Langgam.id - Keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) disebut-sebut salah satu kendala belum optimalnya pengawasan Pemilihan Umum (pemilu) di Indonesia. Dengan begitu, perlu partisipasi masyarakat agar pemilu berjalan lancar sesuai target penyelenggara.
Apalagi pemilu yang pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) digelar bersamaan. Dalam pemilu serentak perdana di tanah air dan satu-satunya di dunia itu, pemilih harus mencoblos 5 surat suara pada 17 April 2019 lalu.
Besarnya tanggungjawab membuat pengawas pemilu harus bekerja esktra dengan semua keterbatasan SDM. Seperti di Kabupaten Solok, Sumatra Barat (Sumbar). Daerah dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) 281.902 jiwa, hanya diawasi oleh 119 orang petugas.
Rincinya, 3 orang Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Solok, 42 Pengawasan Pemilu Kecamatan (Panwascam) di 14 kecamatan, dan 74 Pengawas Pemilihan Lapangan (PPL) di kelurahan atau desa yang tersebar di 74 nagari (setingkat kelurahan). Para pengawas adhoc inilah yang disebut-sebut sebagai benteng terdepan dalam memberikan pendidikan politik, agar masyarakat ikut terlibat mengawal hak pilihnya di 400 lebih Jorong (setingkat desa).
Memang, selain pengawas kecamatan dan nagari, ada tambahan 1 pengawas yang tersebar di masing-masing Tempat Pemungutan Suara (TPS). Namun, mereka hanya bertugas tak lebih sebulan. Dengan kata lain, hanya mengawasi menjelang hingga selesainya proses pencoblosan.
Keterbatasan jumlah pengawas ini tidak hanya dirasakan Bawaslu Kabupaten Solok. Semua daerah di Sumbar, bahkan di 34 Provinsi Indonesia mengalami hal serupa.
“Ya, SDM untuk pengawasan jatahnya memang segitu. Mau tidak mau, kami harus siap dengan segala kekuatan yang ada demi menyukseskan pesta demokrasi,” kata Ketua Bawaslu Kabupaten Solok, Afri Memori kepada langgam.id, Kamis (3/10/2019).
Minimnya tenaga pengawas kian terasa saat melakukan pengawasan Pemilu di daerah yang akses transportasi dan telekomunikasinya sulit dijangkau. Apalagi, masih ada beberapa nagari di kabupaten Solok, jauh dari akses jalan layak yang tergolong terisolir.
Seperti jalan menuju sejumlah nagari di kecamatan Tigo Lurah. Butuh nyali dan perjuangan kuat untuk sampai ke nagari Simiso, Rangkiang Luluih, hingga Tigo Jangko. Terutama ke Garabak Data yang sampai detik ini, belum bisa dilewati kendaraan bermotor.
Jarak tempuh ke sejumlah nagari ujung Kecamatan Tigo Lurah hanya berkisar 45 kilometer dari pusat Pemerintahan Kabupaten Solok. Namun, untuk sampai ke lokasi menghabiskan waktu hingga 4-5 jam perjalanan. Itu pun baru sampai di pusat pemerintahan kecamatan.
Tak ayal, saking buruknya akses jalan, tarif angkutan ojek dari Garabak Data menuju pasar Solok tembus Rp150 ribu. Akses transportasi akan semakin lambat jika cuaca sedang tak bersahabat.
“Kalau hujan, bisa menghabiskan waktu jauh lebih lama lagi. Apalagi jika menggunakan mobil minibus biasa,” katanya.
Tidak hanya di Tigo Lurah, akses jalan menuju Pinti Kayu di kecamatan Hiliran Gumanti atau daerah paling selatan kabupaten Solok juga tak kalah memprihatinkan. Tidak sekadar buruknya akses jalan, kawasan tersebut juga tidak memiliki jaringan telekomunikasi.
Sekali berkunjung ke daerah-daerah tersebut menghabiskan waktu nyaris 24 jam. Berangkat pagi dan pulang larut malam. “Kalau mengandalkan tenaga pengawas yang direkrut resmi, niscaya pengawasan di daerah jauh akses ini tidak terlaksana dengan baik,” katanya.
