"Masjid Singgah" dan Keberagaman Kelas Menengah

"Masjid Singgah" dan Keberagaman Kelas Menengah

Dosen UIN Imam Bonjol Padang Dr. Faisal Zaini Dahlan, MAg. (Foto: Dok. Pribadi)

MUNCULNYA sejumlah masjid yang relatif mewah di sepanjang jalan-jalan besar akhir-akhir ini, menjadi fenomena keberagamaan yang menarik. Dari perspektif sosiologi agama, gejala ini dikaitkan dengan ekspresi dinamika keberagamaan kelas menengah (middle class). Tidak saja lantaran rumah ibadah ini umumnya dibangun secara pribadi oleh dermawan muslim, tetapi juga pengguna didominasi para musafir kelas menengah. Uniknya sebagian besar masjid tersebut berdiri terpisah dari pemukiman. Akibatnya, cenderung tidak difungsikan secara konvensional sebagaimana masjid di tengah warga, seperti aktivitas TPA, dll. Justru sarana ritual ini dilengkapi halaman luas untuk fasilitas parkir, sehingga mengalami pengembangan fungsi sebagai rest area. Karena itu, tidak salah jika model masjid yang sudah mulai tampak pada beberapa kawasan strategis di Sumatera Barat ini disebut sebagai “masjid singgah”.  

Entitas Muslim Kelas Menengah

Prediket kelas menengah dalam struktur masyarakat diberikan kepada mereka yang berada di antara dua kutub ekstrem secara tingkat ekonomi, yakni berpenghasilan tinggi atau kaya di satu sisi, dan berpenghasilan rendah atau miskin di sisi lainnya. Dalam konteks Indonesia, kelas menengah muncul di penghujung era 70-an dan awal 80-an, ketika politik Orde Baru membuka peluang terbuka kepada kelompok muslim, baik di sektor pendidikan maupun ekonomi. Menurut Dick, sebagaimana dikutip Supriansyah (2019), sebelum era ini hanya ada dua disparitas kelas, yakni yang menikmati kemakmuran dan yang terjebak dalam kemiskinan. Setelah itu kelas menengah mulai eksis, yang tampak dari dua standar utama; gaya hidup dan tingkat edukasi.

Secara akademis, indikator kelas menengah menjadi perdebatan, namun dalam konteks Indonesia ukuran economic security seperti dikemukakan Bank Dunia menjadi patokan. Selain terbebas dari ancaman kemiskinan dan bisa mencukupi diri sendiri, kelompok ini juga mampu memenuhi hal-hal di luar kebutuhan mendasar, seperti hiburan, kendaraan pribadi, asuransi kesehatan, dan lainnya (Adinda, 2021). Versi lain menyebut enam aspirasi finansial yang bisa dijadikan indikator sebuah keluarga kelas menengah. Yakni, mempunyai rumah sendiri, memiliki mobil pribadi, pendidikan anak sampai kuliah, keamanan saat pensiun, memiliki layanan kesehatan, dan bisa berlibur dengan keluarga (Dini, 2010).  

Indikator yang demikian menyebabkan kajian tentang kelas menengah –termasuk muslim kelas menengah- cenderung bernada miring karena dikaitkan dengan gaya hidup perkotaan. Triantoro (2020) misalnya mencermati persimpangan antara kesalehan, gaya hidup, dan pasar dari fenomena muslim kelas menengah ke atas di Indonesia. Ia menyoroti gaya hidup dan praktik keagamaan yang berbeda jauh dari muslim tradisional umumnya. Misalnya saja, ikut pengajian berbayar di hotel mewah, umrah plus paket wisata Timur Tengah, tinggal di perumahan Islami, konsumsi obat-obat herbal, serta berbusana pakaian muslim bermerek. Singkatnya, gaya hidup yang ditampilkan tidak semata ekspresi kesalehan dan spritualitas, tetapi beraroma komodifikasi agama sejalan dengan ramainya pasar produk bersimbol Islami.

