Langgam.id - Masyarakat Indonesia pada umumnya merayakan Idul Fitri 1 Syawal 1441 Hijriah pada Ahad (24/5/2020) ini. Hari Raya yang bertepatan dengan suasana sulit, ketika pandemi Covid-19 jadi ancaman serius masyarakat dunia. Tak terkecuali bagi warga Indonesia dan Sumatra Barat.
Sesungguhnya, Idul Fitri di zaman sulit dalam bentuk yang berbeda, sudah beberapa kali dicatat sejarah Indonesia. Idul Fitri pada masa Perang Kemerdekaan Indonesia antara 1945-1949 adalah bagian dari masa-masa sulit itu. Bagi masyarakat Padang, salah satu yang tersulit adalah Idul Fitri 1 Syawal 1365 Hijriah, yang bertepatan dengan 28 Agustus 1946.
Kota Padang pada masa itu, berada dalam peralihan dari genggaman Sekutu ke tentara Belanda. Inggris yang mewakili Sekutu sudah hampir berangkat dari Padang. Sementara, tentara Belanda makin banyak dan kian sering melancarkan provokasi pada tentara Republik.
Mestika Zed dan Hasril Chaniago dalam buku "Ahmad Husein, Perlawanan Seorang Pejuang" (2001) menulis, saat itu Kota Padang telah menjadi medan pertempuran antara pasukan Republik melawan tentara Belanda yang berusaha terus memperluas wilayah kedudukan de-facto-nya.
"Kegiatan penyerangan dan provokasi Belanda juga makin menjadi-jadi. Menghadapi pasukan-pasukan Republik dari Front Timur dan Front Utara, Belanda terus memperkuat militer dan peralatan mereka," tulis Mestika.
Sejak akhir 1946 hingga pertengahan 1947 (menjelang Agresi I Militer Belanda), menurutnya, pertempuran banyak terjadi di sekitar Padang Area, terutama di Front Timur.
"Serangan-serangan tentara Belanda nampaknya memang sengaja diarahkan kepada kedudukan 'Pasukan Harimau Kuranji' yang tersebar di sekitar Lubuk Begalung, Indarung, Air Sirah hingga Ladang Padi."
Komandan Resimen III Harimau Kuranji Letkol Ahmad Husein membalas serangan itu dengan pasukannya. Pertempuran paling legendaris, menurut Mestika, terjadi persis pada malam takbiran menjelang Idul Fitri.
Idul Fitri pada tahun itu jatuh pada 28 Agustus 1946. Pertempuran terjadi sejak 27 Agustus malam, hingga 28 Agustus dini hari selama 5 jam.
Serangan umum itu menyasar kedudukan pasukan Sekutu/NICA di Kota Padang, khususnya di Simpang Haru dan Parak Gadang. Selain itu, juga Pangkalan Udara Tabing dan Teluk Bayur. "Pasukan Resimen Harimau Kuranji bergerak menuju sasaran mulai pukul 22.00 menjelang tengah malam," tulis Mestika dan Hasril.
Djawatan Penerangan dalam Buku "Sumatera Tengah" (1954) menyebut, pertempuran itu menimbulkan kebakaran besar di tiga tempat. Yakni, di Tabing, Kantin (kini Jalan Sisingamangaraja) dan Simpangharu. Pertempuran juga terjadi di Teluk Bayur hingga pukul 4.00 pagi.
Usai merepotkan Belanda dan Sekutu, pasukan Harimau Kuranji kembali ke markas gabungan di Indarung. "Sepanjang jalan dari Lubuk Begalung, rakyat berdiri menyambut gembira tentara Republik dan mengelu-elukan Ahmad Husein, sang Harimau Kuranji," tulis Mestika.
Pasukan ini sampai di Indarung pada pagi hari. Kemudian, langsung menuju Lapangan Indarung untuk melaksanakan salat Idul Fitri bersama rakyat. Bertindak sebagai imam dan khatib dalam salat Ied tersebut adalah Panglima Divisi IX Banteng Kolonel Dahlan Djambek, yang merupakan putra salah satu ulama besar Minang, Syekh Djamil Djambek.
Serangan selesai, ancaman berikutnya datang. Tentara Belanda bersiap membalas serangan tersebut. Saat masyarakat Padang dan sekitarnya sedang merayakan Idul Fitri, kecemasan meliputi. Karena Belanda memobilisasi pasukan sebanyak 100 truk. Namun, tak jelas alasannya, serangan balasan itu batal dilangsungkan pada hari tersebut.
