Kebebasan Berpendapat dan Debat Deliberatif di Ruang Publik

Kebebasan Berpendapat dan Debat Deliberatif di Ruang Publik

Muhammad Thaufan Arifuddin, MA (Foto: Dok. pribadi)

Baru saja PBHI Sumbar bersama jaringan pembela HAM Sumbar merilis pada akun media sosial instagrammnya (28/8/2023) informasi penting adanya ancaman dan intimidasi kepada mahasiswa yang memperjuangkan nasib masyarakat Air Bangis. Terror, ancaman dan intimidasi ini terutama ditujukan kepada Ahmad Zaki, Presiden Mahasiswa UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukit Tinggi yang telah lantang memimpin mahasiswa untuk menolak kedatangan Gubernur Sumbar, Mahyeldi Ansarullah, di kampus mereka sebelum menyelesaikan konflik agraria di Air Bangis dengan berpihak kepada rakyat.

Tulisan ini ingin memotret dari sudut pandang Habermas tentang beberapa hal yang boleh jadi dilupakan, dan mungkin, bisa memperkaya postur ruang publik kita di Sumatera Barat agar makin sehat dan terarah seperti pernah terjadi dalam lintas sejarah Indonesia, terutama di awal abad 20 di mana perspektif tradisionalis Jawa, Islam, Sosialis-Komunis, nasionalis menjadi hal biasa dan mendinamiskan proyek revolusi dan nasionalisme Indonesia seperti diuraikan dalam karya Tan Malaka (1926) dan Ricklefs (2001).

Kehidupan sosial (lifeworld) kita, kata Habermas, banyak terdistorsi oleh kepentingan duit (kapitalisme) dan kekuasaan (negara). Oleh karena itu, perdebatan dan diskusi harus terus disemai oleh kalangan publik untuk menemukan kemurnian moral, mencapai pengertian dan konsensus yang berpihak kepada rakyat dan mengontrol watak korup dari bisnis dan kekuasaan.

Di samping itu, kita perlu membangun wacana publik secara terus menerus. Tak hanya untuk melawan kolonisasi kedua tendensi ini, tetapi juga membangun posisi tawar dan memediasi kepentingan sipil terhadap Negara. Dan yang paling penting menjadi ajang persilatan bukan hanya para intelektual tetapi juga mahasiswa dan rakyat kecil.

Perdebatan publik tentu harus bernalar dan berkualitas dengan argumen-argumen kuat. Juga harus diciptakan, bukan taken for granted. Perdebatan ini berlangsung dalam ruang publik yang demokratis, setara dan tanpa intimidasi, melibatkan semua kalangan baik atas dan bawah beserta perspektif yang ada, untuk membebaskan dan membangun masyarakat komunikatif. Ruang publik ini tak bisa mengesklusi kalangan mana pun, betapapun tidak popular dan argumennya lemah. Inilah idealitas ruang publik.

Ruang publik, kata Habermas, harus politis, dalam arti publik memperjuangkan kepentingannya di hadapan elit penguasa, semua individu secara bebas harus terlibat bersama untuk kritis dan rasional terhadap kekuasaan politik, atau terhadap ragam isu yang demikian konservatif namun tak lagi relevan. Ruang publik, tak bisa hanya menjadi ruang kekuasaan elit yang bisa menghilangkan dan memerosotkan watak ruang publik yang ideal, kritis dan rasional.

Istilah public sphere pertama kali dikenal di kalangan masyarakat Eropa, diinisiasi oleh kalangan menengah yang membentuk organ-organ kecil semacam reading club, county associations, caffehouses untuk berdiskusi dan berdebat, misalnya tentang biaya perang, reformasi parlemen dsb.

Aktivitas tersebut disertai dengan menerbitkan surat kabar cetak, beradu argumen dan menyatakan sikap politik melalui media cetak, misalnya melalui Times yang berdiri sejak 1785.

Model ini bisa dilihat di Inggris Raya pada awal abad ke-18 (Habermas, 1991). Di masa sekarang, ruang publik bisa dilihat pada media-media massa besar dan media sosial, tempat memperdebatkan kebijakan luar negeri, terorisme, proyek strategis nasional, dan atau perubahan iklim.

Habermas banyak dikritik karena hanya memotret ruang publik para borjuis dan menafikan ruang publik proletar, kehadiran perempuan atau gerakan sosial yang relatif intensif jelang dan pasca revolusi Prancis 1789.

Namun demikian, Habermas selalu menekankan akan watak ruang publik yang walaupun diinisiasi oleh kelas menengah kecil di Eropa namun wataknya tetap universal, egaliter, dan kritis-politis. Ia hanya akan merosot seiring dominasi money and power.

