangan. Dalam hal ini, tingkat pengangguran menjadi penanda adanya peluang dan harapan.
Pengangguran akan bermakna negatif ketika ia menjadi penanda bahwa roda perekonomian dan pembangunan tidak berjalan dengan baik. Terjadi kelesuan. Ekonomi tidak tumbuh, tidak dinamis dan tidak bergairah.
***
Lalu, bagaimana kita harus memaknai tingkat pengangguran di Sumbar yang tertinggi ke dua di Pulau Sumatra?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, mari kita tengok Provinsi Kepri. Tingkat pengangguran di sana adalah yang paling tinggi di republik, hampir dua kali lipat Sumbar. Tapi, Kepri adalah provinsi kaya, pendapatan per kapita-nya tinggi sekali. Mereka punya minyak dan gas, punya Batam sebagai pusat industri. Lokasinya strategis, dekat dengan Singapore. Orang kaya mampu untuk menganggur.
Sementara Sumbar bukanlah provinsi kaya. Miskin sumber daya alam. Lahan pertaniannya sempit karena didominasi topografi pegunungan. Pendapatan per kapita-nya hanya sepertiga Kepri dan di bawah rata-rata nasional. Ekonomi Sumbar pun tidak tumbuh pesat, hanya biasa-biasa saja.
Sehingga, menggunakan tipologi Klassen, Sumbar bisa masuk kategori daerah potensial atau bisa juga masuk kategori daerah yang relatif terbelakang.
Sumbar juga terus mengalami proses de-industrialisasi. Kontribusi sektor manufaktur dalam perekonomian terus turun dari tingkat yang rendah menjadi sangat rendah. Sangat prematur, sekarang tinggal 11 persen. Sementara kita tahu bahwa industri adalah sektor yang paling dinamis, sumber pertumbuhan dan inovasi, serta merupakan sumber pekerjaan yang baik.
***
Tersedianya kesempatan kerja adalah salah satu outcome penting dari proses pembangunan. Bahkan yang terpenting. Karena ia melekat langsung dengan manusia. Kesempatan kerja erat kaitannya dengan kesejahteraan pada dataran "rakyat berderai".
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu baik. Bisa jadi pertumbuhan itu malah tidak menyejahterakan orang banyak dan tidak membuka kesempatan kerja secara luas.
Dalam hal ini, keberhasilan pertumbuhan ekonomi mengurangi pengangguran adalah pertanda bagus. Tapi, pengurangan pengangguran bukanlah indikator pembangunan yang baik, terutama di negara berkembang di mana jaminan sosial belum tersedia secara memadai. Jadi, data harus dibaca secara hati-hati.
Pengangguran bisa jadi rendah. Artinya mayoritas penduduk memiliki pekerjaan. Tetapi, bisa jadi pekerjaan mereka didominasi oleh pekerjaan berkualitas buruk dengan pendapatan/upah rendah dan serba tidak pasti.
Karena tingkat pengangguran adalah indikator kuantitas, maka yang lebih penting adalah melihat indikator kualitas perkerjaan dari mereka yang sudah bekerja.
Dalam hal ini, BAPPENAS mendefinisikan perkerjaan yang baik (decentjobs) sebagai pekerjaan di sektor formal.
Mengacu pada status pekerjaan dalam Sakernas, pekerja formal terdiri dari: (i) pengusaha (employer) yang dibantu buruh tetap, dan (ii) pekerja reguler (regularemployee).
Di sisi lain, pekerja informal terdiri dari: (i) mereka yang bekerja sendiri (self-employed), (ii) buruh tidak tetap (casualemployment), dan (iii) pekerja keluarga atau buruh yang tidak dibayar.
***
Sumbar memiliki persentase pekerja formal yang relatif sangat kecil, 34 persen. Ketiga terendah di Sumatra, hanya menang dari Bengkulu dan Lampung. Jangan dibandingkan dengan Kepri yang perkerja formalnya mencapai angka 65 persen, walau tingkat penganggurannya adalah yang tertinggi.
Persentase pekerja formal di Sumbar selalu berada di bawah rata-rata nasional yang mencapai 40 persen. Bukan hanya itu, upah yang diterima pekerja di Sumbar juga selalu berada di bawah rata-rata nasional.
Jadi tingkat pengangguran di Sumbar relatif tinggi, dengan tingkat kualitas pekerjaan yang tidak begitu baik. Secara rata-rata, upah yang mereka terima pun relatif rendah. Ini semua merupakan indikasi terseok-seoknya roda pembangunan. Dan ini sudah berlangsung lama.
***
Ini semua menjadi salah satu penjelas mengapa banyak migrasi keluar dari Sumbar. Orang Sumbar terkenal dengan budaya merantau. Merantau sebagai salah satu strategi survival. Merantau karena tekanan ekonomi di ranah. Tentu banyak sisi positifnya.
Migrasi masuk ke Sumbar? Tidak seberapa. Paling-paling Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dipindahtugaskan. Secara ekonomi, Sumbar tidak begitu menarik bagi pendatang.
Sehingga, dari sisi komposisi etnis, Sumbar adalah salah satu provinsi paling homogen di Indonesia. Menurut komposisi agama, bahkan lebih homogen lagi.
***
Jadi persoalan dari tingginya tingkat pengangguran, terbatasnya perkerjaan yang berkualitas dan rendahnya tingkat upah, berakar pada persoalan gerak roda pembangunan.
Sumbar tidak menikmati bagi hasil sumberdaya alam. Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangat kecil. Sebagian besar anggaran publik berasal dari subsidi pemerintah pusat yang menjalankan fungsi distribusi anggaran pembangunan.
Karena kita berada dalam satu wilayah republik, daerah kaya mensubsidi daerah miskin. Dalam hal ini, Sumbar masuk golongan yang disubsidi.
Sehingga Sumbar harus realistis, bekerja ekstra-keras dan ekstra-cerdik untuk menggerakkan dan mendinamiskan jalannya roda perekonomian dan pembangunan lokal. Tidak bisa membuang badan. Desentralisasi telah melimpahkan sebagian besar wewenang kepada daerah: administratif, fiskal, dan bahkan politik. Ndak dapat akal lagi. (*)
Dr Zulfan Tadjoeddin
Associate Professor in Development Studies, Western Sydney University, Australia