Masyarakat di daerah pedalaman perlu penguatan sosialisasi pemilu yang lebih esktra. Sebab, masih banyak yang tidak mengetahui fungsi hak pilih. “Masih sangat rendah. Ada juga yang antipati. Jika ini dibiarkan, tentu akan berdampak pada tingkat partisipasi,” beber Afri.
Ia menyadari, tenaga yang direkrut Bawaslu tidak akan mampu bekerja maksimal tanpa dukungan masyarakat. Apalagi, pengawasan tidak bisa dilakukan setiap hari, seperti di daerah-daerah akses lancar.
Salah satu cara menguatkan pendidikan politik adalah dengan merangkul semua tokoh sentral masyarakat di daerah terisolir. Selain unsur pemerintah kecamatan dan nagari, pihaknya gencar mensosialisasikan tentang pemilu kepada para pemangku adat. Mulai dari niniak-mamak, bundo kanduang, tokoh pemuda dan setempat.
Menurutnya, pola partisipatif ini satu-satunya cara terbaik menanamkan pentingnya mengawal hak pilih kepada masyarakat daerah pinggiran.
“Kami sadar, dengan jumlah pengawas yang tidak seberapa, pastinya tidak akan mampu total mengawasi pemilu. Hanya dengan merangkul semua stakeholder di nagari itulah semua bisa berjalan. Mereka yang memahami kondisi nagari dan bisa meyakinkan masyarakat,” tuturnya.
Selain itu, Bawaslu juga membuat posko-posko pengaduan pemilu. Lalu, memperpanjang informasi hingga ke rumah-rumah warga dengan cara menyebarkan selebaran yang di dalamnya lengkap nomor kontak pengaduan pemilu.
“Penyebaran informasi ini juga dibantu tokoh-tokoh masyarakat. Ini yang membuat pengawasan di daerah terisolir menjadi cukup efektif,” katanya.
Keaktifan masyarakat mengawal hak pilih dalam pemilu bahkan mampu meningkatkan partisipasi di daerah terisolir dibandingkan pemilu 2014 lalu. “Masyarakat harus sadar dengan hak pilihnya. Kawal hingga ke TPS, agar hak suaranya tidak dicurangi. Nyaris tidak ada pelanggaran terjadi di daerah yang sulit akses ini,” bebernya.
Disamping itu, Kabupaten Solok menjadi daerah kedua tertinggi dalam penindakan pelanggaran pemilu 2019 di Sumbar. Sedikitnya, 19 kasus yang terdiri dari 17 laporan masyarakat dan 2 temuan Bawaslu berhasil ditindak.
Dari jumlah tersebut, 15 kasus berhasil ditindaklanjuti dan 2 diantaranya berhubungan dengan netralitas ASN. 5 kasus pelanggaran pemilu masuk ke ranah hukum hingga inkrah karena memenuhi unsur pelanggaran pemilu.
“Kami sudah berupaya maksimal. Tugas pengawasan pemilu ini sangat tertolong dari peran aktif masyarakat,” katanya.
Senada dengan itu, Ketua Bawaslu Sumbar Surya Efitrimen mengatakan, konsep pelibatan masyarakat dalam pengawasan pemilu ini sejalan dengan slogan Bawaslu RI yang telah diluncurkan sejak tahun 2017 silam, yakni “Bersama Rakyat Awasi Pemilu, Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu”.
“Pemilu milik semua masyarakat. Makanya, masyarakat wajib terlibat mengawasi jalannya pemilu demi terciptanya demokrasi yang berkualitas dan bermartabat,” katanya.
Pelibatan masyarakat menyentuh semua daerah. Namun, lebih difokuskan di daerah-daerah yang aksesnya sulit dijangkau. Sebab, sudah rahasia umum bahwa Bawaslu kekurangan personil.
“Sangat penting. Tidak akan maksimal melakukan pengawasan tanpa bergandengan dengan masyarakat,” bebernya.
