Langgam.id - Jennis Simarmata (43) dan istrinya Megawati Manulang, bergegas membangunkan 4 orang anaknya pada suatu Minggu. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 05.00 WIB, sehingga tak bisa lagi berleha-leha. Perjalanan 100 km terbentang di depan mata, dari kediaman mereka di Jorong Koto Nan Duo, Kecamatan Batang Kapas, Kabupaten Pesisir Selatan menuju Kota Padang.
Berangkat dari Batang Kapas pukul jam 6.00 WIB, Jennis dan istrinya sampai di Padang pukul 9.00 WIB. Sejam lebih awal dari mulainya waktu ibadah Minggu pada pukul 10.00 WIB. Jennis adalah Majelis Gereja atau Penatua di HKBP TB. Perdede, tepian Muara Batang Arau, Kota Padang.
Sebagai Penatua, ia 2 kali dalam sepekan ke Padang, hanya untuk urusan ibadat di gereja HKBP TB. Perdede. Hari selain Minggu adalah hari Jumat. “2 kali seminggu ibadat karena saya pelayan / mejelis gereja / Penatua,” kata Jennis.
Sebelum berkutbah Minggu, Jennis pun bertolak sendirian ke Padang di hari Jumat untuk membahas sermon (suatu sesi pertemuan para majelis gereja atau parhalado yang dilaksanakan sebelum hari Minggu). Sementara untuk hari Minggu, ia membawa serta istri dan anak-anaknya.
Untuk bersentuhan dengan Tuhan di gereja Kota Padang, Jennis senantiasa berkendara dengan mobil pribadi selama 2 tahun terakhir. Kocek yang dikeluarkan lebih kurang Rp.500 ribu bolak balik Padang – Batang Kapas untuk sekali bepergian.
Jalan panjang dan melelahkan yang ia lahap dari Batangkapas ke Padang, tak terlepas dari kerinduan untuk beribadat ke gereja. Di kampung ia tinggal, gereja jelas tak a da. Begitu pun di kota terdekat Painan, gereja juga tak ada tegak.
Jadi gereja paling dekat diakses dari Batang Kapas, adanya hanya di Padang. "Sebagai terpanggil untuk menjadi bagian melayani gereja, mengendarai mobil selama 2 tahun terakhir,” ujarnya.
Beribadat Minggu di gereja sangat berbeda dengan ibadat di rumah atau pun Pos Pekabaran Injil (PI). Di gereja, semua rangkaian ibadat Minggu bisa didapatkan seperti nyanyi rohani (lagu pujian), fotum (eskporsurya) - doa - lagu pujian, doa lagi – evangelium.
Setali tiga uang dengan Jennis, Lasmar Sinaga, 47, juga mesti menempuh perjalanan jauh beribat Minggu. Ia tinggal di Sago, Painan, 20 km dari Batang Kapas. Sama-sama kawasan yang masuk Pesisir Selatan. Ia satu dari 34 kk penganut Kristen yang tinggal di Painan, ibukota Kabupaten Pesisir Selatan.
Di kota bertepian Samudera Hindia ini, tak ada gereja yang berdiri tegak. Sehingga penganut Kristen harus ke Padang bila ingin beribadah Minggu.
“Saya sudah 21 tahun tinggal di Painan. Pernah beberapa kali kita perjuangkan pendirian gereja di Painan. Tapi tak pernah bisa,” tukas Lasmar.
Tekanan Beribadah di Lingkungan Tinggal
Jennis punya pengalaman pahit saat menjalani ibadah Patanakhon Hata Ni Debata (PHD) di rumah. Suatu waktu, keluarganya berkumpul dengan 8 orang sesama penganut Kristen, melakukan PHD di rumahnya. Kala itu, didatangkan pendeta dari Padang. Aktivitas di rumah relative singkat dibandingkan di gereja. Namun durasi tersebut tak mempengaruhi sejumlah oknum untuk melakukan tindakan anarkis.
