Medsos, Reuni dan Perceraian

Medsos, Reuni dan Perceraian

Dosen UIN Imam Bonjol Padang Dr. Faisal Zaini Dahlan, MAg. (Foto: Dok. Pribadi)

BERITA melonjaknya angka perceraian secara drastis pasca Idul Fitri 2023 di Kota Padang, kembali beredar di sejumlah media beberapa hari belakangan setelah sempat viral awal bulan lalu. Seperti ramai diwartakan, acara reuni lebaran disebut-sebut sebagai salah satu faktor pemicu perceraian. Meski pihak Pengadilan Agama setempat menjelaskan hanya beberapa kasus yang terkait reuni, namun sangat menarik perhatian publik lantaran selain isunya baru, juga jumlah angka cerai yang meningkat hingga 100 kasus perhari dari 60 kasus sebelumnya.

Reuni sebagai ajang “temu kangen” teman-teman lama, tampaknya telah menjadi “ritual” tambahan dan trend baru dalam rangkaian momentum tradisi lebaran. Jika sebelumnya sulit terwujud dan sangat terbatas, maka di era teknologi informasi terutama pasca hadirnya beragam platform media sosial, reuni telah menjadi sebuah keniscayaan belaka. Kini, reuni menjadi tertuduh sebagai salah satu biang kerok perceraian.

Kasus Perceraian dalam Angka

Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap tingginya peningkatan angka perceraian secara nasional dari tahun ke tahun (https://www.bps.go.id/). Jumlahnya sempat menurun drastis di tahun pandemi 2020 dengan hanya 291.677 kasus. Namun, angka itu kembali melonjak di tahun berikutnya (2021) menjadi 447.743 kasus. Jumlah ini semakin membengkak dengan pertambahan 15,31% di tahun 2022 menjadi 516.334 kasus, sekaligus menempati posisi tertinggi selama enam tahun terakhir. Melihat fenomena terakhir seperti terungkap di Kota Padang, maka besar kemungkinan angka kasus cerai pada 2023 akan mengalami peningkatan signifikan.

Selain peningkatan kasus yang terus melonjak, aspek lain dari data perceraian yang menarik dicermati adalah fakta tentang lebih besarnya angka cerai gugat dibanding cerai talak. Artinya, pihak isteri lebih dominan mengajukan cerai daripada pihak suami. Pada 2022 misalnya, ternyata 75,21% dari jumlah perceraian atau 388.358 kasus diajukan pihak isteri, sementara gugat talak hanya 24,78% atau sejumlah 127.986 kasus. Perbandingan persentase ini tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Seiring kemungkinan bertambahnya angka perceraian, maka jumlah cerai gugat pun diprediksi akan jauh meningkat. Dalam kasus viral cerai karena reuni, pihak berwenang mensinyalir pengajuannya juga lebih didominasi oleh pihak isteri.

Fakta lain yang juga tidak kalah penting untuk dicermati adalah faktor penyebab di balik kasus perceraian. Badan Pusat Statistik merincinya kepada empat belas faktor, yakni zina, mabuk, madat, judi, meninggalkan salah satu pihak, dihukum penjara, poligami, kekerasan rumah tangga, cacat badan, perselisihan dan pertengkaran terus menerus, kawin paksa, murtad, ekonomi, dan lain-lain. Menilik data tahun 2022, faktor terbesar perceraian disebabkan perselisihan dan pertengkaran yang kontinu.

Penyebab ini disusul faktor ekonomi, lalu faktor meninggalkan salah satu pihak, dan faktor kekerasan dalam rumah tangga. Konflik yang terjadi terus menerus, bisa disebabkan pula oleh berbagai faktor yang tidak berdiri sendiri, baik dari internal maupun eksternal suami isteri. Konflik-konflik kecil yang tidak kunjung ada solusi dan titik temu, sangat potensial membesar, dan pada saatnya mencapai puncak kulminasi ketika muncul faktor pemicu.

Reuni di Era Medsos

Media sosial (medsos) lebih bersifat privacy dibanding platform media online yang lain. Lantaran itu berbagai jenis medsos seperti Facebook, WhatsApp, Twitter, dan Instagram, memberi keleluasaan bagi user untuk berbagi informasi pribadi (Levinson, 2009). Uniknya, selain mendekatkan relasi individu yang sebelumnya dibatasi lokasi, ternyata juga bisa menjauhkan individu yang sudah dekat, karena urgensi dan intensitas interaksi face to face semakin minim. Di sisi lain, kemudahan browsing bahkan pencarian informasi tentang data individu yang semula nyaris mustahil, sangat berdampak besar pada pembentukan grup-grup komunitas di dunia maya. Kelompok pertemanan, kolega, ataupun geng, baik di dunia pendidikan maupun profesi yang sudah menghilang dari lokus dan tempus, mengalami reinkarnasi. Catatan-catatan empiris tentang histori lama dengan segala dinamikanya kembali muncul. Bahkan tidak jarang pula berlanjut lebih intens dan menjurus kepada relasi sangat pribadi dan menyimpang. Inilah tampaknya pemicu kemelut rumah tangga, mulai dari konflik biasa, selingkuh, hingga perceraian.

