Pengusaha Sahabat Alam: Ikhtiar Khalifah Merawat dan Melestarikan Hutan

Pengusaha Sahabat Alam: Ikhtiar Khalifah Merawat dan Melestarikan Hutan

Ilustrasi - hutan & penulis. (Foto: pixabay.com & dok penulis)

Penulis: Fiki Oktama Putra

Angka deforestasi kian mengkhawatirkan, alam berada di ambang kehancuran. Global Forest Watch mencatat, pada tahun 2023 Indonesia telah kehilangan sekitar 292 ribu hektar hutan primer tropis. Selang satu tahun kemudian, Indonesia kembali kehilangan hutan sekitar 250 ribu hektar. Hutan yang digadang-gadangkan sebagai sumber kehidupan, kini berubah menjadi objek eksploitasi untuk meraup kekayaan manusia tuna moral. Kegiatan destruktif berupa pertambangan, kebun kelapa sawit, dan perkebunan yang menjadi ancaman nyata bagi hutan.

Pembabatan hutan demi keuntungan ekonomis dapat memberikan dampak negatif yang sangat serius bagi segala lini kehidupan. Belum lama ini, Sumatra kembali berduka. Ribuan orang luka-luka hingga meninggal dunia, rumah hancur, serta harta kekayaan lenyap seketika. Alam marah, namun manusia tak kunjung sadar, dan masih mengulang dosa yang sama. Bahkan, jika ribuan bahkan jutaan hektare hutan, rumah bagi spesies flora dan fauna hilang tanpa jejak. Gibson menegaskan, bahwa kehilangan hutan dalam skala besar akibat deforestasi akan berdampak terhadap spesies makhluk hidup di hutan, bahkan ketika tempat tinggalnya hilang, akan mengakibatkan kepunahan terhadap spesies flora dan fauna.

Kompleksitas permasalahan ini tidak hadir begitu saja, melainkan dipicu oleh pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan. Seperti, untuk aktivitas pertambangan, pertanian, perkebunan dan pembangunan. Semua kegiatan ini tidak dilarang, hanya saja dengan memperhatikan dampak yang ditimbulkan. Akar permasalahan dari eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran adalah pengusaha tidak menyadari fungsinya sebagai khalifah dalam konteks melestarikan hutan. Fasilitas kehidupan yang diberikan Tuhan harus dirawat, dijaga dan dilestarikan. Karena status kepemilikan sumber daya alam bagi manusia hanya sebatas hak pakai, bukan hak memiliki secara mutlak. Jika manusia menyadari status fungsionalnya, mereka tidak akan merusak hutan demi keuntungan ekonomi semata, namun akan menjaga dan melestarikannya.

Paradigma Al-Qur’an tentang Dekadensi Moral Khalifah

Deforestasi bukan semata-mata masalah teknis atau ekonomis, tapi sudah menjawab ke masalah teologis dan moral. Prilaku ini mencerminkan hilangnya kesadaran spiritual akan peran manusia di hadapan Tuhan dan tanggung jawabnya terhadap hutan. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 30 secara implisit Allah telah menyiratkan, bahwa manusia merupakan khalifah yang bertanggung terhadap keberlangsungan kehidupan di bumi.

Prof. Quraish Shihab menjelaskan, yang dimaksud dengan kata khalifah adalah manifestasi Tuhan di muka bumi. Khalifah diberikan tugas untuk memakmurkan dan memanfaatkan bumi serta kandungannya dengan bijak berdasarkan ketentuan yang sudah ditetapkan Allah SWT. Ketika manusia lupa terhadap tanggung jawabnya, mereka akan melakukan tindakan destruktif berupa deforestasi secara besar-besaran yang mengabaikan prinsip eko-teologis.

Mengutip pendapat Sayyed Hossein Nasr, krisis ekologi yang terjadi pada saat sekarang ini disebabkan oleh krisis spritualitas modern. Dalam bukunya Man and Nature: The Spritual Crisis of Modern Man, Nasr menuturkan bahwa alam telah direduksi menjadi objek konsumtif dan eksploitatif karena manusia tidak lagi memandang alam sebagai suatu yang sakral. Bahkan MUI menyatakan bahwa tindakan penggundulan hutan dalam skala besar (deforestasi) adalah haram.

