DALAM perjalanan ulang-alik rutin saban pekan, antara Padang dan Batusangkar (Tanah Datar), lumayan banyak pengalaman berharga yang saya alami. Salah satunya adalah yang akan saya ceritakan melalui kolom ini. Pengalaman apa pun, kata orang, adalah guru yang paling berharga.
Dari pengalaman itu kita berharap dapat mengambil manfaat berupa refleksi dan introspeksi. Agar hidup kita ke depan lebih baik.
Satu dari beberapa hal yang paling berkesan selama perjalanan antara 2-3 jam (kalau normal) itu adalah tingkah polah laju kendaraan ambulans. Sesuai kodrat dan fungsinya, ambulans membawa dua klasifikasi penumpang: pasien yang sedang kritis, atau jenazah yang akan dikuburkan di tempat tujuan.
Kalau bukan menuju Rumah Sakit, tentu menuju rumah duka setelah dipulangkan dari Rumah Sakit. Bisa jadi juga baru mendarat di Bandara Internasional Minangkabau dan segera dibawa ke kampung almarhum/almarhumah.
Tak jarang ambulans itu menyeruak di tengah lalu lintas jalan yang padat, bahkan macet. Dari segi volume sirenenya, ambulans yang meminta dibukakan jalan dari belakang mobil travel yang mengantar saya itu cukup memekakkan telinga. Sungguh pun begitu, saya dan tentunya penghuni mobil kami, selalu berusaha maklum.
Kami bahkan seperti merasa diingatkan oleh sang Maha Penguasa mengenai ajal atau penyakit yang bisa datang kapan pun. Lagi pula, sudah adatnya pengendara di depan ambulans yang mau lewat untuk menepi atau menyediakan ruang agar ambulans dapat lewat.
Di sisi lain, kadang di saat lalu lintas mengalami kebuntuan, siapa pun pengendara di depan ambulans akan bingung untuk memberi jalan. Susasana pun tak jarang berubah menjadi panik, disebabkan semua kendaraan diharuskan menepi secara mendadak, sementara ruang untuk itu lebih sering sangat sempit kalau tidak boleh dikatakan nihil.
Tak pelak, jika sudah demikian kejadiannya, ambulans tersebut terpaksa ikut mengalami kebuntuan di tengah berjibakunya kemacetan. Nah, saya yakin giliran penghuni di dalam ambulans itu pula sekarang yang panik.
Jika itu terjadi, dalam benak saya bergelayut rasa prihatin yang mendalam. Saya bayangkan, andai kata yang ada di dalam ambulans adalah pasien yang sedang membutuhkan pertolongan darurat, tentu kebuntuan di jalan raya memperpanjang penderitaannya.
Berbagai kengerian menggelayut dalam pikiran saya, demikian juga mungkin halnya di pikiran penumpang lain di dalam kendaran sekitaran ambulans itu. Salah satunya, bagaimana kalau suatu waktu anggota keluarga saya yang ada di dalam ambulans itu?
Problema Mutu Layanan Kesehatan
Fenomena lalu lintas ambulans yang membawa penumpang, terutama pasien yang membutuhkan tindakan darurat medis, sejatinya adalah etalase kondisi mutu layanan kesehatan di negara kita.
Fenomena ‘dilarikannya’ pasien ke Rumah Sakit lain yang berjarak puluhan bahkan ratusan kilometer dari lokasi asal sesungguhnya menyiratkan betapa kita semua, terutama pemerintah yang mengurus layanan kesehatan, mesti terus berbenah memikirkan peningkatan kualitas Rumah Sakit.
Sayangnya, harapan itu terbentur dengan fakta, di negara kita belum seluruh Rumah Sakit di setiap daerah yang memiliki fasilitas memadai. Semua Rumah Sakit ternyata digolongkan ke dalam klasifikasi tertentu.
Dus, adalah wajar jika seorang pasien mengalami kondisi penyakit yang parah, sementara di tempatnya berdomisili Rumah Sakitnya tidak memiliki dokter spesialis sesuai penyaitnya, atau peralatannya tidak lengkap, maka ia harus dibawa sesegera mungkin di Rumah Sakit lain terdekat.
Ada pun pengklasifikasian level Rumah Sakit diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 340/Menkes/Per/III/2010. Dijelaskan dalam Permen tersebut, Rumah Sakit dikelompokkan berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan menjadi tipe umum dan khusus.
Rumah Sakit Umum memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. Sedangkan Rumah Sakit Khusus memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau jenis penyakit tertentu berdasarkan ilmu, golongan umur, organ atau jenis penyakit.
Perlu dicatat, penetapan kelas rumah sakit wajib mendapatkan persetujuan dari Menteri Kesehatan dan tidak menutup kemungkinan jika dapat terjadi peningkatan kelas setelah lulus dari tahap pelayanan akreditasi kelas di bawahnya.
Masih dalam peraturan yang sama di Pasal 4 disebutkan, klasifikasi Rumah Sakit Umum dibagi berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanannya, yaitu Kelas A, B, C dan D. Untuk rumah sakit kelas A harus memiliki fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 medik spesialis dasar, 5 spesialis penunjang medik, 12 medik spesialis lain, dan 13 medik subspesialis. Sementara untuk B sampai D, sudah bisa diterka, fasilitas dan kemampuan pelayanan mediknya tentu tidak sebanyak dan selengkap kelas A.
