Telah terjadi pemaksaan kepada dua mahasiswi asrama Unand dengan melakukan secara paksa tindakan pengguntingan celana mahasiswi karena dianggap tidak sesuai dengan aturan tata tertib asrama. Meskipun masalah ini sudah dianggap clear seperti apa yang diklaim pihak kampus, sudah diselesaikan secara kekeluargaan, namun masalah ini masih mengganggu cara berpikir penulis. Oleh karena, itu melalui tulisan ini penulis ingin mengajak pembaca yang budiman untuk melihat dimensi lain di balik fenomena ini.
Kampus seyogyanya menawarkan keterbukaan bagi siapa saja, memberikan kenyamanan bagi mahasiswa dan civitas akademika dalam lingkungan kampus. Bukan sebaliknya cenderung diskriminatif memaksakan “norma” yang tidak dapat disamaratakan. Alangkah arifnya pengelola asrama mengedepankan etika secara substantif dibandingkan mengedepankan hal yang materil dan terjebak secara simbolik yang jelas - jelas tidak ada korelasinya antara cara berpakaian terhadap perilaku dan etika seseorang.
Lalu muncul pertanyaan, apakah ada hubungannya antara berpakaian dengan etika dan perilaku individu? Jelas tidak ada hubungannya dan jangan dikait-kaitkan apalagi sampai pada tahapan pemaksaan. Dalam konteks budaya hal ini disebabkan cultur contextual yang terpelihara dan dianut dalam keyakinan suatu masyarakat dan sudah tentu budaya erat hubungannya dengan agama. Ketentuan norma cara berpakaian masyarakat barat sudah tentu berbeda dengan masyarakat timur, norma berpakaian di kalangan masyarakat Jawa tentu saja berbeda dengan masyarakat Minang.
Pertanyaan selanjutnya, apakah perlu pemaksaan orang lain untuk berpakaian sesuai dengan norma yang berlaku yang dinilai paling benar dan keyakinan budaya atau agama kita? Apakah budaya kita bersifat reaksionis seperti itu? dan mencerminkan layaknya pemaksaan di atas dalih aturan dan tata tertib?
Lingkungan kampus mestinya tidak condong pada ajaran keagamaan tertentu. Penulis tidak sepakat dengan apa yang disampaikan oleh salah satu dosen FISIP di kesempatan live TV lokal yang mengatakan “sah-sah saja aturan ditegakkan atas dasar norma dan nilai mayoritas penganut suatu wilayah”, ini merupakan cara pandang yang keliru dalam konsep berpikir pluralisme yang mengedepankan rekognisi yang tulus diversitas terhadap semua elemen masyarakat khususnya di lingkungan kampus. Apalagi ini perguruan tinggi negeri yang sudah tentu diisi oleh berbagai etnis, suku dan keyakinan yang dianut oleh warga kampusnya.
Dalam hal ini mengejawantahkan konsep pluralisme itu penting, termanifestasikan dalam upaya-upaya meredam gejolak dan fenomena dalam format-format diskriminasi terhadap hak-hak semua warga kampus. Pluralisme adalah konsep kembar untuk doktrin dan sekaligus penamaan (label) akal sehat bagi kehidupan bersama semua perbedaan yang dimiliki oleh setiap orang.
Sebagai doktrin, pluralisme mengedepankan kepelbagaian, yang terpantulkan secara arif dalam pemikiran setiap individu dan institusi-institusi yang ada termasuk institusi pendidikan. Sebab doktrin pluralisme menolak unifikasi paksa segala kekayaan budaya, yang dirajut melalui standar intelektual dan kelembagaan untuk tujuan keliru dan sempit, serta pembangunan visi kampus yang kadang bahkan mereduksi makna dan esensi pluralisme itu sendiri.
Hemat penulis masalah ini menggambarkan kemunduran dalam berpikir, orang berlomba – lomba menuju keterbukaan, penerimaan terhadap perubahan, menjunjung tinggi diversitas. Akan tetapi fenomena ini mempertontonkan kemunduran dalam bertindak dan berfikir secara sempit serta secara tidak langsung mengkerdilkan diri sendiri.
Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama termasuk didalamnya cara berpakaian di luar simbolik budaya dan keagamaannya. Hal ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain termasuk dalam wujud berpakaian, orang tidak dapat memaksakan individu lain dengan norma yang diyakini. Baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan dan pengajaran; dalam konteks ini pemaknaan aturan tata tertib dimaknai keliru sehingga memenggal kebebasan bagi hak-hak warga mahasiswa.
Bak kata Buya Ahmad Syafii Maarif “Tuhan itu menciptakan bumi dan langit ini untuk seluruh umat manusia baik yang beragama atau yang atheis sekalipun”. Oleh karena itu kampus sebagai institusi pendidikan yang menjunjung tinggi keadaban, sudah saatnya menjauhkan praktik-praktik yang memaksakan corak keyakinan atau simbolik tertentu dengan dalih menegakan aturan sanksi dan lain sebagainya.
Peraturan tata tertib di lingkungan asrama Unand telah terbukti gagal dalam menjamin hak atas kemerdekaan saudara-saudara kita di luar apa yang diyakininya. Tentu saja hal ini bukan hanya fenomena yang terjadi di lingkungan kampus Unand saja, bisa juga terjadi hal yang sama di lingkungan kampus lain bahkan di institusi pendidikan SD, SMP SMA sekalipun. Cobalah untuk bersikap baik pada diri sendiri dan orang lain, apa pun yang anda kenakan dan yakini.
Baca juga: Rektor Unand: Sanksi Potong Celana di Asrama Melenceng dan Tak Dapat Dibenarkan
Oleh karena itu, penting bagi institusi pendidikan khususnya Universitas Andalas lebih cermat dan tegas melakukan pengawasan hingga ke tingkat terendah, baik dalam konteks aturan bahkan dalam bentuk wewenang yang diberikan kepada pembina atau pengelola asrama agar nantinya kasus yang sama tidak terulang kembali. Terakhir, masalah ini menjadi entry point bagi kampus untuk melakukan pembenahan dalam konteks pengawasan mahasiswa di lingkungan asrama demi mewujudkan Unand perguruan tinggi yang bermartabat.
Wallahu a'lam…
_
Hairunnas
Alumnus Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif III / Peneliti Spektrum Politika Institute