Berita Sumbar terbaru dan terkini hari ini: Perusakan Karang di Mentawai, Walhi Sumbar Ingin Polisi Gunakan Pasal Pidana.
Langgam.id - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumbar mengapresiasi langkah progresif kepolisian dalam mengusut dugaan tindak pidana perusakan terumbu karang di Pantai Polimo, Desa Silabu, Kecamatan Pagai Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Direktur Walhi Sumbar Wengki Purwanto mengatakan, langkah polisi itu akan menjadi preseden baik upaya penegakan hukum terkait kerusakan lingkungan yang dilakukan tanpa padang bulu.
Menurut Wengki, pengusutan dugaan tindak pidana kejahatan terhadap lingkungan di Desa Silabu bisa dijadikan titik awal penegakan hukum sektor lingkungan di Sumbar. Diharapkan kepolisian bisa menjerat pihak terkait yang telah melakukan peerusakan terhadap terumbu karang.
Saat ini Ditreskrimsus Polda tengah melakukan proses penyelidikan kasus tersebut. Diketahui, salah satu koperasi di sana menggunakan terumbu karang di Pantai Polimo untuk bahan dasar pembangunan logpond (dermaga).
Menilik hal itu, Wengki menekankan agar kepolisian melihat kasus ini sebagai kejahatan yang dapat dijerat pidana. Sebab, kata dia, imbas berlakunya UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja, yang turut merevisi sejumlah pasal dalam UU No 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, selain sanksi pidana, ada pasal tambahan mengenai sanksi administrasi.
"Dalam UU Cipta Kerja terdapat pasal tambahan yang memberikan sanksi adminstrasi bagi yang merusak ekosistem terumbu karang," kata dia.
Berdasarkan temuan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sumbar, diketahui aktivitas pembangunan logpond itu juga tak mengantongi izin. DKP pun memberikan sanksi administrasi dan menghentikan kegiatan pembangunan.
Alih-alih melanjutkan ke sanksi pidana yang juga dimungkinkan, dinas terkait, kata Wengki, hanya menjatuhkan sanksi administrasi. "Meskipun dalam UU Cipta Kerja (sanksinya, red) bersifat pilihan terkait tata kelola ruang laut itu, tapi kan tidak ada larangan menggunakan sanksi pidana," kata Wengki di Sekretariat Walhi Sumbar, Kamis (21/4/2022) malam.
Wengki melihat betapa pentingnya korporasi yang terlibat dalam kejahatan lingkungan disanksi pidana. Sebab hal bisa berdampak terhadap pemanfaatan ruang laut ilegal lainnya di Sumbar yang tak berizin.
"Misalnya, sudah rahasia umum sebagai besar tambak-tambak udang juga tak punya izin. Apakah kemudian perusahaan yang tak berizin itu dikenakan sanksi adminstrasi saja oleh pemerintah, lalu suruh urus izin. Preseden inilah yang kemudian memberikan impunitas bagi penjahat lingkungan," katanya.
"Orang akan lebih mudah melanggar ketentuan undang-undang dulu, nanti toh kita akan diberi sanksi adminstrasi saja. Jadi mereka tidak urus izin dulu. Aktivitas dulu, ketika sudah ditegur barulah mereka urus izin," Wengki melanjutkan.
Dia menegaskan, preseden di atas harus diputus dalam penegakan hukum kasus perusakan terumbu karang di Pantai Polimo. "Meskipun tantangannya akan sangat besar. Karena dibutuhkan keberanian untuk itu, karena apabila berhasil, akan berefek terhadap kasus-kasus lain," tegasnya.
Tindakan perusakan ekosistem terumbu karang itu, sebut Wengki, dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 73 Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Baca juga: Polda Sumbar Mulai Penyelidikan Dugaan Perusakan Terumbu Karang di Mentawai
“Bagi yang merusak ekosistem terumbu karang, seperti diatur dalam Pasal 73 ini, dapat dipidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar,” tutur Wengki.
—