Melihat kenyataan ini, reformasi moral dan spritual pengusaha harus digalakkan sebagai upaya menyadarkan fungsinya sebagai mandataris Tuhan. “Pengusaha sahabat alam”, yaitu pengusaha yang memandang alam sebagai suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari sumber kehidupan, dan harus dilestarikan. Tidak hanya untuk memenuhi kebuasan hasrat manusia yang tuna moral. Merupakan solusi konseptual untuk mengembalikan kesadaran pengusaha terhadap tanggung jawabnya.

Mewujudkan Pengusaha Sahabat Alam dalam Bingkai Ekoteologi

Untuk menjawab permasalahan ini, diperlukan langkah yang tidak hanya bersifat regulatif, tetapi juga menyentuh kesadaran moral dan spiritual pelaku usaha. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah kampanye hutan bersih dan aman dari deforestasi berbasis nilai-nilai keislaman. Kampanye ini ditujukan kepada pemerintah dan pengusaha melalui edukasi, seminar, penyuluhan, serta pemanfaatan media digital guna menegaskan bahwa hutan bukan sekadar lahan ekonomi, melainkan amanah yang wajib dijaga.

Langkah berikutnya adalah pendidikan pengusaha ramah lingkungan sebagai upaya membentuk “pengusaha sahabat alam”. Pendidikan ini menekankan internalisasi nilai akhlak, integritas, dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi. Melalui pembekalan etika bisnis berbasis maqashid syari’ah, para pengambil kebijakan, mulai dari CEO hingga pengelola tambang didorong memahami bahwa keberhasilan usaha harus sejalan dengan kelestarian lingkungan. Kesadaran ini krusial, mengingat kerusakan ekologis kerap bermula dari krisis moral di tingkat elite ekonomi.

Selain itu, gerakan “satu pengusaha 1.000 pohon” ditawarkan sebagai wujud nyata tanggung jawab sosial, moral, dan spiritual dunia usaha. Gerakan ini tidak hanya berorientasi pada reboisasi, tetapi juga pada pembangunan kesadaran ekoteologis bahwa merawat bumi adalah bagian dari ibadah. Dengan terlibat langsung dalam restorasi hutan, pengusaha diajak menyadari bahwa keuntungan bisnis tidak harus dibayar dengan kehancuran ekosistem, melainkan dapat berjalan beriringan dengan keberlanjutan alam dan kehidupan generasi mendatang.

Pada akhirnya, permasalahan deforestasi bukan semata persoalan teknis dan ekonomis semata, tetapi representasi krisis moral dan spritual manusia . Ketika nilai moral, spiritual, dan tanggung jawab kekhalifahan dihadirkan dalam praktik bisnis, dunia usaha dapat menjadi garda terdepan dalam menyelamatkan hutan. Melalui kampanye, pendidikan, dan gerakan nyata peduli lingkungan, diharapkan lahir pengusaha sahabat alam, yaitu pengusaha yang tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi juga menjaga amanah bumi demi keberlanjutan kehidupan dan masa depan Indonesia.

Tulisan ini pernah masuk dalam MTQ Nasional Provinsi Sumatra Barat 2025, di Kota Bukittinggi, 14 Desember 2025. Pada cabang KTIQ, sebagai perwakilan dari Kab. Agam

Penulis: Fiki Oktama Putra, Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, UIN Imam Bonjol Padang.

Baca Juga

Tim Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) UNP saat ini sedang melaksanakan penelitian terkait model pengelolaan hutan
Tim PKM-RSH UNP Teliti Model Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Sijunjung
Pelestarian Hutan dan Budaya serta Upaya Menuju Kemandirian Ekonomi Masyarakat Nagari Pagadih
Pelestarian Hutan dan Budaya serta Upaya Menuju Kemandirian Ekonomi Masyarakat Nagari Pagadih
SIEJ Bahas Kondisi Hutan Sumbar Lewat Pemutaran Hasil Liputan Deforestasi Yang Terjadi di Kalbar
SIEJ Bahas Kondisi Hutan Sumbar Lewat Pemutaran Hasil Liputan Deforestasi Yang Terjadi di Kalbar
Pemkab Pesisir Selatan dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan Bahas Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan
Pemkab Pesisir Selatan dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan Bahas Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan
KKI Warsi Catat Ada Penambahan 3.000 Ha Tutupan Hutan di Sumbar
KKI Warsi Catat Ada Penambahan 3.000 Ha Tutupan Hutan di Sumbar
Bupati Agam, Andri Warman mengatakan bahwa Agam memiliki perhutanan sosial mencapai 16.247 hektare pada 2023 ini. Hal ini sesuai dengan data KPHL Agam Raya.
Agam Miliki Perhutanan Sosial Mencapai 16.247 Hektare