Saat ibadah berlangsung, tiba-tiba rumahnya dilempari batu. “Aktivitas ibadah singkat. Namun rumah kami dilempar. Info tetangga yang melempar itu anak-anak, pakai batu. Maka aku kejar hingga ke rumahnya. Anak-anak itu sudah aku jumpai. Kata orang tua laki-laki, tak tahu. Namun istrinya mengakui langsung,” papar Jennis.
“Sebenarnya kami aktif PHD tiap bulan, tapi takut menerima di rumahnya masing-masing. Rumah saya dilempar saat PHD itu. Yang hadir Pendeta dari Padang, bersama majelis, dan jemaat. Kadang kumpul 8 orang,” ungkap Jennis.
Ketua PGI Wilayah Sumbar Pdt. Daniel Marpaung juga punya cerita tersendiri tatkala berkutbah di Lubuk Alung. Saat sesi bernyanyi, ada lemparan batu ke rumah tempat ibadah. Ditengarai ada yang tidak nyaman dengan nyanyian yang begitu lepas.
“Bernyanyi setengah lepas hati saja. padahal bagi orang Kristen, bernyanyi lepas, itu lebih meresapi kedetan Tuhan, lebih sampai, kok bisa sampai menangis,” cerita Amang panggilan Pendeta Daniel.
Imbas kejadian itu, umat Kristen yang tinggal di Sicincin dan Lubuk Alung, tak mau mendatangkan lagi pendeta untuk ibadah di rumah. Semua takut situasi seperti itu terulang lagi.
Tak begitu jauh dari Lubuk Alung, persisnya di Kota Pariaman, bermukim 78 kk jemaat Kristen. Di Pariaman tak ada gereja. Menurut Amang, penelitian yang dilakukan pihaknya, dari 78 kk itu, rata-rata hanya 30 kk yang biasa datang ke gereja di Padang tiap Minggu. Hal ini disebabkan, jauhnya jarak tempuh.
Sehingga gereja HKBP Padang menjadikan Pariaman Wijk 11. Wijk Artinya sector. Saat ini ada 12 Wijk gereja HKBP.
Nah, kesulitan jemaat HKBP seperti di Kota Pariaman mengakses gereja HKBP di Padang, dibikinlah kebaktian pada minggu kelima.(dalam kalender, ada hari minggu ke 5). Hingga bulan Oktober lalu, sudah 3-4 kali Amang memimpin ibadah di sana. Ibadat di rumah jemaat yang menampung kebaktian, paling banyak 125 orang (rata-rata 100 orang).
SKB 2 Menteri Sulit Diwujudkan di Lapangan
Beribadah adalah wujud kebebasan beragama yang dijamin UUD 1945. Hal lain kemudian diperkuat dengan adanya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah.
Peraturan bersama ini kemudian lazim disebut SKB 2 Menteri. Dalam SKB 2 Menteri ini, ada sejumlah persyaratan khusus yang harus dipenuhi terkait pendirian rumah ibadah, yaitu: daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat; dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa; rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.
Jika persyaratan pertama terpenuhi sedangkan persyaratan kedua belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadah. Persyaratan ini diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadah kepada bupati/walikota untuk memperoleh IMB rumah ibadah. Dalam peraturan, bupati/walikota wajib memberikan keputusan paling lambat 90 hari sejak permohonan pendirian rumah ibadah diajukan.
Jika terdapat rumah ibadah yang memiliki IMB namun harus dipindahkan karena perubahan rencana tata ruang wilayah, pemerintah daerah akan memfasilitasi penyediaan lokasi baru. Perselisihan yang terjadi akibat pendirian rumah ibadah harus diselesaikan secara musyawarah oleh masyarakat setempat.
Jika tidak ada hasil yang dicapai, penyelesaian perselisihan dilakukan bupati/walikota dibantu kepala kantor departemen agama melalui musyawarah yang dilakukan secara adil dan tidak memihak dengan mempertimbangkan pendapat FKUB. Apabila perselisihan masih belum selesai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan setempat.
Jika SKB 2 Mentri mengharuskan tanda tangan 60 orang masyarakat sekitar untuk pendirian gereja, aturan HKBP secara internasional, cukup 25 kk di kawasan yang sama sudah bisa mendirikan gereja HKBP.
