Terima kasih untuk Langgam yang telah menawarkan kepada saya untuk menulis catatan tentang sastrawan sekaligus Guru Besar Sastra UI, Sapardi Djoko Damono, yang baru saja berpulang 19 Juli 2020 lalu. Sejujurnya, saya merasa tidak mempunyai kapasitas yang mumpuni untuk membicarakan beliau. Saya hanya sekali saja pernah bercakap cukup lama di rumahnya. Selebihnya hanya beberapa kali melihatnya di acara sastra. Untuk membicarakan karya-karyanya, saya pun hanya bisa membahas karya-karyanya di paruh terakhir abad 20, seperti Mata Pisau (1974), Perahu Kertas (1983), Hujan Bulan Juni (1994), atau kumpulan esai Sihir Rendra: Permainan Makna (1999) dan sebagainya. Karya-karya beliau dalam kurun waktu satu dekade terakhir sudah saya baca dengan penuh minat tetapi belum bisa dikatakan sebagai pembacaan yang mendalam.
Namun begitu, di luar soal sedikitnya kapasitas saya dalam membicarakan beliau dan karya-karyanya, saya punya pengalaman berharga yang mungkin bisa berguna bagi kita hari ini. Barangkali sekitar tahun 2006. Ketika saya masih SMA. Saat itu saya sedang giat-giatnya mempelajari sastra dengan penuh ketakjuban sekaligus kebingungan yang tiada tara. Saya sering mengirimkan sms ke SDD. Ia tak pernah tidak membalasnya. Bahkan sekali sms pendek bisa dengan jawaban yang begitu panjang.
Saya menyebut pengalaman berbalas sms dengan SDD tersebut sebagai pengalaman berharga bukan karena suatu kegembiraan sesaat bahwa sms saya dibalas oleh tokoh sastra yang bahkan tidak kenal dengan saya. Ada konteks lain yang kiranya perlu saya jelaskan terlebih dahulu. Tahun 2006 di Payakumbuh kala itu penggunaan internet belum seperti saat ini. Begitu juga komunikasi teks melalui ponsel masih mengandalkan sms. Satu-satunya informasi saya tentang dunia sastra dan bahan bacaan sastra hanyalah dari Feni Efendi dan kemudian lebih intens dengan Gus tf dan Iyut Fitra, dua sastrawan yang menjadi tempat belajar saya sejak SMP. Kedua sastrawan itu memberikan bacaan wajib kepada saya, dua atau tiga buku per bulan, dan di akhir pekan saya menyerahkan karya-karya saya kepada mereka untuk didiskusikan. Begitu pola umumnya selama bertahun-tahun. Selain itu, kedua sastrawan tersebut bukan jenis “guru” yang memberikan apa saja kepada saya. Mereka hanya “berbicara” ketika saya bertanya. Mereka orang yang lebih suka “berdialog” daripada “berceramah”. Kalau saya tidak bertanya, maka saya tak akan mendapatkan “ilmu”. Dengan kata lain, semua tergantung kepada saya. Bahkan, sebagai salah satu contoh, ketika Gus tf menjawab pertanyaan saya, maka ia seringkali menganjurkan saya untuk mencari pandangan lain terkait isu yang sama.
Seperti yang saya katakan tadi, saat itu penggunaan internet, seperti media sosial, belum seperti sekarang. Saya tidak tahu sedikitpun dunia luar, apa saja yang sedang dibahas orang, siapa saja anak seusia saya yang juga sedang belajar sastra, dan siapa saja tokoh sastra di Indonesia. Karena saya tak punya orang lain untuk bertanya, selain dua sastrawan tadi, maka satu-satunya cara adalah dengan meminta rekomendasi buku yang bisa saya baca kepada mereka untuk menambahkan pandangan-pandangan seputar sastra. Dalam konteks itulah akhirnya saya dipinjamkan buku Sihir Rendra: Permainan Makna (1999).
