Pandemi Mengubah Cara Berdemokrasi

Pandemi Mengubah Cara Berdemokrasi

Arifki Chaniago, Pengamat Politik

Virus Covid-19 tak hanya mengubah pikiran kita tentang pentingnya kesehatan dan kebersihan. Dua hal itu didengungkan lebih keras, ketika Covid-19 terus menunjukkan pengaruhnya terhadap banyak manusia di berbagai negara.

Kondisi yang diciptakan wabah corona,  memaksa kita untuk jadi orang yang lebih disiplin dan peduli dengan kebersihan.

Secara interaksi, corona juga memaksa kita untuk berubah, perubahan dari komunikasi langsung ke virtual. Kebiasaan  kolektif yang jauh dari kehidupan kita sebelum Covid-19 datang, misalnya, meningkatnya akitivitas diskusi lewat Zoom dan Google Meet, pilihan aman yang digunakan warga untuk berpartisipasi di ruang publik tanpa harus bertemu secara fisik.

Aktivitas ini dulunya bukan kebiasaan kolektif, tapi saat ini kondisi memaksa setiap orang bisa, pada akhirnya terbiasa.

Perubahan interaksi warga, ke depannya juga berdampak kepada partisipasi virtual dalam politik. New Normal sebagai kondisi pascacorona menciptakan fenomena baru.

Beberapa negara sebelum ini, sudah menerapkan dunia digital untuk wadah partisipasi warga negara. Kedepan negara-negara berkembang pun tak bisa lagi menghindari “partisipasi virtual”.

Pemulihan efek corona yang belum bisa dipastikan jangka waktunya, interaksi langsung kedepannya masih menjadi masalah bagi setiap individu.

Lamanya penemuan vaksin corona dan tak siapnya beberapa negara menghadapi kondisi ini. Demokrasi digital pilihan yang tak bisa dihindari oleh setiap negara dalam menjalankan sistem politiknya.

Demi mewujudkan itu, negara harus menyiapkan beberapa hal sebagai sarana pendukung. Pertama, infrastruktur internet yang berkualitas di desa dan kota. Sebagai pendukung untuk mengoperasikan partisipasi warga, internet harus mudah diakses dengan murah dan cepat.

Kedua, pendidikan terhadap penggunaan teknologi seperti komputer, HP, dan internet. Pelatihan ini diberikan secara khusus kepada warga negara senior yang selama ini berpartisipasi secara langsung, dan kelompok muda yang tak produktif memanfaatkan keberadaan internet.

Ketiga, pengawasan dan pengamanan data pribadi di ruang virtual. Penjualan dan pemalsuan data pribadi yang dilakukan oknum tertentu, masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan demokrasi digital.

Kecurangan dan upaya untuk merusak sistem yang sudah dibangun, kendala kalau demokrasi digital sulit dipercaya kebenarannya. Seperti yang dikatakan oleh Perbawani, Rahayu & Ashari (2018)  kebebasan yang ditawarkan oleh internet memicu munculnya anonimitas dari pengguna yang berimplikasi pada rendahnya tanggung jawab pengguna ketika menyebarluaskan informasi politik.

Ruang Digital

Sebelum wabah corona datang, gagasan tentang demokrasi digital tak bisa dilepaskan dari perkembangan internet, sebagai penggerak partisipasi warga negara secara virtual.

Kehadiran internet yang mulanya hanya dianggap sebagai medium pengantar pesan, menjadi semakin kompleks ketika publik menggunakan internet sebagai ruang alternatif dalam menyampaikan gagasan (Dahlberg, 2001).

Hal yang sama juga dikatakan  Bugeja (2017) dalam buku yang berjudul Interpersonal Divide in the Age of the Machine, teknologi memiliki kemampuan untuk menghadirkan komunitas virtual. Ia mengaburkan batas-batas geografis dan identitas, sehingga mampu menghubungkan siapa saja individu yang ada di dalamnya.

Dalam proses komunikasi warga dalam ruang publik, kita perlu meminjam pendapat Jürgen Habermas,  yang menyebutkan public sphere (ruang publik) adalah ruang yang memberikan kesempatan kepada setiap warga negara untuk dapat menyatakan opini/pendapat, kepentingan, dan kebutuhan secara diskursif.

Ruang publik tidak hanya sebagai institusi atau organisasi legal, melainkan juga bagian dari proses komunikasi antar warga itu sendiri (Hardiman, 2009: 128).

Pendapat Habermas mendukung proses interaksi tatap muka warga negara selama wabah Korona, yang beralih dari komunikasi langsung ke  ruang virtual.  Perubahan  partisipasi warga negara berupa kesempatan yang didapatkan oleh warga negara, tak mengurangi makna dari partisipasi itu sendiri.