Sejumlah riset ilmiah membuktikan dampak negatif penggunaan medsos terhadap keutuhan perkawinan. Studi Kasus di Pengadilan Agama Padang oleh Yusnita Eva, dkk (2020) misalnya, mengungkap empat faktor akibat medsos yang menimbulkan perselisihan dan pertengkaran suami isteri secara terus menerus. Faktor tersebut adalah (1) memunculkan perselingkuhan, (2) membuat salah satu pihak melalaikan kewajiban sebagai suami/ isteri, (3) menimbulkan masalah keuangan, dan (4) salah satu pihak tidak mampu mengontrol diri dalam penggunaan medsos. Riset Sahroh di Pengadilan Agama Makassar (2019) menemukan peningkatan signifikan angka cerai pasca 2018 yang dipicu akibat penggunaan medsos, hingga 30% dari semula yang hanya 10%. Menurutnya, cukup banyak perceraian akibat kecemburuan yang bermula dari penggunaan medsos.

Sakralitas dan Komitmen Perkawinan

Narasi di atas menegaskan tantangan perkawinan yang semakin kompleks di era kekinian. Menghadapi realitas itu, secara konseptual diperlukan minimal pemahaman yang benar dan utuh tentang sakralitas dan komitmen perkawinan. Sejatinya, ikatan suami isteri itu harus dipandang sakral, suci, tidak semata provan atau hal biasa. Kawin bukan sebatas kontrak sosial untuk pemenuhan hasrat seksual, tetapi jauh lebih dari itu berdimensi teologis yang melibatkan Tuhan dan ajaran-Nya.

Karena itu dalam Islam misalnya, perkawinan diatur dengan ketentuan hukum yang ketat, memiliki syarat-rukun, dan dipandang ibadah sebagai manifestasi penghambaan untuk mematuhi perintah Allah SWT dan Rasul-Nya. Ini harus dibaca dalam konteks penghargaan agama terhadap kemanusiaan. Kebutuhan biologis dan psikologis disalurkan dengan benar, relevan dengan besarnya resiko fisik, psikis, dan sosial jika diumbar tanpa norma dan etika. Dalam diskursus hukum Islam, aturan agama sangat kental berorientasi pada dimensi kemaslahatan manusia sendiri. Merujuk Al-Syatiby (1341 H), maqashid al-syari'ah atau tujuan syariat –tak terkecuali perkawinan- adalah menjamin terpeliharanya agama (hifz al- din), jiwa (hifz al-nafs), keturunan (hifz al-nasl), harta (hifz al-mal) dan akal (hifz al-‘aql). Singkatnya, praktek menyimpang dari ketentuan agama –misalnya perselingkuhan- akan berakibat buruk karena mengangkangi sakralitas perkawinan.

Al-Qur’an menyebut perkawinan sebagai mitsaqan ghalizhan atau ikatan yang amat kuat. Istilah ini hanya digunakan tiga kali dalam kitab suci sebagai metaforik perjanjian agung, dua kali terkait perjanjian Tuhan dengan Nabi, dan satu lagi dalam konteks perjanjian perkawinan (QS. 4: 20-21). Menurut sejumlah mufassir (Jabbar: 2020) ini mengindikasikan sakralitas perkawinan, yakni perjanjian atas nama Tuhan. Lebih dari sekedar janji, perkawinan adalah komitmen kuat dengan tanggungjawab, konsekwensi, resiko, dan ujian yang berat. Karenanya, harus diikat dengan nama Tuhan. Lantaran itu sejatinya kedua pasangan harus berorientasi pada keutuhan perkawinan, sehingga berupaya maksimal menghindari apapun yang bisa berdampak buruk, sekaligus pula mengoptimalkan setiap usaha pemeliharaan dan penyelamatannya. Jika komitmen itu sudah kokoh, maka semua tantangan akan bisa dilewati. Medsos dan reuni pun justru bisa menjadi hal yang positif bagi keberlangsungan perkawinan. (*)

Dr. Faisal Zaini Dahlan adalah Dosen Studi Agama-Agama UIN Imam Bonjol Padang

Baca Juga

Berburu Takjil Antaragama
Berburu Takjil Antaragama
Gosip Online
Gosip Online
Jokowi Sumbar, pengamat,
Dinamisnya Pencalonan Presiden
Hormati Gurumu, Sayangi Teman
Hormati Gurumu, Sayangi Teman
Ironi Pindah KK Demi Zonasi
Ironi Pindah KK Demi Zonasi
Peluang Perti dalam RPJPN 2025-2045
Peluang Perti dalam RPJPN 2025-2045