“Bagi kami 25 kk saja layak mendirikan organisasi gereja. Ternyata dengan adanya peraturan itu harus mencari tanda tangan lingkungan sekitar kurang lebih 60 orang warga setempat, berarti bagian dari mempersulit kami. Walaupun itu katanya bagian dari penertiban,” jelas Lesmar.
Aturan yang berlaku di HKBP, harusnya di Painan dengan populasi 34 kk Kristen sudah selayaknya berdiri satu gereja.
“Kondisi sekarang banyak tak rutin beribadah karena harus menempuh perjalanan jauh ke Padang. Itu wajar. Tapi iman, kepercayaan, keyakinan tergantung masing-masing orang. Memang capek sih ke Padang, tapi ikhlas di hati tak ada rasa capek,” ungkap Lesmar.
Dia berharap selaku orang Kristen, tolong dibantu, dipermudah, diberi izin beribadah, dengan Pemda memfasilitasinya.
PGI memperkirakan ada sekitar 200 ribu jiwa umat Kristen di Sumbar. Namun PGI hingga saat ini belum punya angka pasti total gereja Kristen di Sumbar. Untuk Kota Padang, menurut Amang, ada 34 gereja di bawah naungan PGI.
Mengapa Penting Ibadah di Gereja?
Bagi umat Kristen, kata Amang, gereja adalah tempat persekutuan orang-orang yang terpanggil dari dunia kegelapan ke terang. Menurut Amang, maksudnya orang terpanggil yaitu orang yang belum percaya ke Tuhan dan sekarang sudah percaya kepada Tuhan.
“Artinya gereja itu adalah perkumpulan orang-orang yang percaya. Gereja itu merangkap dari pengertiannya tadi, dalam gereja itu banyak aktivitas yang dilakukan, banyak kegiatan-kegiatan terutama adalah melakukan pujian syukur kepada Tuhan melalui ibadah yang dilakukan setiap Minggu atau setiap kegiatan yang ada atau yang dilakukan di tengah-tengah gereja itu itu namanya ibadah umum yang dilakukan pada hari Minggu,” terang Aman.
Dia menambahkan, kegiatan di tengah pelayanan di gereja bisa dikembangkan lagi, seperti kegiatan hari tahun ibu, tahun bapa, tahun pemuda, ada juga tahun anak. “Nah di samping itu juga dikembangkan kegiatan, kalau di muslim namanya wirid, kalua di gereja kegiatan itu disebut ibadah kebaktian rumah tangga atau partangiangan. Itu dilakukan di setiap sector, dan terdapat di berbagai gereja yang ada di Padang. Itu dilakukan setiap hari Selasa, Rabu, Kamis di rumah. Semua pelayanan dilakukan di bawah naungan gereja,” bebernya
Amang lantas menjelaskan, 2 tahun ini tidak ada terjadi masalah, karena dari mereka tidak ada pergerakan untuk mendirikan gereja. Contoh jemaat Kristen dari Pariaman atau pun Batang Kapas, alih-alih rebut menuntut pendirian gereja di sekitar mereka, lebih memilih beribadah Minggu ke Padang.
“Maka masalah perizinan untuk mendirikan gereja tidak terdengar. Sebenernya mereka butuh, tapi menahan diri untuk tidak mendirikan gereja dari pada ribut, dibayangi masalah. Maka, lebih bagus mereka pergi jauh-jauh, seperti Pariaman ada 100 lebih kk, mereka jauh ke sini untuk ke gereja,” imbasnya.
Di Painan, meraka juga jauh mengayuh semangat ke Padang demi bersua dengan Tuhan di hari Minggu. Suara nyaring untuk bisa mendirikan gereja ditahan, karena mereka trauma dari beberapa kasus. Sehingga tidak pernah berpikir untuk mencoba kembali memperjuangkan berdirinya gereja.
Di wilayah yang jauh dari Padang atau tempat gereja berdiri seperti Dharmasraya, jemaat Kristen di sana beribadah Minggu di aula atau ruangan yang taka da sedikitpun merepresentasikan gereja. Begitu juga halnya di wilayah selatan Pesisir Selatan, jemaat Kristen yang umumnya kaum pekerja sawit, menggelar ibadah Minggu di barak tempat tinggal. Itu pun ada yang dibubarkan pihak perusahaan.
