POLEMIK wisuda, lengkap dengan jubah, toga, dan atribut lainnya bagi anak-anak TK –juga SD hingga SMA- masih ramai dibincangkan terutama di media sosial. Masing-masing pihak memberi argumentasi, baik yang menyetujui dengan segala sisi positifnya, maupun menentang dengan berbagai alasan negatif. Isu ini tidak hanya dibaca dari persepektif edukasi dan psikologi, tetapi juga ditimbang dari sudut lain, seperti ekonomi. Banyak yang menilainya hanya sekedar serimonial semu dan nirmakna, bahkan tidak lebih dari pemborosan karena berbiaya cukup mahal. Sementara keluhan masyarakat terhadap kesulitan ekonomi terus fenomenal, termasuk pemenuhan biaya pendidikan yang masih tinggi. Sedangkan nilai positif substansial yang ingin diraih, tampaknya nyaris tak ada. Di sisi lain, pihak pendukung melihat prosesi ritual akademik tersebut memiliki sejumlah dampak positif. Misalnya saja sebagai motivasi untuk lebih giat dan bersemangat dalam menapaki jenjang-jenjang pendidikan berikutnya.
Jubah & Toga Wisuda, Historisitas dan Regulasi
Munculnya kontroversi tampaknya lebih disebabkan oleh pemakaian uniform dan aksesoris seperti layaknya wisuda perguruan tinggi. Jubah, toga hitam, dan pemindahan kucir memang identik dengan pengukuhan atas pencapaian satu bidang keilmuan tertentu, baik jenjang diploma, sarjana, maupun pascasarjana. Secara historis, prosesi akademis dengan atribut seperti itu, berawal dari tradisi universitas di Eropa abad ke-12 dan 13 M (Sopamena, 2022). Meski awalnya mahasiswa memakainya untuk menjaga kehangatan tubuh di musim dingin, namun dalam dinamikanya di abad ke-18 telah berkonotasi kecerdasan dan superioritas sehingga menjadi pembeda kaum terpelajar dari masyarakat awam. Akhirnya atribut tersebut berfungsi sebagai simbol akademik yang diadopsi beberapa universitas di abad pertengahan. Namun, penggunaan secara formal pertama kali untuk penanda kelulusan, dilakukan oleh Universitas Oxford dan Cambridge. Penyeragaman untuk semua lulusan sekaligus menyimbolkan prinsip kesetaraan, pasca pelarangan pemakaian atribut yang sebelumnya berlebihan.
Meski telah dianggap sebagai lambang pengakuan atas pencapaian bidang keilmuan akademis, namun jubah dan toga yang telah mentradisi itu tampaknya tidak memiliki regulasi yang menegaskan hanya boleh digunakan di perguruan tinggi saja. Atribut itu milik publik, berbeda dengan uniform kesatuan tertentu seperti militer dan kepolisian yang penggunaannya diatur dengan perundang-undangan. Artinya, dalam konteks hukum secara prinsip tidak ada larangan prosesi wisuda lengkap dengan atribut jubah, toga, dan kucir bagi jenjang TK, SD, SMP, maupun SMA.
Walau begitu, di jenjang TK sebagai bentuk pendidikan formal PAUD, pemerintah melalui SE Dirjen PAUD dan Dikmas Kemendikbud No. 2519/C.C21/DU/2015 telah menegaskan bahwa kegiatan perpisahan bagi anak PAUD bukan layaknya wisuda yang membebani orang tua. Bahkan enam tahun sebelumnya, Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas melalui SE Nomor: 1839/C.C2/TU/2009 juga sudah menegaskan hal yang sama. Menurut kedua regulasi itu, seyogyanya acara tersebut justru dimanfaatkan untuk menjalin komunikasi antara anak, orang tua, dan guru.
