Sumbar dan Infrastruktur: 'Baitu-baitu Juo'?

Sumbar dan Infrastruktur: 'Baitu-baitu Juo'?

Israr Iskandar, SS. MA (Foto: FIB/unand.ac.id)

Dalam beberapa waktu belakangan terdengar suara agak nyaring di Sumatera Barat terkait buruknya kondisi sejumlah jalan di daerah ini. Tujuh ruas jalan di Tanah Datar, misalnya, disebut-sebut dalam kondisi rusak parah.

Banyak warga, termasuk pemudik pada momen Lebaran lalu, mengeluhkan kondisi jalan di Luhak nan Tuo: kecil, berbelok-belok, rawan longsor dan terban, serta banyak lubang yang membahayakan.

Begitu juga kondisi jalan rusak di banyak tempat lain, seperti ruas Maninjau-Padang Luar (Bukittinggi) dan jalan raya dari dan keluar daerah Sumatera Barat di Dharmasraya, Solok, dan Solok Selatan. Bahkan di kota Padang tak sedikit juga jalan yang rusak dalam beberapa tahun ini, termasuk jalan menuju kampus Universitas Andalas di Pauh dan akses jalan ke Kampus UIN Imam Bonjol di Koto Tangah.

Sejumlah pihak yang dianggap terkait dengan permasalahan ini, seperti Gubernur Mahyeldi, para bupati  dan legislator, untuk sebagian telah meresponnya. Untuk jalan yang melintasi Tanah Datar yang merupakan jalan provinsi, misalnya, Pemerintah Sumatera Barat dikabarkan sudah mengalokasikan dana ratusan miliar. Begitu juga untuk beberapa ruas jalan lainnya, pemerintah pusat bahkan juga sudah turun tangan (langgam.id, 22/04/2024).

Masalah Infrastruktur

Memang kalau melongok perkembangan infrastruktur di daerah-daerah lain akhir-akhir ini, khususnya di masa Pemerintahan Presiden Jokowi, terutama untuk sarana jalan, rakyat Sumatera Barat memang patut “protes”. Jalan tol, misalnya, walaupun alasan urgensi dan keperluannya pernah diperdebatkan di daerah ini, tetapi  suatu pandangan umum meyakini keberadaan “jalan bebas hambatan” itu dapat melejitkan pertumbuhan ekonomi wilayah yang dilintasinya.

Dalam kaitan tersebut, sampai awal 2024 sepertinya Sumatera Barat dan Jambi saja yang belum punya jalan tol (dalam arti yang sudah bisa dimanfaatkan) di pulau Andalas ini. Memang sedang dibangun jalan tol ruas Padang-Sicincin sepanjang 36 km, bahkan sejak hampir tujuh tahun lalu, tetapi perkembangannya dianggap amat lamban, karena berbagai sebab, termasuk lambannya proses pembebasan lahan.

Tidak heran, banyak warga masyarakat, termasuk perantau Minangkabau yang pulang kampung, seperti pada momen Idul Fitri lalu kembali melontarkan ungkapan yang terdengar sudah klasik bahwa Sumatera Barat masih “baitu-baitu juo” (begitu-begitu saja). Artinya, seolah tidak ada perkembangan signifikan di tanah leluhur mereka, setidaknya dilihat dari pembangunan fisik, seperti jalan, rel dan jembatan, dalam beberapa tahun terakhir.

Jangankan mereka yang datang dari Jawa, pengunjung yang datang dari Riau bahkan Bengkulu saja akan melihat pembangunan daerah Sumatera Barat tertinggal secara fisik. Mungkin mereka yang dari Jambi saja untuk saat ini yang akan mengatakan bahwa daerah mereka dan Sumatera Barat kini sama-sama tertinggal dari segi infrastruktur jalan.

Padahal, sebelum-sebelumnya, Sumatera Barat mungkin salah satu daerah dengan infrastruktur jalan paling baik di Sumatera. Pada masa itu daerah ini setiap tahun bisa menyelenggarakan event Tour de Singkarak, sebagai lomba balap sepeda internasional yang bercampur dengan kegiatan promosi pariwisata daerah.

Aktivitas truk-truk pertambangan yang intensif di sejumlah daerah sejak era otonomi dan minimnya perawatan atau pemeliharaan ditenggarai sebagai salah satu sebab utama rusak han hancurnya banyak jalan.

