Langgam.di - Kala mentari semakin berona jingga, beringsut di ufuk barat, mereka yang kebanyakan sudah tua, berarak menuju surau. Satu dua orang menyempatkan diri singgah di lapak pabukoan (tempat penjualan aneka berbuka puasa), untuk bekal melepas puasa.
Mereka harus berkejaran dengan waktu. Memastikan sudah ada di surau atau musala sebelum waktu berbuka berkumandang. Salat berjamaah wajib hukumnya, tanpa boleh ditinggalkan sebagai syarat memenuhi apa yang disebut Sembahyang 40.
Di kampung yang masuk teritorial Tanah Datar, Sembahyang 40 adalah hal yang paling dirindu sebagian orang, terutama mereka yang sudah berusia di atas 50 tahun. Mereka memahami, menjalankan Sembahyang 40 niscaya tambang pahala di bulan puasa Ramadan jika komponen religiusnya dilaksanakan dengan antusias.
Di masa pandemi covid-19 ini, hasrat mereka yang rutin melaksanakan Sembahyang 40 tiap edisi Ramadan, tak terbendung. Di kampung yang dimaksud sekira 4 surau berbasis puak dan musala umum yang letaknya berdekatan menghelat Sembahyang 40.
Sembahyang 40 artinya jamaah suatu surau atau musala maupun masjid, shalat berjamaah selama 40 hari, tanpa boleh putus. Di kampung ini, Sembahyang 40 biasanya dimulai 10 hari sebelum Ramadan masuk. Dan berakhir ketika puasa terakhir, sehingga jumlahnya 40 hari.
Namun, dibeberapa tempat lain di Sumatra Barat, ada yang memulai 10 hari sebelum Ramadan, ada juga yang memulai lima hari sebelum Ramadan. Terpenting, dari 40 hari tersebut harus dilakukan tanpa terputus.
Kebanyakan jamaah Sembahyang 40 adalah orang yang sudah lanjut usia. Alasan yang rasional karena jamaah mesti khusuk dan fokus beribadah tanpa memikirkan komponen ekonomi untuk keluarga. Dalam hal ini, lansia kebanyakan tak lagi produktif, dan secara nafkah bisa disokong oleh anak atau pun tabungan yang dikumpulkan ketika bulan carai (penyebutan bulan-bulan di luar bulan puasa Ramadan).
Banyak orang mengasosiasikan, Sembahyang 40 adalah ritualnya Tarekat Syattariyah. Padahal menurut ulama Tarekat Syattariyyah di Pariaman, Ali Imran, Sembahyang 40 adalah ibadah berdasarkan hadis nabi Muhammad SAW.
Dalam hadis yang diriwayatkan Buchari, dikatakan siapa yang Sembahyang 40 hari berturut-turut, Allah akan membuang sifat munafik dari dirinya dan memelihara dari api neraka.
“Sembahyang 40 tidak harus bulan Ramadan. Ibadah Sembahyang 40 boleh dilakukan kapan pun di luar Ramadan,” ujarnya, suatu waktu.
Dia menambahkan, tidak ada keharusan untuk melaksanakannya di bulan Ramadan, yang penting melaksanakan salat lima waktu secara berjamaah berturut-turut selama 40 hari.
“Tapi, bagi kebanyakan muslim di luar Pariaman di Minangkabau, memang menjalankan Sembahyang 40 di bulan Ramadan,” katanya.
Akan tetapi, jelasnya, kalau dilakukan bulan Ramadan lebih bagus, karena di bulan Ramadan Allah memberikan pahala yang berlipat ganda.
Sementara ulama yang juga akademisi di Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol, Duski Samad, mengatakan, Sembahyang atau Salat 40 adalah bagian dari tradisi pengamalan agama kaum Tarekat Syattariyah yang berinduk pada Syekh Burhanuddin.
Syekh Burhanuddin merupakan penyebar Islam di Sumatra Barat. Dalam syiar Islamnya di Ranah Minang, ia mengembangan ajaran Tarekat Syattariyah, yang berpusat di Nagari Ulakan, Padang Pariaman.
“Sembahyang 40 payung pahamnya Tarekat Syattariyah, dan khas Ulakan serta daerah yang terpengaruh di Sumatra Barat,” kata Ketua MUI Padang, beberapa waktu silam.