Sebagian pihak menilai aturan resmi pelarangan kegiatan tersebut sejauh ini belum ada, lantaran itu sejumlah pihak mengambil kebijakan. Walikota Surabaya Eri Cahyadi misalnya, sejak beberapa tahun terakhir melarang TK, SD, dan SMP Negeri di seluruh Surabaya menggelar wisuda menyusul banyaknya pengakuan orangtua terbebani biaya (Kompas.com, 16/6/23). Begitu pula Dinas Pendidikan Kota Mataram akan menyiapkan edaran pelarangan serupa (Antara, 16/6//23). Melihat hasil polling sejumlah media yang menunjukkan trend penolakan dari masyarakat, tampaknya kebijakan seperti ini akan terus bergulir dan diikuti daerah-daerah lain.
Kanak-Kanak Bukan Minatur Orang Dewasa
Sejumlah argumen pihak yang pro wisuda TK-SMA, umumnya dikaitkan dengan isu psikologi dan edukasi anak, selain faktor kebahagiaan bagi orang tua. Harapannya dalam diri anak akan terbangun kesadaran tentang masih panjangnya tahapan pendidikan yang akan dilalui, sehingga termotivasi lebih giat belajar agar bisa meneruskan ke jenjang lebih tinggi. Di satu sisi ekspektasi ini patut diapresiasi, namun setidaknya perlu kajian lebih lanjut untuk mengukur sejauh mana korelasi maupun regresi kedua variabel itu. Alih-alih positif dan signifikan, yang terjadi justru bisa sebaliknya, seperti kekhawatiran Gatya, seorang ibu yang memprotes wisuda anaknya yang tamat playgroup. Menurutnya, dengan seringnya anak mengikuti prosesi wisuda di setiap kelulusan, maka kebanggan anak memakai toga sudah berkurang. Ini berbeda dari kesan Gatya sendiri yang sangat spesial dan mendalam ketika wisuda sarjana, karena menjadi momen pertama baginya (kumparanNEWS, 17/6/23).
Kebanggaan orang tua atas penyelesaian satu tahap pendidikan anaknya yang sesungguhnya masih sangat rendah seperti TK, tak jarang pula terkesan lebay atau over. Ungkapan yang seolah-olah anak telah sukses berjuang keras meraih prestasi keilmuan, tampaknya kurang tepat dalam konteks jenjang pendidikan yang masih dengan bermain sambil belajar tersebut. Proses edukasi di tahap ini lebih ditujukan untuk pemuasan tuntutan dan kebutuhan fundamental sejumlah aspek perkembangan, seperti dimensi fisik motorik, kognitif, bahasa, sosial, emosi, nilai, dan sebagainya, yang dilakukan dengan senang tanpa paksaan. Karena itu, apresiasi dengan wisuda formal, lengkap jubah, toga, dan kucir, yang melambangkan nilai-nilai akademis spesifik, tampaknya tidak relevan.
Meski demikian, tidak berarti selesainya pendidikan anak di tahap awal tidak perlu diapresiasi. Memori tentang nilai-nilai kebaikan dan kesan positif yang menyenangkan, apalagi di usia emas (golden age) sangat perlu diinternalisasikan pada anak. Karena itu, bentuk lain yang relevan dan berbeda dari prosesi wisuda, penting sebagai opsi bagi anak-anak jenjang TK-SMA ini. Merujuk usulan Holy, Dosen PGSD Universitas Muhammadiyah Surabaya (2023), istilah purnasiswa dengan serangkaian seremoni yang sesuai dengan usia perkembangan, mendukung penyaluran kreasi, dan menumbuhkan rasa percaya diri anak tampaknya patut dirancang. Singkatnya, bukan wisuda-wisudaan atau wisuda candaan, karena wisuda dengan segala atribut dan serimonialnya memiliki filosofi akademik yang bukan canda-candaan. Lagi pula, suasana formal ritual dalam prosesi yang penuh simbolik itu lebih tepat untuk konteks usia mahasiswa yang mulai dewasa. Sedangkan kanak-kanak sejatinya bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil. (*)
Dr. Faisal Zaini Dahlan adalah Dosen Studi Agama-Agama UIN Imam Bonjol Padang