Buku itu benar-benar menakjubkan bagi saya saat itu. Beberapa tahun sebelumnya saya sudah membaca buku-buku puisi SDD, mempelajarinya, dan mendiskusikannya dengan kedua sastrawan tersebut. Buku kumpulan esai tersebut membuat saya semakin menyadari saat itu bahwa menulis puisi adalah sebuah kerja intelektual: SDD tak hanya menulis puisi yang memukau tetapi juga seorang penulis esai yang membuka pikiran. Bila dari buku puisi SDD saya mempelajari bagaimana puisi ditulis, maka dari buku esai itu saya mempelajari bagaimana puisi dianalisa.
Tapi, sebagai seseorang yang masih baru mulai mempelajari sastra, banyak sekali yang tidak saya pahami sepenuhnya dari buku itu. Selain mendiskusikannya dengan Gus tf atau Iyut Fitra, saya juga ingin langsung menghubungi penulisnya. Karena Gus tf selalu menekankan kepada saya agar mencari pandangan lain atas apa yang kami diskusikan, maka kemudian berpikir untuk mencari tahu nomor ponsel SDD. Saya tidak ingat siapa yang memberikan nomor hapenya kepada saya. Barangkali Feni Efendi. Saya kemudian diam-diam menyusun beberapa pertanyaan dan kemudian saya kirim kepadanya. Saya bahkan tidak mengatakannya kepada Gus tf atau Iyut Fitra. Dan tanpa saya duga, SDD menjawabnya begitu rinci bahkan menjabarkan satu satu sms ke sms lain. Saya menyalin kembali jawaban itu untuk saya baca-baca ulang. Karena saya merasa SDD sangat baik hati, maka pada waktu berikutnya, saya bertanya tentang banyak hal kepadanya. Tak hanya lagi berdasarkan apa yang saya baca dari bukunya, tetapi bila ada yang tidak saya pahami dari buku-buku non fiksi manapun, saya selalu mengirim sms kepada beliau dan beliau selalu menjawab begitu panjang. Saya lupa apa saja yang pernah saya tanyakan. Tapi beberapa di antaranya saya masih ingat. Saya pernah bertanya kepadanya tentang apa itu Sastra Indonesia? dan apa beda Sastra Indonesia dan Sastra Inggris dan Sastra Prancis dan seterusnya. Kalau tidak salah saya juga pernah bertanya tentang perbedaan Sastra dan Filsafat dan bagaimana keduanya berhubungan. Dan saya ingat ada banyak pertanyaan serupa yang terus saya ajukan.
Sejak saat itu, selain bacaan wajib per bulan dan pertemuan rutin per minggu dengan Gus tf dan Iyut Fitra, SDD menjadi guru saya yang lain, guru jarak jauh, dan bahkan kalau saya pikir-pikir saat ini, mengapa saat itu ia begitu baik hati, begitu mau membalas pertanyaan bertubi-tubi dari seorang entah di mana dan tidak ia kenal sama sekali. Hubungan lewat sms tersebut terhenti karena ponsel saya rusak dan saya tidak lagi menghubungi beliau. Sampai tahun 2016 ketika saya sudah pindah ke Jakarta, ketika sosial media mulai populer dan berkembang sampai saat ini, saya justru tidak tahu cara untuk kembali menghubunginya. Saya akhirnya pertamakali bertemu beliau di rumahnya tahun 2017 lalu. Saat itu buku pertama saya diterbitkan. Karena saya merasa bahwa SDD adalah salah satu orang yang sangat membantu saya memahami sastra ketika saya remaja dan tidak tahu apa-apa, maka saya ingin mengantarkan langsung buku saya ke rumahnya. Ketika saya menceritakan pengalaman waktu masih berkomunikasi via sms dulu, beliau tampaknya sudah tidak ingat. Namun begitu, bercakap-cakap cukup lama di rumahnya itu, saya masih merasakan auranya sebagai seorang guru.
Selamat jalan, Prof Sapardi Djoko Damono. Saya memohon maaf bila di tahun-tahun akhir ini pandangan saya sering bertolak belakang. Segala yang engkau ajarkan semoga menjadi amal baik di sisi-Nya. (***)
*) Heru Joni Putra adalah sastrawan dan kolomnis, penulis buku "Badrul Mustafa, Badrul Mustafa, Badrul Mustafa: Kitab Puisi" (2017)