Ranah, Rantau dan Panggilan Kemajuan

Langgam.id - Penganugerahan gelar kehormaan atau Gelar Sangsako di Ranah Minang telah berlaku sejak abad ke-17 atau sekitar tahun 1684.

Ilustrasi Rumah Gadang, rumah adat di Sumatra Barat. [Foto: Fauzan 291/pixabay.com]

Tulisan wartawan senior Sumatera Barat Uda Hasril Chaniago di kolom ini beberapa waktu lalu sangat menarik. Beliau memaparkan kontribusi kawasan salingka Danau Maninjau, Sumatera Barat yang telah melahirkan banyak orang penting di Republik ini,  tidak hanya di masa lampau, tetapi juga masa belakangan ini. 

Apa yang menyebabkan kawasan seperti Maninjau dan beberapa nagari lain di Sumatera Barat seolah bisa menjadi lahan subur bagi lahirnya -- meminjam istilah Jeffrey Hadler (2008)-- para raksasa dalam sejarah Indonesia? Tulisan ini coba “menilik” secara sepintas akar-akar sosio historis dan kultural untuk membantu “menjawab”  persoalan yang secara umum sebenarnya sudah menjadi “kisah masa lalu” itu.

Mencoloknya orang Minangkabau di pentas sejarah Indonesia awal abad ke-20 hingga lahirnya Demokrasi Terpimpin tak hanya berhubungan dengan pengalaman sosial dan politik masyarakatnya, khususnya sejak kehadiran kolonial Belanda pasca-Padri (Abdullah, 2007), tetapi sebenarnya juga terkait kebiasaan merantau, suatu “tradisi” yang sudah berakar lama dalam kehidupan sebagian masyarakat Sumatera Barat.

Tradisi Merantau

Tradisi merantau pada suku Minangkabau dalam kaitan ini tidak hanya dapat menjelaskan pengaruhnya pada kiprah puak ini di luar Sumatera Barat, tetapi juga membantu menerangkan pengaruhnya pada dinamika sosial, budaya dan politik yang terjadi  di ranah Minangkabau sendiri.

Ketika orang Minangkabau sanggup menjadikan dirinya sebagai seorang pemimpin di luar daerah kelahirannya tentu dimungkinkan karena mereka telah merantau secara fisik dan bahkan juga emosional (Abdullah dalam Hadler, 2008). Merantau di sini dipahami dalam arti meninggalkan kampung halaman untuk mencari kekayaan, ilmu dan kemasyhuran (Kato, 2002).

Tentu faktor umum dalam sejarah migrasi suku Minang, terutama ketika penduduknya semakin banyak, adalah tarikan daerah lain, mengingat keterbatasan lahan untuk pertanian, sebab secara umum Sumatera Barat (seperti kawasan Maninjau) adalah daerah yang berbukit-bukit dan berlembah-lembah.

Menariknya, secara kultural, merantau juga memiliki makna khusus. Merantau tak hanya merupakan sesuatu tindakan yang diidealkan bagi anak muda menjelang dewasa, tetapi juga terkait dengan sistem kekerabatan matrilineal tentang struktur pemilikan rumah dan tanah yang seolah menjadi pendorong tradisi merantau yang bersifat individual.

Selain itu, dalam konsepsi Alam Minangkabau sendiri juga diakui posisi penting rantau. Rantau bukan saja menjadi gerbang yang perlu dilewati oleh elemen-elemen baru sebelum mereka memasuki Alam Minangkabau, namun rantau juga berperan sebagai “jalan keluar” bagi orang-orang yang merasa tidak puas dalam masyarakat.

Dalam tambo juga ditunjukkan pentingnya peranan yang dimainkan oleh rantau dalam perkembangan Alam Minangkabau. Pranata kedudukan raja dan agama Islam adalah dua unsur terpenting yang justru datang dari rantau, meskipun selanjutnya keduanya melebur ke dalam Alam Minangkabau.

Untuk selanjutnya, dalam sejarah modern Minangkabau, serangkaian pergerakan pembaruan keagamaan maupun pengadopsian konsep “kemajuan” pada umumnya justru digalang oleh orang-orang yang pernah bergumul di “rantau”, khususnya corak perantau intelektual (Abdullah, 2018).