Sembahyang 40 dikatakannya, bagian dari 27 paham jenis amaliah yang dihubung-hubungkan (nisbahkan), dengan Syekh Burhanuddin. Paham lainnya dalam Tarekat Syattariyah antara lain, memperingati kematian 7 hari, 40 hari, dan 100 hari, serta bersafar.
Meninjau referensi Sembahyang 40, Duski yang biasa dipanggil Buya mengatakan, tertulis dalam manuskrip-manuskrip kuno abad 19, yang tersimpan di beberapa surau di Padang Pariaman.
Manuskrip yang menjelaskan Sembahyang 40 itu, jelas Buya, ditulis oleh ulama yang berpedoman pada ajaran Syekh Burhanuddin seperti, Tuanku Mato Air, Tuanku Bintungan, dan lainnya.
Di samping itu, Sembahyang 40, kata Duski, juga merujuk pada kitab Durrahtun Nafihin (nasehat), merujuk pada hadist yang mengatakan, kalau sembahyang 40 hari berturut-turut maka, bebas dari munafik, meninggal dalam keadaan beriman, dan masuk surga.
Sementara dalam Alquran, ujarnya, jelas disuruh karena Sembahyang 40 adalah bagian dari salat berjamaah, dimana pahalanya 27 kali lipat dibanding shalat sendiri-sendiri. “Sembahyang 40 berarti salat berjamaah yang diformat 40 hari, dan bagian dari pelatihan jiwa,” tukasnya.
Syekh Burhanuddin sendiri hidup di era abad 17 atau tahun 1600an. Ia menuntut ilmu agama kepada ulama Aceh, Abdurrauf Singkil. Burhanuddin meninggal tahun 1685.
Ada lima khas Sembahyang 40, tutur Buya, yakni salat berjamaah tak boleh terputus, peserta kalau berjamaah mesti dapat takbir dari iman, setiap penggalan dilakukan do’a secara bersama misalnya, awal, di tengah, dan di akhir Sembahyang 40.
Dalam prosesi do’a, pengikut membawa makan-makanan, dan membawa beras dan uang untuk iman. “Ada cost juga, tapi besarannya relatif. Biasanya iman dapat 3 kali ‘amplop’. Ini adalah bentuk syukuran,” ujarnya.
Khas lainnya, salat secara bersama. Terakhir, pengikut yang didominasi oleh lansia, merupakan semacam bentuk pengasuhan atau panti untuk orang tua.
Sembahyang 40 sendiri membutuhkan kedisplinan dan waktu luang. Makanya, kebanyakan yang terlibat dalam Sembahyang 40 adalah para lansia.
Menurut Duski, lansia merasa nyaman dengan beribadah secara berjamaah sepanjang waktu dan dengan teman-teman sebaya.
“Dengan ikut Sembahyang 40, bisa mengaji dengan bimbingan guru, salat berjamaah, ketenangan, saling berbagi, sangat indah dan nyaman,” ujar salah seorang anggota Sembahyang 40, Bakiah.
Di Ranah Minang, jelas Duski, ada 3 musim dalam setahun Sembahyang 40 yakni di bulan Ramadan, sewaktu Idul Adha, dan bulan Rabiul Awal. “Sembahyang 40 adalah ritual hari besar Islam,” ucapnya.
Sementara mantan Ketua MUI Sumbar Syamsul Bahri Khatib mengatakan, tradisi Sembahyang 40 hampir tersebar di seluruh wilayah Sumbar.
Sembahyang 40, katanya, semua orang bisa saja melakukannya tanpa harus masuk tarekat. Sementara Tarekat Syattariyah, ujarnya, karena mengambil posisi disana, sehingga identik dengan paham mereka.
Sembahyang 40, jelasnya, tidak mesti berjamaah dengan iman yang sama dan anggota sama. Akan tetapi, boleh beriman ke siapa pun asalkan tetap berjamaah.
Tradisi Sembahyang 40, bermula dari pesisir (Ulakan), menyebar hingga ke daratan Sumbar (darek). Makanya, dengan mudah ritual ini ditemui di surau-surau atau musala di wilayah Tanah Datar, Dharmasraya, Solok, Sijunjung, Limapuluh Kota, Padang Pariaman, Pesisir Selatan, Solok Selatan, dan lainnya. (Osh)