Ormas Keagamaan dan Tanggungjawab Netralitas Politik

Belakang heboh soal bantuan beras lima kilogram dari Baznas berfoto Wali Kota Bukittinggi, Erman Safar. Bantuan ini menjadi polemik dan

Dekan Fakultas Hukum Muhammadiyah Sumatra Barat, Wendra Yunaldi. [foto: fh.umsb.ac.id]

Dr. Wendra Yunaldi. SH. MH.

Indonesia termasuk Negara yang memiliki organisasi-organisasi kemasyarakatan yang tumbuh kembang jauh sebelum kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Beberapa bentuk organisasi kemasyarakatan yang bergerak dalam bidang keagamaan, sebutlah seperti, Muhammadiyah, NU, Syarikat Islam, Persis, Persatuan Umat Islam, al-Wasliyah, Perti, Tarbiyah dan bahkan menurut data Kemendagri ada sekitar 344.039 ormas yang ada di Indonesia dewasa ini.

Ormas-ormas keagamaan di samping ormas-ormas yang bersifat sosial non keagamaan, merupakan wadah bagi masyarakat untuk membangun kekuatan sosial dalam rangka turut serta melaksanakan pembangunan manusia Indonesia yang mumpuni dan berkualitas.

Bagi organisasi kemasyarakatan yang berbasis keagamaan, khususnya Islam, visi sosial mereka tidak semata-mata terkait dengan mengumpulkan orang-orang yang satu visi dalam kegiatan keagamaan an sich, melainkan juga memiliki tanggungjawab untuk membentuk manusia Indonesia yang sesuai dengan Islam.

Kehadiran organisasi sosial keagamaan khususnya bagi agama Islam, tidaklah hal yang aneh. Oleh karena, keberagaman itu merupakan rahmah yang harus dijunjung sebagai kekuatan untuk terciptanya saling kesepahaman, saling kemengertian dan saling menguatkan sehingga tercipta kesatuan dalam keberagaman.

Problem yang tidak dapat dihindari adalah dengan semakin banyaknya organisasi-organisasi tersebut, maka potensi terjadinya friksi dan konflik akan semakin tinggi, dan sulit untuk disatukan dalam cara pandang yang sama. Mendorong ormas-ormas tersebut untuk menciptakan kalimatun sawa sebagai visi bersama dalam perbedaan tidak dapat dipungkiri sulit untuk direalisasikan. Polarisasi itu akan semakin menciptakan divergensi dan ruang konflik yang sulit untuk disandingkan menjadi recources guna kepentingan Islam secara menyeluruh dan kepentingan bangsa secara khusus.

Theologi “ umatku akan terpecah ke dalam 73 golongan”, seakan menjadi alasan pembenar terciptanya organisasi-organisasi yang mengatas namakan Islam. Setiap kelompok dan golongan menjustifikasi apa yang mereka lakukan adalah suatu kebenaran. Perbedaan yang melatari lahirnya kelompok baru dianggap sebagai keniscayaan karena terjadinya penerapan Islam yang tidak sesuai dengan garis yang benar.

Dalam zona kenyamanan berdasarkan rasa satu pikiran dan satu manhaj maka kemudian terjadilah pertentangan-pertentangan yang bersifat ideologis dan “harga mati”, sehingga semakin memudahkan terciptanya konflik dan ketidak rukunan. Perbedaan yang awalnya dianggap sebagai rahmat telah beralih menjadi laknat karena orang tidak lagi dianggap bebas untuk mengeksresikan pikirannya. Setiap kelompok mendalilkan, merekalah yang terbenar sehingga patut untuk diikuti, sedangkan yang lain sesat sehingga patut untuk ditinggalkan sehingga terkadang sampai pada petentangan dan pertikaian yang tajam dan berdampak pada pada persatuan dan kesatuan umat.

Dalam seribu wajah kenyataan organisasi sosial keagamaan sebagai kelompok sosial yang kuat (group pressure), sebaliknya, ormas-ormas tersebut juga membawa kelemahan-kelemahan ketika berhadapan dengan kekuasaan dan politik, ada yang soft,  ada juga yang hard mengkoreksi kekuasaan serta juga ada yang selalu beriring dengan kekuasaan dengan berbagai argumentasinya. Netralitas ormas keagamaan dalam pilihan politik sering diuji dalam kontestasi pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Di tengah masyarakat yang plural, netralitas ormas keagamaan sebenarnya diharapkan agar tidak menimbulkan polarisasi yang dapat merusak kerukunan  umat dan antarumat beragama.