“Dalam suatu kasus, pernah turun tim advokasi PGI dari pusat, yang akhirnya bisa berdiri bangunan balairung yang difungsikan seperti gereja. Bentuknya sama tapi mereka tidak bikin salib, kayak bangunan belerong gitu,” ujar Amang.
Kehadiran bangunan yang mungkin pas dibilang Gedung pertemuan, menurut Amang, karena mereka hanya dapat izin sebatas untuk tempat pertemuan umum. Makanya, Gedung itu disebut GPU yakni gedung pertemuan umum.
“Mereka tidak sebut itu gereja. Sama juga dengan yang di Sijunjung yakni di Sungai Tambang, mereka tidak sebut itu gereja, tapi tempat itu disebut GPU,” katanya.
Dikatakan Amang lagi, sekali kebaktian di GPU Dharmasraya, ada 200 hingga 300 orang jemaat setiap hari Minggu. Artinya GPU itu mampu menampung jemaat hingga 300 orang. Tapi yang amat membedakan tentu saja, rangkaian ibadah tak bisa seperti di gereja. Lokasi GPU di tengah hamparan kebun sawit dan karet, mengurangi sumarak ibadah Minggu.
Selain menyulap geraja ala GPU, jemaat Kristen di belahan kota lain di Sumatra Barat mengandalkan bangunan-bangunan di Kodim untuk bersua Tuhan di hari Minggu. Atau paling sederhana ibadah di rumah masing-masing.
Ibadat Minggu di Kodim ini berkat inisiatif dari komunitas jemaat di masing-masing kota yang tak memiliki gereja. Adapun fasilitas yang dipakai di Kodim antara lain, aula, perumahan yang di kosong di area Makodim.
Salah satu peribadatan Minggu di Makodim adalah jemaat Kristen di Kota Solok. Di Solok ada 244 kk orang Batak yang notabene memeluk Kristen. “Di Kota Solok akhirnya mereka bermohon lah kepada Kodim, dan akhirnya pihak Kodim memberi 3 perumahan. Dimodifikasilah, bentuknya dari depan sama aja, tapi di dalamnya udah di modif seperti gereja,” ungkap Amang.
Beribadah salah suasana keterbatasan dan tak bisa leluasa, bagaimana pun dilandasi kerinduan untuk ‘bersentuhan’ dengan Tuhan. Sehingga mereka menjalaninya sebagaimana mestinya.
“Karena kerinduan itu memang betul, bukan karena masalah tempat kita pikirkan. Urusan saya yang di atas dimana pun tempatnya sebenarnya biasa aja. Nah akhirnya tidak masalah tempat apapun kondisinya, pokoknya ada tempat,” kata Amang.
Pembimbing Masyarakat Kristen Kanwil Kementerian Agama Provinsi Sumatra Barat Yesri Elfis Hasugian mengatakan, gereja punya makna yang sangat penting bagi umat Kristen, karena secara umum menjadi ruang khusuk beribadah. “Konsep di Kristen, rumah ibadah itu ya gereja,” ujar Yesri.
Gereja kemudian berfungsi membawahi rumah doa atau pos pelayanan. Polanya, jemaat melapor kepada pendeta agar dating melayani mereka yang akan berkumpul sekian orang di suatu rumah. “Sifatnya Pos Pelayanan di rumah. Dalam bentuk tempat, seperti langar bagi umat Islam,” kata Yesri.
Yesri memperkirakan, pemeluk Kristen di Sumatra Barat berjumlah 84 ribu orang. Bagi yang tak punya gereja di kota atau tempat tinggal mereka, kata Yesri mereka beribadah Minggu di Markas Kodim atau Pos Pekabaran Injil (PI).
“Untuk jamaat Kristen di Limapuluh Kota sama Payakumbuh, difasilitasi oleh Kodim. Solok juga di Kodim. Di Agam juga. Kebanyakan seperti itu,” tukas Yesri.