Di Indonesia, pola-pola deskriptif historis lahirnya ruang publik Habermas relatif mirip dengan pergolakan di awal abad 20, di mana lahir para nasionalis-revolusioner, media dan organ politik dengan ragam perspektif. Misalnya jurnalis Tirtoadisurjo dengan media Medan Prijaji, Wahidin Sudirohusodo bersama Budi Utomo yang tradisionalis, Tjokroaminoto dengan SI, Semaun dengan Partai Komunis, Tan Malaka dengan PARI dan Murbanya, Sukarno dengan PNI, Hatta dan Sjahrir dengan PI di negeri Belanda dsb.

Tentu ada yang terlupakan dari sejarah ini, yaitu orang-orang kecil, tapi tidak mengurangi niat dan aksi nasionalis dan revolusioner para pemuka bangsa. Namun sayang, paska kemerdekaan, ruang publik di Indonesia tak pernah benar-benar sehat. Para pemuka bangsa terlibat perdebatan ideologis di bawah rezim Sukarno.

Perdebatan publik yang hampir matang, berakhir dengan saling sikat demi berkuasa. Elit politik terpecah dan gagal terkonsolidasi.

Puncaknya, lahir Orde Baru yang didukung oleh militer angkatan darat di balik tragedi '65 yang mengorbankan kalangan sipil. Lalu, ruang publik dibungkam Suharto dan diseragamkan. Ruang publik yang kritis, yang bisa mengancam eksistensi negara dilumpuhkan.

Sebaliknya, Suharto merangkul dan memberi ruang gerak bagi beberapa kroninya baik politisi, pengusaha maupun media yang relatif patuh. Target Suharto adalah pembangunan. Pada masa tersebut, diskusi bawah tanah akhirnya dilakukan oleh aktivis dan atau melalui media cetak yang berujung bredel.

Transformasi ruang publik baru terjadi paska reformasi. Ada upaya untuk meninggalkan virus intimidasi dan pemberangusan ruang publik seperti terjadi di era Suharto. Diskusi dan media muncul bak cendawan di musim hujan. Media perlahan bebas dan akhirnya makin komersil. Di masa-masa kini, setelah akses internet menjadi mudah seiring dengan ramainya penggunaan media sosial untuk menyebarkan ide, terutama Facebook, Twitter, Youtube, Instagram, Tiktok sejak 2008 hingga kini, ruang publik di Indonesia mengalami transformasi besar untuk kedua kalinya.

Ruang publik kita menjadi lebih maju, egaliter, dan semakin global-intensif. Semua bisa berpendapat dan menulis di media dari berbagai penjuru dunia lalu disebar kembali melalui media sosial yang bisa diakses siapa pun agar mendapat respon yang lebih berkualitas.

Alhasil, seharusnya kebebasan berpendapat dan mengeritik kekuasaan di era ruang publik digital ini semakin matang dan terarah. Upaya terror dan intimidasi kepada aktor-aktor ruang publik adalah kepicikan nalar filsafat, politik, hukum dan sekaligus cerminan kedewasaan berpolitik yang rendah. Mari berpendapat dan mendengar kritik agar demokrasi dan ruang publik kita semakin matang dan rakyat tak lagi dijadikan tumbal politik.

Baca Juga

Patgulipat Koperasi Sawit di Air Bangis
Patgulipat Koperasi Sawit di Air Bangis
Koperasi, PSN, Konflik Agraria Air Bangis: Mereka yang Terhempas
Koperasi, PSN, Konflik Agraria Air Bangis: Mereka yang Terhempas
Masyarakat Air Bangis, Kabupaten Pasaman Barat, yang melakukan demonstrasi di depan kantor Gubernur, melayangkan delapan tuntutan
Gubernur Sumbar Cari Titik Terang Soal Penolakan PSN di Air Bangis
Penjelasan Pengurus Masjid Raya Sumbar Terkait Video Polisi Pakai Sepatu ke Dalam Masjid Kala Memaksa Warga Air Bangis Pulang
Penjelasan Pengurus Masjid Raya Sumbar Terkait Video Polisi Pakai Sepatu ke Dalam Masjid Kala Memaksa Warga Air Bangis Pulang
DPD PA GMNI Sumbar Desak Kapolda Bebaskan 18 Orang yang Ditahan Saat Kericuhan di Masjid Raya Sumbar
DPD PA GMNI Sumbar Desak Kapolda Bebaskan 18 Orang yang Ditahan Saat Kericuhan di Masjid Raya Sumbar
Kapolda Sumbar Irjen Suharyono saat diwawancarai wartawan di Masjid raya Sumbar
Pemulangan Paksa Warga Air Bangis di Masjid Raya Sumbar: Kapolda Tinjau Lokasi, Gubernur Sambut Anies di Bandara