Beberapa catatan yang dapat dikemukakan terkait dengan pentingnya ormas keagamaan menjaga netralitas di dasari oleh;

  1. Pengaruh Besar pada Basis Massa: Ormas agama memiliki pengikut atau massa yang loyal, dan dukungan dari ormas ini dapat mempengaruhi preferensi politik pengikutnya. Ketika ormas terang-terangan mendukung kandidat tertentu, banyak yang merasa ini melanggar prinsip kebebasan memilih karena pengaruh tersebut dapat mengarahkan pemilih.
  2. Memperburuk Polarisasi Sosial: Ketika ormas agama masuk ke ranah politik praktis dan condong ke salah satu pihak, ini bisa memperburuk polarisasi. Kontestasi politik yang tajam berpotensi membuat masyarakat terpecah, bahkan di dalam umat beragama yang sama.
  3. Peran Ganda yang Dilematis: Ormas agama memiliki tugas utama sebagai penggerak moral dan pelindung nilai-nilai religius, tetapi ketika berpolitik praktis, sering kali pesan moral ini tersisih oleh kepentingan politik yang lebih pragmatis. Akibatnya, citra ormas dapat ternodai, dan kepercayaan publik bisa berkurang karena ormas terlihat “berpihak”.
  4. Potensi Konflik Kepentingan: Dukungan politik oleh ormas agama sering dihubungkan dengan kepentingan-kepentingan tertentu, baik dari segi politik maupun ekonomi. Hal ini menimbulkan kritik bahwa beberapa ormas memanfaatkan pengaruhnya untuk mendapatkan keuntungan dari hubungan dengan kandidat yang didukung.
  5. Mengurangi Kredibilitas dan Independensi: Ormas agama yang tidak netral dapat kehilangan kredibilitas dan kepercayaan dari masyarakat yang tidak mendukung kandidat yang sama. Netralitas dianggap penting untuk menjaga independensi ormas dan kepercayaan masyarakat secara luas.

Munculnya kemungkinan-kemungkinan yang dapat dikategorikan sebagai ekses negative itu, kemudian banyak pihak yang menyerukan agar ormas agama mengambil posisi netral dalam urusan politik praktis dan fokus pada peran sosial, edukasi, dan advokasi moral yang memang menjadi dasar keberadaan mereka.

Secara politis, tidak adanya konsistensi ormas keagamaan bergerak sesuai dengan kepentingan yang telah melatari berdirinya organisasi mereka, banyak hal kemudian dampak yang muncul terkait dengan peran sosial politik mereka di tengah-tengah pembangunan Negara bangsa, seperti;

  1. Menyulitkan Pemerataan Pembangunan: Ketika ormas agama terang-terangan mendukung salah satu kandidat, terutama kandidat yang memiliki pengaruh kuat secara politik, sering kali perhatian khusus atau bahkan dana pemerintah lebih condong kepada wilayah atau kelompok yang menjadi basis dukungan kandidat tersebut. Hal ini menciptakan ketidakadilan dan kesenjangan dalam pembangunan yang seharusnya merata bagi semua kelompok masyarakat.
  2. Ancaman terhadap Demokrasi Sehat: Netralitas adalah salah satu fondasi demokrasi sehat. Ketika ormas agama menunjukkan keberpihakan, mereka bisa mengarahkan pemilih untuk memilih berdasarkan tekanan sosial atau keagamaan daripada alasan yang lebih objektif. Hal ini merusak iklim demokrasi yang seharusnya bebas dari paksaan dan pengaruh non-politis.
  3. Penghilangan Peran Luhur Agama: Agama dan nilai-nilai spiritual di dalamnya bertujuan untuk membawa kedamaian, kasih sayang, dan persatuan. Ketika ormas agama ikut campur dalam politik, tujuannya sering kali berubah menjadi dukungan atau serangan terhadap kandidat tertentu. Ini menciptakan paradoks di mana agama yang semestinya menjadi sumber persatuan justru bisa menjadi pemicu konflik.
  4. Risiko Instrumentalisasi Agama: Ketika ormas agama masuk ke ranah politik, sering kali muncul kecenderungan untuk mengkomodifikasi atau mempolitisasi nilai-nilai agama demi tujuan politik. Ini menimbulkan persepsi bahwa agama dijadikan "alat" untuk mencapai kekuasaan atau kepentingan tertentu, yang pada akhirnya bisa melemahkan kesakralan ajaran agama itu sendiri.
  5. Potensi Kehilangan Kepercayaan Antarumat: Ketidaknetralan ormas agama dapat memicu kecurigaan di antara umat dari agama atau kelompok kepercayaan lain. Ketika sebuah ormas agama terlibat dalam politik praktis, hal ini dapat dilihat sebagai upaya untuk memajukan kepentingan kelompoknya sendiri, yang pada gilirannya bisa menimbulkan kecurigaan antarumat atau antarormas yang berbeda.
  6. Melemahkan Fungsi Sosial dan Pembangunan Moral: Fokus ormas agama seharusnya pada pembangunan masyarakat yang beretika, berakhlak, dan berorientasi pada kebaikan bersama.