Mirisnya, jumlah Rumah Sakit yang termasuk klasifikasi ini tidak banyak di Indonesia. Di antara yang termasuk rumah sakit kelas A di Indonesia adalah:Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Rumah Sakit Umum Pusat Dr Hasan Sadikin, Bandung, Jawa Barat, Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetomo, Surabaya, Jawa Timur, dan Rumah Sakit Umum Pusat Dr Wahidin Sudirohusodo, Makassar, Sulawesi Selatan.
Kesimpulannya, rata-rata Rumah Sakit di berbagai daerah dan pelosok Indonesia bukanlah level A yang notabene menyediakan fasilitas dan kemampuan pelayanan medik mendekati paripurna. Dari data konkrit ini saja, kita semakin maklum sekaligus prihatin dengan fenomena wara-wirinya ambulans di jalanan antar kota dan kabupaten dan mungkin juga antar provinsi di negeri ini.
Di sisi lain, bicara mengenai pembangunan dan percepatan peningkatan mutu Rumah Sakit, dari laman Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dapat kita baca bahwa baru pada 2027 ditargetkan jaringan Rumah Sakit sudah dapat menjangkau 100% kabupaten/kota di Indonesia untuk memberikan akses yang lebih merata (ekon.go.id).
Mirisnya lagi, masih dari laman yang sama, pemerintah sendiri mengakui bahwa saat ini, sekitar satu juta penduduk Indonesia berobat ke luar negeri per tahun dengan perkiraan nilai belanja sekitar Rp165 triliun. Ini semakin menambah fenomena menyedihkan, warga kita, terutama kalangan berpunya, lebih memilih mendapatkan layanan fasilitas kesehatan di Rumah Sakit luar negeri.
Revitalisasi Kebijakan Publik Bidang Kesehatan
Ditinjau dari perspektif Sosiologi Kesehatan, dikatakan, kesehatan sebagai salah satu elemen penting sebagai prasyarat berfungsinya sistem sosial masyarakat. Menderita penyakit dianggap sebagai gangguan terhadap berfungsinya peran sosial, sehingga kehidupan sosial tidak bisa berjalan normal sebagaimana mestinya.
Lebih jauh, produktivitas masyarakat akan terganggu manakala tingkat kerentanan penyakit meningkat. Contoh paling jelas yang pernah kita alami adalah saat pandemi Covid 19 sepanjang 2020 hingga awal 2022 lalu yang mendera tidak saja ekonomi bangsa ini, namun juga produktivitas dan kreatifitas masyarakat secara makro.
Menilik hal itu, dibutuhkan perbaikan dan revitalisasi pelayanan publik di bidang kesehatan. Ini sudah mencapai taraf urgen, mengingat berhasil atau gagalnya pihak eksekutif membangun sektor dapat diwakili sebagian besar indikatornya dari peningkatan pelayanan kesehatan.
Apa lagi, berdasarkan berbagai data dan fenomena, tak dapat dipungkiri sektor kesehatan di negara kita memang masih jauh di bawah harapan. Buktinya, dokter spesialis masih minim jumlahnya. Belum lagi peralatan canggih medis dan ketersediaan paramedis.
Ada pun indikator pelayanan publik, menurut teorinya bertumpu pada 3 hal: pertama, pelayanan yang mampu memahami dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Kedua, pelayanan yang ramah, cekatan, dan dapat diandalkan. Sementara yang ketiga, adanya usaha nyata melakukan perbaikan tiada henti.
Dibawakan kepada fenomena menderunya sirene ambulans yang menyiratkan rendahnya mutu pelayanan kesehatan di negara kita, alangkah baiknya diadakan akselerasi peningkatan mutu kesehatan secara menyeluruh. Sudah jadi rahasia umum, besaran anggaran APBN setiap tahunnya didominasi oleh tiga besar sektor.
Ketiga sektor itu adalah Pendidikan, Pekerjaan umum dan Perumahan Rakyat (PU-PR) dan Kesehatan. Seyogyanya anggaran Kesehatan jangan lagi menjadi lahan bancakan korupsi sebagaimana selalu kita dengar kasusnya mengemuka setiap tahun.
Apa tidak terpikir oleh pemangku kepentingan, terutama di bidang kesehatan (baca: Menteri Kesehatan) untuk meningkatkan dan menyeragamkan mutu semua Rumah Sakit Umum milik pemerintah di minimal masing-masing Kota dan Kabupaten di seluruh Indonesia? Kini sudah sangat urgen berbuat nyata, agar fenomena melarikan pasien ke Rumah Sakit yang jauh dari lokasi domisilinya semakin berkurang hari ke hari.
Betapa sedih jika ada di antara anggota keluarga kita yang hilang nyawanya di tengah jalan saat dilarikan dalam ambulans menuju sebuah Rumah Sakit yang membutuhkan waktu berjam-jam mencapainya. [*]
*Mohammad Isa Gautama adalah Dosen Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang.