Pandangan dan Prinsip Ekonomi Syariah tentang Upah dan Perburuhan/Tenaga Kerja

Isu mengenai upah dan perburuhan menjadi masalah yang selalu hangat diperbincangkan karena pada masalah ini terdapat berbagai kepentingan

Santi Yulia Kasih, Mahasiswa Program Sarjana Ekonomi Syariah  UIN Mahmud Yunus Batusangkar. [foto: Dok. Pribadi]

Isu mengenai upah dan perburuhan menjadi masalah yang selalu hangat untuk diperbincangkan karena pada masalah ini terdapat berbagai kepentingan yang saling berkaitan.

Seperti halnya pemerintah, pengusaha, buruh, dan investor, sehingga masalah perburuhan ini masih menjadi isu penting baik lokal, nasional, maupun internasional. 

Pada masa orde baru, masalah perburuhan bersumber dari kebijakan umum ketenagakerjaan yang dijalankan pemerintah, yang bertujuan menyediakan kondisi yang diperlukan bagi penanaman modal dan stabilitas produksi, khususnya bagi buruh industri.

Ini berbeda jika dibandingkan dengan era reformasi yang memungkinkan pertumbuhan dan berkembangnya serikat-serikat buruh secara bebas dan independen. Pengupahan dan perburuhan dalam teori ekonomi sangat terkait dengan tenaga kerja, yang menjadi salah satu faktor penting dari empat faktor produksi.

Salah satu permasalahan fundamental dalam sebuah negara adalah masalah buruh mulai dari tindakan sewenang-wenang pengusaha, pemberian upah yang tidak layak, PHK sepihak dan lain sebagainya.

Buruh menjadi objek pembahasan penting dalam disiplin ilmu ekonomi, terutama dari aliran Kapitalisme, Sosialisme maupun Islam. Dalam ilmu ekonomi, buruh dianggap sebagai sumber daya yang dimiliki manusia yang digunakan dalam proses produksi, sehingga buruh adalah input atau faktor pengeluaran atau biaya produksi.

Sementara dalam Islam, faktor buruh tidak harus dianggap sebagai biaya produksi atau faktor pengeluaran, karena hal itu akan merendahkan derajat manusia sebagai wakil Allah di atas bumi.

Seorang buruh yang menjual tenaganya untuk mendapatkan imbalan upah, sejatinya dia menjual sebagaian dari apa yang dimilikinya, dan bukan menjual dirinya. Maka tidak semestinya buruh dianggap sebagai faktor produksi atau biaya pengeluaran.

Dalam Ekonomi Islam, upah disebut juga dengan ujrah yang pembahasan lebih jauh dalam ekonomi sering dikaitkan dengan kontrak perjanjian kerja yang dilakukan. Dalam ekonomi Islam, penentuan upah pekerja sangat memegang teguh prinsip keadilan dan kecukupan.

Prinsip utama keadilan terletak pada kejelasan akad (transaksi) dan komitmen atas dasar kerelaan melakukannya (dari yang ber-akad). Akad dalam transaksi kerja adalah akad yang terjadi antara pekerja dengan pengusaha, sehingga sebelum pekerja dipekerjakan, harus jelas dahulu bagaimana upah yang akan diterima oleh pekerja.

Upah tersebut meliputi besarnya upah dan tata cara pembayaran upah. Oleh karena itu, dalam suatu perjanjian harus mengakomodir pembayar pekerja dengan bagian yang seharusnya mereka terima sesuai dengan kerjanya.

Begitu juga pekerja dilarang memaksa pengusaha untuk membayar melebihi kemampuannya dalam pelaksanaan pemberian upah yang merupakan hak pekerja.

Hukum Islam juga membahas bagaimana cara pemberian dan pemberlakuan upah yang benar tanpa mengecewakan salah satu pihaknya. Umat Islam di seluruh dunia telah melakukan usaha-usaha terbaik untuk mengatasi keterbelakangan dan telah berjuang keras untuk perubahan sosial dan politik yang dapat membawa kearah kehidupan yang lebih baik dan perekonomian yang lebih makmur.

Pengalaman dalam hal ini telah menunjukkan bahwa dunia Islam tidak dapat menemukan jalan keluar untuk mengatasi permasalahan dan keterbelakangan ekonomi, kecuali dengan sistem Ekonomi Islam.

Di dalam teori ekonomi upah diartikan sebagai pembayaran ke atas jasa fisik maupun mental yang disediakan oleh tenaga kerja kepada para pengusaha.

Dengan demikian dalam teori ekonomi tidak dibedakan antara pembayaran kepada pegawai tetap dengan pembayaran kepada pekerja kasar atau tidak tetap. Di dalam teori ekonomi kedua jenis pendapatan pekerja tersebut dinamakan upah.

Allah SWT menegaskan tentang imbalan ini dalam Qur’an Surat At Taubah: 105 yang artinya: “Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu,maka Allah dan Rosul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Maha mengetahui akan ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang kamu kerjakan.”(At Taubah: 105).

Dalam Surat At-Taubah ayat 105 menjelaskan bahwa Allah SWT memerintahkan kita untuk bekerja, dan Allah pasti membalas semua apa yang telah kita kerjakan. Pada Ayat ini yang terpenting ialah penegasan Allah bahwasanya motivasi atau niat bekerja itu haruslah benar dan apabila motivasi bekerja tidak benar, maka Allah akan membalas dengan cara memberi azab.

Sebaliknya, kalau motivasi itu benar, maka Allah akan membalas pekerjaan itu dengan balasan yang lebih baik dari apa yang kita kerjakan.

Hadits Riwayat Ibnu Majah, artinya: “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.”(HR. Ibnu Majah).

Maksud dari ayat dan hadits tersebut adalah bersegeralah menunaikan hak pekerja setelah selesainya pekerjaan, begitu juga bisa dimaksud jika telah ada kesepakatan pemberian gaji setiap bulan. 

Oleh Santi Yulia Kasih NIM 232042019 (Mahasiswa Program Sarjana Ekonomi Syariah UIN Mahmud Yunus Batusangkar)

Tag:

Baca Juga

FSPTSI Pasbar Sebut Banyak Buruh Transportasi Belum Dapat Perlindungan
FSPTSI Pasbar Sebut Banyak Buruh Transportasi Belum Dapat Perlindungan
Guberbnur Sumbar Irwan Prayitno
Alasan Gubernur Sumbar Tidak Naikkan Upah Minimum Provinsi
kampanye terbuka Pilkada Sumbar
Polda Sumbar Minta Buruh Tak Unjuk Rasa demi Cegah Klaster Baru
Gubernur Sumbar Naikkan Upah Minimum Provinsi Jadi Rp2,48 Juta
Gubernur Sumbar Naikkan Upah Minimum Provinsi Jadi Rp2,48 Juta
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Pertumbuhan Ekonomi Sumbar Menunggu Kepemimpinan Strategis Gubernur Baru
Kehidupan Perempuan Indonesia Masih Suram, Bagaimana Sumatera Barat?
Kehidupan Perempuan Indonesia Masih Suram, Bagaimana Sumatera Barat?