Strategi pengawasan pemilu di daerah terisolir tentu dengan menggiatkan sosialiasi kepada pemangku kepentingan yang memiliki power untuk dipercayai masyarakat. Seperti tokoh adat, tokoh agama, ormas dan termasuk peran serta jurnalis.
“Kami bekerjasama dan merangkul semua komunitas paling bawah di lapisan masyarakat,” tuturnya.
Menurutnya, strategi ini akan tetap menjadi andalan Bawaslu menghadapi pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2020 mendatang. “Pincang kita tanpa peran masyarakat. Ke depan, tentu ini kita jaga dan pastinya akan lebih ditingkatkan,” tutupnya.
Totalitas dan Integritas
Pengawasan di daerah yang aksesnya sulit dijangkau memang butuh totalitas dari pengawas pemilu. Justru di daerah-daerah seperti itulah nyali dan integritas petugas pengawas diuji.
Pengamat politik Sumbar Asrinaldi mengatakan, selama ini, pengawasan pemilu maupun pilkada di daerah terisolir kerap luput dari totalitas pengawasan. Berbagai faktor yang mempengaruhi hal tersebut.
“Ada juga asumsi karena pemilihnya sedikit, keterbatasan operasional dan tenaga. Makanya, beberapa kali pelaksanaan pemilu, pengawasan daerah terisolir terabaikan,” katanya.
Menurut dosen politik Universitas Andalas (Unand) itu, cara paling ideal untuk mengawasi pemilu di daerah terisolir adalah dengan merangkul dan melibatkan masyarakat setempat. Jika Bawaslu telah mampu merealisasikan ini, niscaya keterbatasan petugas dan anggaran tidak akan menghalangi totalitas pengawasan.
“Tokoh-tokoh sentral di sebuah nagari itu harus dilibatkan. Sebab, mereka yang disegani dan mereka yang didengar banyak orang. Ini harus diterapkan dalam setiap pesta demokrasi,” katanya.
Akademisi Unand lainnya, Najmudin Rasul berpandangan jika potensi kecurangan pemilu, seperti money politik rentan terjadi daerah terisolir cukup tinggi. Hal ini dipicu rendahnya pengetahuan masyarakat tentang hak pilih. Apalagi, jumlah pengawas pemilu jauh dari kata cukup.
Ia berharap, Bawaslu betul-betul serius mengawasi daerah terisolir dengan pola pelibatan masyarakat. “Ya, jalannya itu. Harus bersama masyarakat. Kalau menunggu petugas lengkap, sampai kapan. Sinergi pengawas dan masyarakat kuncinya,” kata doktor ilmu komunikasi lulusan Universitas Kebangsaan Malaysia itu.
Senada dengan itu, pemerhati kebijakan publik, Eka Vidya Putra mengatakan, prilaku politik Indonesia dipengaruhi oleh pendidikan, ekonomi, pekerjaan dan minat baca. Dengan begitu, keinginan masyarakat untuk ikut ke TPS dipengaruhi mobilisasi dan latar belakangnya masing-masing.
“Bawaslu harus mensiasati bagaimana memobilisasi masyarakat memberikan hak pilih ke TPS. Pengawas juga berperan meningkatkan partisipasi,” katanya.
Pengajar Sosiologi Politik Universitas Negeri Padang (UNP) itu menawarkan tiga solusi untuk meningkatkan keberhasilan pemilu. Pertama, memperbanyak diskusi di ruang publik, seperti lapau dan sebagainya. Hal ini untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya pemilu.
Kedua, penyelenggara pemilu harus berkolaborasi merangkul masyarakat untuk berpartisipasi aktif. Ketiga soal insentif. Pengawasan harus disokong anggaran untuk menjalankan tugas demi peningkatan kualitas demokrasi.
“Tidak ada demokrasi tanpa aktor demokrasi. Maka seluruh masyarakat adalah aktor yang akan menentukan arah demokrasi masa depan. Makanya harus dilibatkan,” katanya. (RC)