Langgam.id - Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) Padang dan Kepolisian Daerah (Polda) Sumatra Barat (Sumbar) menyita ratusan ribu tablet yang diduga obat psikotropika palsu dan obat keras secara ilegal.
Penggerebekan itu dilakukan tim gabungan pada Kamis (27/6/2019) tablet di sebuah rumah di kawasan Kecamatan Padang Selatan, Kota Padang.
Obat-obatan itu disita setelah salah seorang yang diduga merupakan distributor tertangkap tangan sedang menerima sebuah paket kiriman.
"Dalam proses penindakan, pemilik tertangkap tangan menerima paket yang setelah dibuka merupakan obat psikotropika tanpa izin edar atau palsu. Selain itu, kami juga menemukan barang yang sama yang disimpan di sarana ilegal," kata Kepala BBPOM Padang, M Suhendri, Jumat (28/6/2019).
Suhendri mengatakan obat-obatan tanpa izin itu akan diedarkan kepada konsumen secara ilegal. Modus yang dilakukan pendistributor untuk mengedarkan adalah mengunakan jasa pengiriman maupan secara COD (Cash On Delivery).
"Total yang disita obat psikotropika diduga palsu dan tanpa izin edar sebanyak 170.700 butir tablet, obat tertentu 8.800 butir tablet dan obat keras 4.905 dus. Dari temuan ini nilai ekonomi mencapai Rp5 juta lebih," kata dia.
Meski distributor tertangkap tangan, kata Suhendri, pihaknya belum melakukan penahanan terhadap pemilik obat-obatan terlarang tersebut. Ia mengatakan akan melakukan rapat gabungan untuk tindakan lebih lanjut untuk status pemilik obat.
"Si pemilik baru calon tersangka, belum diamankan. Kami rapat lanjutan untuk tindakan selanjutnya.Sesuai arahan tim gabungan nanti dikembangkan kasus ini dan kita satukan persepsi," ujar Suhendri.
Akan tetapi, Suhendri menjelaskan, kegiatan distribusi obat psikotropika dan obat keras secara ilegal itu bisa dikenakan pasal pidana obat dan makanan dengan.
Dalam hal ini, kata dia, pemilik obat telah melanggar UU No 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Selain itu juga melanggar UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
"Ancaman hukuman paling lama bisa sampai 15 tahun penjara atau denda sebanyak Rp 1,5 miliar," tegasnya. (Irwanda/HM)