Artinya, partisipasi langsung atau virtual tak mengurangi makna dari demokrasi itu sendiri. Untuk menghindari perdebatan dari hubungan demokrasi dan partisipasi itu sendiri sudah ada sarjana yang mendasari persoalan ini, seperti  gagasan  Diana Saco (2002), perubahan dari demokrasi langsung ke virtual tak akan mengubah eksistensi dan hak-hak politik masyarakat.

Jadi, langsung dan virtual hanya wadah mempertemukan demokrasi dalam wujud partisipasi.

Sebagai pertimbangan, partisipasi publik sebelum wabah corona sudah ditunjukan dalam gerakan-gerakan sosial yang dibangun lewat virtual. Gerakan-gerakan tak hanya menunjukan dunia virtual memberikan peran penting terhadap perubahan, tetapi dunia virtual mempercepat interaksi dan pengorganisasian individu-individu masyarakat.

Seperti fenomena Arab Spring di Timur Tengah tahun 2010, Gerakan Malaysia Bersih 3.0 di Malaysia tahun 2012, dan Umbrella Movements di Hongkong tahun 2014. Sedangkan di Indonesia, dukungan publik terhadap Prita Mulyasari dalam gerakan sosial “Koin untuk Prita”, yang melawan salah satu rumah sakit swasta.

Partisipasi publik lewat dunia digital selanjutnya juga berkembang dengan adanya gerakan “Koin untuk Bilqis”, dukungan terhadap KPK, dan lainnya.

Dalam bidang politik, ruang virtual dimanfaatkan oleh pendukung Jokowi-Ahok pada pilkada DKI Jakarta 2012.  Keberhasilan menang sebagai Gubernur  DKI Jakarta, dilanjutkan Jokowi menang sebagai presiden pada Pilpres 2014, pola yang sama juga digunakan Jokowi  pada periode kedua  pilpres 2019.

Strategi ini tak bisa dilepaskan dari pilpres Amerika Serikat,  Barack Obama terpilih sebagai presiden pada pilpres 2008 dan 2012 dengan membangun infrastruktur pemenangannya lewat situs mybarackobama.com.

Kehawatiran sejumlah pihak terkait munculnya influencer dan buzzer yang merusak tatanan politik tak perlu dipermasalahkan. Fenomena yang sama juga terjadi pada demokrasi langsung.

Kita bertemu dengan provokator yang mempengaruhi pemilih dengan merusak nama baik salah satu calon atau yang lebih parahnya membakar kotak suara. Aturan memainkan perannya untuk menghindari ini agar tak terjadi lagi.

Begitu juga dengan dunia virtual, mudahnya penyebaran isu-isu hoax di media sosial beberapa pemilu terakhir, menjadikan pemilik aplikasi melakukan penjaringan terhadap informasi yang “layak publik”.

Informasi yang tak memiliki unsur fitnah, kebencian, permusuhan, dan lainnya. Lebih jauh, publik pun mendapatkan kesempatan untuk melaporkan penguna media sosial yang merugikan pengguna lainnya.

Singkat kata, demokrasi digital, inovasi dari sistem ini sendiri sesuai dengan kebutuhan zaman dan paksaan kondisi sosial.

Kondisi zaman yang sudah serba digital menjadikan partisipasi virtual tak bisa dihindari. Sedangkan, paksaan kondisi sosial adalah efek dari wabah corona ini, yang menjadikan kita untuk tetap produktif  saat berada dirumah.

Kedua alasan ini akan mempercepat pelaksanaan demokrasi yang berbasiskan partisipasi virtual ke depannya.


Arifki Chaniago, Pengamat Politik

Baca Juga

Koalisi Rakyat Sumbar Ultimatum Pemerintah: Selamatkan Demokrasi, Tolak Dinasti Politik Jokowi
Koalisi Rakyat Sumbar Ultimatum Pemerintah: Selamatkan Demokrasi, Tolak Dinasti Politik Jokowi
Kebebasan Berpendapat dan Debat Deliberatif di Ruang Publik
Kebebasan Berpendapat dan Debat Deliberatif di Ruang Publik
Elite Politik vs Masyarakat Air Bangis
Elite Politik vs Masyarakat Air Bangis
Langgam.id - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Agam mengelar sosialisasi Pengawasan Pemilu Partisipatif Perempuan dalam Demokrasi.
Bicara Perempuan dalam Demokrasi, Dosen FH Unand: Pemilu Tak Hanya Penentu Hidup Laki-laki
Langgam.id - Dua pasien Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GgAPA) masih dirawat di RSUP M Djamil Padang, Sumatra Barat (Sumbar).
Wagub Sumbar Curhat ke Moeldoko Soal Peran RSUP M Djamil Saat Pandemi Covid-19
Pendidikan Kesbangpol untuk Tokoh Tanah Datar, Wabup: Hilangkan Kesan Politik Kejam
Pendidikan Kesbangpol untuk Tokoh Tanah Datar, Wabup: Hilangkan Kesan Politik Kejam