Peringatan hari anti korupsi dan hari HAM di bulan Desember setiap tahunnya menjadi momentum evaluasi akhir tahun dalam isu penegakan HAM dan pemberantasan korupsi.
Dua momentum yang diperingati dalam hari yang berdekatan menjadi isyarat bahwa penegakan HAM dan pemberantasan korupsi merupakan isu yang memiliki hubungan erat dan berdekatan.
Akan menjadi ironi dan kemunduran dari semangat reformasi apabila dua hal tersebut “tercederai” serta tidak ada upaya yang serius dari negara untuk “mengobati”.
Reformasi menjadi gerbang bagi bangsa ini dalam membangun semangat pemberantasan korupsi dan penegakan HAM. Dalam urusan pemberantasan korupsi dibuktikan dengan lahirnya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) kemudian diperkuat dengan lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 19 Tahun 2019.
Pada urusan perlindungan dan penegakan HAM lahir Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kemudian diperkuat juga dengan lahirnya Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam rangka memperkuat instrument perlindungan dan penegakan HAM di negeri ini. Berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999 mengamanatkan lahirnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) guna membuktikan keseriusan negara dalam menjamin perlindungan dan penegakan HAM pada setiap urusan tanpa terkecuali, termasuk dalam urusan pemberantasan korupsi.
Tentu sepakat bahwa persoalan penegakan HAM dalam upaya pemberantasan merupakan hal yang utama dan harus diutamakan apabila hendak “membingkai” negara ini jauh dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Penegakan HAM ini tentu meliputi perlindungan hukum terhadap segala subjek yang terlibat dalam upaya pemberantasan korupsi baik itu terhadap pelaku, saksi hingga aparat penegak hukum itu sendiri yang dilaksanakan oleh negara melalui organ-organnya.
Adanya “luka” dalam upaya pemberantasan korupsi tidak hanya menuntut negara untuk segera mengobati “luka” tersebut tetapi juga menuntut agar mengejar dan memberangus oknum yang sengaja “melukai” upaya pemberantasan korupsi. Lantas bagaimana potret penegakan HAM dalam upaya pemberantasan korupsi di negeri kita saat ini?
Potret buram penegakan HAM dalam pemberantasan korupsi dewasa ini cukup dijelaskan dengan perkembangan kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Perjalanan/proses investigasi kasus yang telah berjalan dari tahun 2017 hingga saat ini seolah tidak kunjung juga memberikan titik terang, malah ironinya pada saat yang bersamaan beberapa pihak pun terang-terangan bersuara bahwa kasus penyiraman air keras ini sebagai suatu kasus yang direkayasa.
Perlu disadari bahwa disamping sebagai aparat hukum Novel juga merupakan warga negara yang memiliki hak atas jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang harus dilindungi oleh negara sebagaimana termuat dalam Pasal 3 ayat 2 UU No. 39/1999. Luntang-lantung atas terungkap kasus tersebut tentu tidak hanya mencederai hak Novel Baswedan sebagai warga negara yang merangkap sebagai aparat penegak hukum, tetapi telah juga mencederai semangat reformasi yang telah dibangun dan diperjuangkan.
Babak Baru
Sejatinya, potret buram penegakan HAM dalam pemberantasan korupsi memiliki efek domino terhadap masyarakat. Kepercayaan masyarakat terhadap negara sebagai otoritas yang memiliki kekuatan dalam melindungi dan menegakkan HAM akan goyah dan runtuh.
Kekecewaan pun akan terbit apabila tidak sejalannya antara nawacita dan realita yang terjadi. Tidak cukup disitu, situasi ini juga akan meyakinkan serta membuat rasa aman para koruptor dan kongkalikongnya untuk dapat berbuat serupa bahkan berbuat lebih pada kesempatan lainnya apabila kasus ini tak kunjung terungkap.
Berganti periode dan serta bertukarnya pucuk pimpinan POLRI tentu ini menjadi suatu keharusan untuk terungkapnya dengan segera kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pun juga ditagih untuk gencar melindungi Novel Baswedan yang notabenenya sebagai korban dalam kasus ini dari oknum-oknum yang mempelintir kasus penyiraman air keras ini. Tidak hanya itu, Komnas HAM pun sebagai garda terdepan penegakan HAM di Indonesia dituntut untuk melakukan percepatan dalam mengungkap pelaku dalam kasus tersebut.
Potret buram penegakan HAM dalam pemberantasan korupsi ini tentu harus segera ditindaklanjuti dan jangan sampai nawacita dalam pemberantasan korupsi ini hanya akan menjadi angancita di mata masyarakat.
Kita tentu menginginkan dan menuntut keseriusan negara untuk menegakkan HAM dalam upaya pemberantasan korupsi sebanding dengan keseriusan negara dalam menangkal terorisme dan radikalisme.
Peringatan hari anti korupsi dan hari HAM saat ini tidak hanya dengan orasi dan narasi oleh negara, tetapi harus diperingati dengan aksi dan bukti. Hari peringatan ini hendaknya menjadi peringatan juga bagi “mereka” bahwa penegakan HAM dalam pemberantasan korupsi tak akan surut dan tak akan pernah mati.
Sepanjang kasus Novel Baswedan ini belum terungkap, maka akan sepanjang itu penegakan HAM dalam pemberantasan korupsi di negeri ini tercederai. (**)