Kolonialisme dan Pendidikan

Dalam konteks sejarah modern Minangkabau ini, faktor kolonialisme menjadi penting untuk menjelaskan “panggilan kemajuan” di kalangan orang-orang Sumatera Barat di awal abad lampau.  Kolonialisme memberikan pengaruh kuat terhadap pengenalan awal terhadap sistem pendidikan modern.

Sejarah mencatat, sejak pertengahan abad 19, pemerintah mendirikan beberapa sekolah untuk melatih calon pegawai. Peluang yang terbuka bagi pribumi-berpendidikan untuk mengisi administrasi kolonial memungkinkan banyak orang Minang memanfaatkannya. Kweekschool di Bukittinggi, contohnya, keberadaan akademi pelatihan bagi elit Sumatera itu paling banyak dimanfaatkan putra-putri Minangkabau (Amal, 1982).

Menariknya, eksistensi sekolah “sekuler” yang marak ini telah pula memicu perkembangan gerakan Islam modernis di Sumatera Barat, khususnya bidang pendidikan. Pada awal abad ke-20, jenis sekolah agama yang mengawinkan sistem pendidikan Barat dan pembelajaran agama bermunculan mengikuti munculnya kesadaran di kalangan Islam bahwa jika mereka bertahan dengan cara-cara lama dalam menegakkan Islam, mereka akan sulit menantang kolonial dan  penetrasi Kristen. Dalam konteks inilah lahir lembaga pendidikan seperti PGAI, Sekolah Adabiah, Diniyyah School, dan  Sumatra Thawalib (Noer, 1996).

Secara umum, respons masyarakat Sumatera Barat terhadap sekolah Barat dan agama reformis tergolong tinggi, khusus setelah pemberontakan anti-belasting 1908. Bayangkan, pada 1915 sekitar 1.200 calon murid memperebutkan delapan kursi yang tersedia di Kweekschool, termasuk tiga di antaranya anak perempuan. Selain itu, banyak orang Minangkabau mencari sekolah, terutama ke Jawa dan lebih jauh.

Pada tahun 1918, sebanyak 70 dari 200 siswa STOVIA di Batavia berasal dari Sumatera Barat. Pada dekade pertama abad ke-20 beberapa orang Minangkabau telah pula kembali dari belajar di Timur Tengah (Amal, 1985)

Antusiasme orang Minang terhadap pendidikan membuat daerah ini tanggap terhadap ide-ide baru di lapangan sosial, politik dan keagamaan. Bahkan Sumatera Barat sejak dekade-dekade awal abad ke-20 itu mengalami transformasi dan  pertentangan modernitas dari kota sampai pelosok. Baik pendidikan Islam modernis maupun sekolah-sekolah pemerintah kolonial telah menghasilkan lapisan elite Minangkabau yang kritis pada tradisionalisme maupun kolonialisme itu sendiri.

Pada konteks itulah spirit nasionalisme antikolonial tumbuh di kalangan Minangkabau terpelajar: dari nasionalisme Sumatera, nasionalisme Islam hingga nasionalisme keindonesiaan.

*Dosen Departemen Ilmu Sejarah FIB Universitas Andalas

Baca Juga

In Memoriam Prof. Dr. M. Alwi Dahlan, M.A "Harimau Tjampa" dan Bapak Komunikasi Indonesia
In Memoriam Prof. Dr. M. Alwi Dahlan, M.A "Harimau Tjampa" dan Bapak Komunikasi Indonesia
Prof Amir Syarifuddin
Mengenang Prof Amir Syarifuddin: Berawal dari Guru Agama dan Berakhir Juga sebagai Guru Agama
Tokoh-tokoh Besar Salingka Danau Maninjau di Panggung Sejarah Indonesia
Tokoh-tokoh Besar Salingka Danau Maninjau di Panggung Sejarah Indonesia
Presiden Jokowi Bakal Anugerahkan Gelar Kehormatan Bintang Mahaputra ke Dua Tokoh Minang
Presiden Jokowi Bakal Anugerahkan Gelar Kehormatan Bintang Mahaputra ke Dua Tokoh Minang
Pangdam Jaya Mayjen Mohammad Hasan
Profil Mayjen Mohammad Hasan, Putra Minang yang Jadi Pangdam Jaya
Langgam.id - Penulis buku Ensiklopedia Tokoh 1001 Orang Minang Dipentas Dunia M. Isa Gautama menemui Bupati Tanah Datar, Eka Putra.
Cerita Bupati Tanah Datar Bersama Penulis Buku Ensiklopedia Tokoh 1001 Orang Minang di Pentas Dunia