Namun, setelah Lebaran itu hingga 1949, korban jiwa dan harta benda berjatuhan. Tak terhitung korban pejuang dan rakyat yang meninggal, begitu pula kampung-kampung yang dibakar tentara Belanda.
Setahun sebelum 1946, Idul Fitri 1364 Hijriah jatuh pada 8 september 1945. Pada saat ini, suasana Padang dan Sumatra Barat masih peralihan dari tangan Jepang ke tangan Sekutu. Belum ada Belanda di Padang. Para tokoh masyarakat dan pemuda sibuk berkonsolidasi mendukung proklamasi kemerdekaan yang diumumkan Sukarno-Hatta pada 9 Ramadan 1364 Hijriah. Warga bisa merayakan Idul Fitri pascamerdeka.
Kondisi berbeda terjadi pada 1946 dan setahun setelahnya. Idul Fitri 1366 Hijriah bertepatan dengan 18 Agustus 1947. Lebaran kali ini dirayakan dalam suasana prihatin. Karena, sebelum itu Wali Kota Padang Bagindo Aziz Chan gugur ditembak Belanda pada 19 Juli 1947. Tanggal itu bertepatan dengan "puaso tuo" alias 1 Ramadan 1366 Hijriah.
Lebaran juga dalam suasana ancaman. Karena, pada 21 Juli 1947 atau bertepatan dengan 3 Ramadan 1366 Hijriah, Belanda melancarkan Agresi Militer I. Bung Hatta hampir terkepung serangan Belanda saat berkunjung ke Sumatra Utara karena agresi ini. Wakil presiden berkejaran dengan waktu dan sampai dengan selamat di Bukittinggi. Kehadiran Bung Hatta ber-Idul Fitri di kampung halaman, sedikit bisa jadi obat dan menyemangati masyarakat Sumbar.
Baca Juga: Kisah Bung Hatta Terkepung Agresi Pertama dan Perjalanan Meloloskan Diri ke Bukittinggi
Tahun berikutnya, Idul Fitri 1367 Hijriah bertepatan dengan 6 Agustus 1948. Ini adalah masa transisi jelang Agresi Militer II. Pada Idul Fitri tahun itu, masyarakat Sumbar yang berada di wilayah pedalaman, umumnya masih merayakan Idul Fitri dengan lancar karena Belanda masih berada di dalam tapal batas hasil Perjanjian Renville. Namun, bayang-bayang agresi militer berikutnya sudah terasa.
Benar saja, empat bulan kemudian, tentara Belanda melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948. Bukittinggi dibom dan ditembaki dari udara. Kendaraan lapis baja dan serdadu Belanda berbaris menguasai seluruh kota di Sumbar. Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) kemudian berdiri dan bergerilya sejak 22 Desember 1948 ke berbagai pelosok hingga masuk Ramadan 1368 Hijriah pada Juli 1949.
Baca Juga: Teror Cocor Merah di Langit Bukittinggi
Setelah Sukarno-Hatta kembali ke Yogyakarta dari pengasingan di Bangka, M. Natsir dan Leimena diutus Bung Hatta menjemput Ketua PDRI Sjafruddin Prawiranegara. Ia berada di basis terakhirnya, Koto Tinggi, Kabupaten Limapuluh Kota. Pertemuan utusan Bung Hatta dengan kabinet PDRI berlangsung di Padang Japang, Limapuluh Kota pada 6 dan 7 Juli 1949. Pertemuan ini bertepatan dengan 10 dan 11 Ramadan 1368 Hijriah.
Ketua PDRI Mr. Sjafruddin Prawiranegara kemudian berangkat ke Yogyakarta bersama Natsir. Ia lalu menyerahkan mandat pemerintahan darurat kepada Sukarno-Hatta pada 13 Juli 1949 atau bertepatan dengan 17 Ramadan 1368 Hijriah.
Tahun 1949 ini, Idul Fitri bertepatan dengan 27 Juli 1949. Sepekan setelah Lebaran ini, gencatan senjata Indonesia-Belanda diumumkan. Gencatan senjata pada 3 Agustus 1949 tersebut, digelar sebelum Konferensi Meja Bundar (KMB) yang kemudian bermuara pada pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda.
Meski Belanda masih berada di berbagai kota di Sumbar saat Lebaran tahun 1949 ini, tensi pertempuran sudah jauh turun. Tidak ada lagi kejadian seperti Idul Fitri tahun 1946. Kemenangan sempurna pun sudah di depan mata, setelah melewati ujian perjuangan berat dan kesabaran. Termasuk ketahanan menghadapi masa-masa sulit di Hari Raya. (HM)
Baca Juga: Tangis Komandan Tentara Belanda Saat Harus Tinggalkan Bukittinggi