Sementara Kepala Kemenag Pesisir Selatan Abrar mengakui di Pesisir Selatan belum ada satu pun gereja berdiri, meski ada komunitas Nasrani.
“Rasanya belum ada sampai sekarang. Yang untuk mengusul mendirikan gereja juga belum ada,” ujarnya.
Untuk mendirikan gereja, katanya, harus memenuhi persyaratan seperti mematuhi regulasi, kemudian adaptasi dengan kearifan lokal di daerah tersebut. “Kita sebenarnya bukan keseragaman tapi keberagaman. Kita kan beragam, di Indonesia tidak hanya satu agama dan keyakinan tapi beragam. Baik beragam dari suku bangsa, beragam dari latar belakang daerah masing-masing dan juga beragam tentang agama dan keyakinan, dan itu semua di atur dalam undang-undang tentang kebebasan melaksanakan agama dan kepercayaan,” terangnya.
Pihaknya juga mencoba mensosialisasikan kepada tokoh-tokoh masyarakat, para ulama, pimpinan perusahaan bersama pemerintah bagaimana langkah agar kerukunan umat beribadah bisa lancar.
"Yang ada kita dapat laporan itu, dari Lunang dan Silaut dan kita coba meminta kawan di lapangan untuk mencari informasi ke pemerintahan nagari dan kecamatan misalnya, tentang mereka di sana itu. Maksudnya tentang pelaksanaan ibadah mereka. Itu tentu tidak akan melarang mereka ibadah, tapi sebagian besar bagi daerah selatan itu, kan diarahkan ke Muko-muko untuk ibadah mereka. Itu informasi yang bisa kita dapatkan,” jelas Abrar.
Harusnya Minoritas Difasilitasi
Direktur LBH Padang Indira Suryani mengatakan di Sumbar memang untuk akses ibadah untuk minoritas selain muslim memang sulit, karena pelbagai halangan. “Masyarakat yang merasa elite, elite yang membenturkan kepentingan mayoritas dan minoritas,” tukasnya.
Ia mengisahkan, pengalaman LBH Padang selama ini, regulasi pendirian rumah ibadah, soal SKB 2 Menteri itu sulit, terutama izin itu harus sesuai dari FKUB.
Menurut Indira, FKUB tidak menempatkan diri sebagai pihak yang melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan , sering dikooptasi kepentingan mayoritas.
“Situasi ini semakin memperparah situasi sulitnya izin pendirian rumah ibadah, termasuk pemerintah yang lalai dalam persoalan ini, karena tidak berusaha memberi solusi, tidak berusaha menjembatani perlindungan kebebasan beragama khususnya minoritas. Umat Kristen, Katolik, Hindu dan Budha, akhirnya kerap harus jauh pergi untuk beribadah, jauh dari domisilinya, waktu panjang, uang yang lebih banyak dikeluarkan, hanya untuk melaksanakan ekspresi keyakinan dalam beribadah,” beber Indira.
Ia prihatin, beribadah kaum minoritas dalam skala kecil pun kerap mendapat pertentangan dari tingkat akar rumput. Misal tidak disetujui, lalu dianggap mengangggu. “Ini sering muncul dalam hak-hak kebebasan beragama di Sumbar,” kata Indira.
Dalam situasi seperti itu, menurut Indira, pemerintah mestinya mendorong perlindungan kebebasan beragama terutama untuk kehadiran rumah ibadah bagi agama dan kepercayaan apa pun.
“Harus difasilitasi dengan baik, dan mendorong masyarakat menerima perbedaan itu. Kalau ada tindakan yang merongrong keyakinan, harus ada penegakan hukum yang jelas,” kata Indira.
“Bayangkan saja, kita Muslim beribadah, Hari Raya, salat Jumat, beribadah jauh-jauh, satu jam dua jam, itu kan tidak efektif, tidak manusiawi, tidak beradab. Ini melanggar hak asasi ketika pemerintah dan masyarakat mayoritas tidak memfasilitasi ini, menghambat, tidak menghormati, tidak melindungi kebebasan beragama itu sendiri,” pungkas Indira.