Masjid Singgah dan Kesalehan Aktif

Antusiasme beragama muslim kelas menengah yang ditopang finansial mapan, tentu tidak tepat jika serta merta dipandang negatif. Fenomena yang disebut Azra new attachment to Islam (orientasi keislaman baru) yakni mengekspresikan kecintaan atas Islam lebih dari sekedar ritual formal, tetapi juga mewujud dalam gaya hidup yang lebih Islami ini, menurut Oki Setiana Dewi (2021) adalah konsekuensi logis dari perubahan model dakwah. Kalangan ini memanfaatkan teknologi dalam mencari dan memilih cara beragama sesuai kebutuhan. Mereka representasi dari proses santrinisasi yang bergairah menjadi muslim lebih taat menjalankan ajaran agama (practicing muslim). Atau dalam istilah Asef Bayat disebut “kesalehan aktif” yakni menunjukkan keberislaman melalui perubahan penampilan, kesungguhan dalam beribadah, serta mengajak orang lain untuk mengikuti ajaran Islam yang dipahaminya.

Kehadiran “masjid singgah” patut diapresiasi dan dibaca positif dalam konteks keberagamaan, ketimbang dipandang negatif sebagai prestise ataupun pencitraan identitas kesalehan muslim kelas menengah. Karena alih-alih mendapat support, justru bisa pula dikaitkan dengan atribut radikalisme, fundamentalisme, populisme muslim, dan label-label sejenisnya. Padahal, selain memberi manfaat dan kemudahan yang banyak dalam beribadah maupun dalam traveling, fenomena ini juga menunjukkan ketidakcanggungan muslim kelas menengah dalam ekspresi beragama di ruang publik. Kesan miring tentang agama identik dengan kelas bawah, kalangan ekonomi lemah, kawasan kumuh, fasilitas minim dan kotor, secara gradual akan terbantahkan dan mengalami pergeseran ke arah yang lebih positif, bermutu, dan berkualitas. Tanpa risih, malu, dan ragu-ragu, musafir kelas menengah dengan kenderaan pribadi yang terkadang mewah, mampir untuk sholat bersama keluarga atau kolega, sambil beristirahat sejenak melepas lelah. Masjid pun tidak kalah berkelasnya, bersih, rapi, wangi, nyaman, bahkan beberapa di antaranya memiliki fasilitas setaraf hotel berbintang.

Meski begitu, kiranya patut diingatkan beberapa hal. Antara lain, “kemewahan” dan perluasan fungsi masjid agar tetap tidak mengurangi sakralitas masjid sebagai rumah Allah dan sarana ibadah yang berdimensi spiritual. Begitu pula eksistensi masjid sebagai “milik bersama” umat lintas strata sosial, lintas afiliasi politik, serta lintas mazhab dan aliran sangat perlu dipertahankan. Jangan dilupakan pula, kehadiran masjid idealnya mendatangkan berkah bagi masyarakat sekelilingnya. Dalam konteks ini kiranya perlu dipahami bahwa selain fungsi ibadah, masjid juga sejatinya memiliki fungsi pendidikan, fungsi dakwah, serta fungsi pemberdayaan ekonomi umat. Terutama untuk fungsi yang disebut terakhir,  mutlak diperlukan gagasan-gagasan cemerlang, kreatif, dan inovatif agar berkah dari potensi besar “masjid singgah” yang relatif mewah ini bisa “melimpah” kepada jemaah berekonomi lemah yang berada di sekitarnya.  (*)

Dr. Faisal Zaini Dahlan adalah Dosen Studi Agama-Agama UIN Imam Bonjol Padang

Baca Juga

Berburu Takjil Antaragama
Berburu Takjil Antaragama
Gosip Online
Gosip Online
Jokowi Sumbar, pengamat,
Dinamisnya Pencalonan Presiden
Hormati Gurumu, Sayangi Teman
Hormati Gurumu, Sayangi Teman
Ironi Pindah KK Demi Zonasi
Ironi Pindah KK Demi Zonasi
Peluang Perti dalam RPJPN 2025-2045
Peluang Perti dalam RPJPN 2025-2045