Sudah mahfum bahwa sejak era otonomi, terutama pada dekade terakhir ini, kegiatan pertambangan makin marak di daerah, termasuk Sumatera Barat, sementara kompensasi (dari usaha-usaha pertambangan) untuk upaya perbaikan sarana publik yang dibangun dari pajak rakyat tersebut tidak pernah jelas.

Jawa-Luar Jawa

Tentu menengok pembangunan fisik sebagai indikator kemajuan pembangunan daerah bisa memicu diskusi atau pembahasan tersendiri, apalagi kalau orang membandingkan perkembangan  Sumatera Barat dengan propinsi-propinsi di Pulau Jawa, bahkan termasuk Jakarta.  

Memang kalau dilihat sekilas, ketimpangan Jawa-Luar Jawa (termasuk Sumatera) yang terjadi sejak masa kolonial masih sangat terasa hingga kini.

Sebuah video di Youtube tentang arus mudik di sebuah terminal bus di Jakarta baru-baru ini misalnya seolah memperlihatkan ketimpangan wilayah dimaksud. Bus-bus yang baru datang dari Jawa (Jawa Timur misalnya) sesampai di Jakarta dalam kondisi yang masih “kinclong”, sementara bus-bus yang datang dari Sumatera Barat, misalnya, keadaannya seperti kendaraan yang baru saja melewati medan perang atau wilayah bencana alam: hampir seluruh badan bus berselimut debu tebal atau (bekas) percikan lumpur.

Dulu isu ketimpangan pembangunan semacam ini yang ikut memicu terjadinya pergolakan daerah memprotes pemerintahan nasional. Pembangunan  hanya berfokus di Jawa. Padahal, daerah-daerah luar Jawa, seperti Sumatera Barat, merasa memiliki kontribusi penting dalan perjuangan kemerdekaan.

Memang dalam perjalanan sejarahnya, termasuk di era reformasi, terdapat berbagai upaya perbaikan kebijakan, tetapi hasilnya untuk sebagian dianggap belum signifikan: Ketimpangan  pembangunan antar-wilayah sampai saat ini tetap lebar.

Tentu dalam konteks sekarang, bukan berarti daerah ini serta merta harus protes keras pula pada pemerintahan pusat, sebagaimana di masa lalu. Bagaimanapun, sebagai daerah yang memiliki ketergantungan dana yang sangat besar pada Jakarta,  tentu sudah banyak juga kontribusi pemerintah pusat dalam pembangunan daerah belakangan ini, termasuk misalnya di di Mentawai, Pesisir Selatan, dan Dharmasraya.

Pemimpin lokal sendiri mungkin juga harus introspeksi mengapa masih muncul kesan  dari orang luar bahwa Sumatera Barat masih “baitu-baitu juo.”

Dalam konteks ini, para pemimpin lokal setiap saat (tidak pada saat kondisi sudah parah) dituntut untuk menjawabnya dengan melakukan berbagai upaya dan terobosan, termasuk  model pendekatan-pendekatan (pembangunan) tertentu ke atas dan ke bawah sekaligus.

*Dosen FIB Unand

Baca Juga

Diduga Persoalan Tambang Ilegal, Kasat Reskrim Polres Solok Selatan Tewas Ditembak Rekannya
Diduga Persoalan Tambang Ilegal, Kasat Reskrim Polres Solok Selatan Tewas Ditembak Rekannya
Semen Padang vs PSM Berakhir Imbang
Semen Padang vs PSM Berakhir Imbang
Jabatan Gusti Chandra sebagai Direktur Kredit dan Syariah merangkap tugas Pjs Direktur Utama (Dirut) dan seluruh Direksi Bank Nagari,
Bank Nagari Siapkan Rp500 Miliar Ikut Danai Proyek Flyover Sitinjau Lauik
Debat publik kedua Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Padang digelar oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Padang di Hotel Truntum
Cek Fakta: Hendri Septa Klaim Turunnya Kemiskinan, M Iqbal Soroti Tingginya Pengangguran di Padang
Seekor harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) berhasil terperangkap dalam kandang jebak yang dipasang oleh Tim BKSDA Sumbar d
Sempat Buat Warga Khawatir, Akhirnya Harimau Sumatra Masuk Perangkap di Solok
Dalam debat pertama Pilgub Sumbar yang digelar di Hotel Mercure Padang pada Rabu (13/11/2024), calon Gubernur dan Wakil Gubernur memaparkan
Debat Pilkada Sumbar: Kebebasan Beragama dalam Sorotan, Tantangan bagi Toleransi di Ranah Minang