Dengan adanya kritik-kritik ini, harapan bagi ormas agama adalah untuk mengambil posisi sebagai penengah atau pemberi panduan moral tanpa ikut serta dalam politik praktis. Mengacu kepada sejarah politik Indonesia semenjak tahun 1945, ketika politik sebagai panglima, banyak organisasi-organisasi sosial keagamaan dan maupun non keagamaan yang kemudian berafialiasi dengan partai politik. Ormas-ormasi tersebut menjadi perpanjangan tangan partai politik guna mempengaruhi kecenderungan anggota ormas tersebut dalam pilihan politik mereka.

Tajamnya friksi politik di era politik orde lama sampai kemudian di masa orde baru dan bahkan juga di masa reformasi, setidaknya hal ini telah mengakibatkan ormas-ormas keagamaan menjadi “ambigu”. Visi sosial keagamaan mereka menjadi tidak jelas. Tanggungjawab utama mereka untuk menciptakan kader pemimpin beralih menjadi kekuatan untuk mendukung pasangan calon dan kemudian bersitungkik untuk memenangkan pasangan calon tersebut. Akibatnya, visi dan misi utama mereka menjadi terabaikan. Sebagaimana kesimpulan yang dapat dikemukakan terkait dengan ketidaknetralan ormas keagamaan tersebut dalam aksi sosial dan kepentingan sosial mereka adalah;

  1. Pergeseran Fokus dari Misi Sosial: Ormas agama umumnya dibentuk untuk memenuhi misi sosial, seperti memperkuat pendidikan, membantu kaum miskin, atau mempromosikan harmoni antarumat. Namun, saat ormas agama tidak netral dalam politik, misi-misi sosial ini sering kali tergeser. Alokasi sumber daya atau tenaga lebih banyak difokuskan untuk mendukung kandidat tertentu, yang akhirnya mengurangi dampak sosial yang sebenarnya bisa diberikan ormas kepada masyarakat.
  2. Menciptakan Ekosistem Politik yang Intoleran: Ketika ormas agama berperan dalam mendukung satu kandidat dan menolak kandidat lain, kadang muncul narasi yang memperkuat sikap intoleran. Isu agama bisa dieksploitasi untuk menyerang atau mendiskreditkan kandidat lain yang berbeda keyakinan atau pandangan. Hal ini dapat menanamkan sikap yang kurang toleran dalam politik dan masyarakat.
  3. Menguatkan Sentimen Identitas: Ketika ormas agama condong ke satu pihak, ada kecenderungan sentimen identitas semakin menguat, terutama saat kontestasi politik melibatkan isu agama atau suku. Ormas yang tidak netral dapat memperkuat segmentasi berdasarkan identitas tertentu, yang berpotensi memecah belah masyarakat. Penguatan sentimen identitas ini bisa menghambat dialog lintas agama yang seharusnya diutamakan.
  4. Memunculkan Gerakan Perlawanan dari Ormas Lain: Sikap politik yang terbuka dari satu ormas agama sering kali diikuti oleh respons dari ormas-ormas agama lainnya yang merasa terganggu atau merasa perlu mengimbangi pengaruh tersebut. Akibatnya, politik menjadi ajang persaingan antarormas, yang justru memperumit situasi politik dan menciptakan ketegangan di kalangan umat.
  5. Risiko Menjadi Alat Politik Sesaat: Ormas agama yang terang-terangan terlibat dalam politik praktis sering kali dimanfaatkan oleh elite politik untuk memperoleh suara dari basis keagamaan. Dukungan ini bisa saja berbalik arah ketika kepentingan politik berubah, meninggalkan ormas agama dalam posisi yang sulit atau bahkan dikorbankan demi kepentingan yang lebih pragmatis.
  6. Erosi Moralitas dalam Kontestasi: Salah satu kritik utama adalah bahwa ormas agama yang berpolitik berpotensi menurunkan standar moral mereka sendiri dalam kontestasi. Demi memenangkan kontestasi atau mendukung kandidat tertentu, ormas mungkin mengambil langkah-langkah yang bertentangan dengan nilai-nilai etika dan agama, seperti melakukan kampanye hitam atau menyebarkan informasi yang menyesatkan.
  7. Memicu Sikap Apatis di Kalangan Masyarakat: Melihat ormas agama yang tidak netral dapat menyebabkan sebagian masyarakat merasa apatis terhadap agama sebagai institusi moral. Mereka yang kecewa akan merasa bahwa ormas agama tidak lagi mewakili nilai-nilai moral yang independen, melainkan memiliki agenda tersendiri. Sikap apatis ini berpotensi menurunkan partisipasi politik dan kepercayaan masyarakat terhadap ormas itu sendiri.

Dampak negative yang sangat kental rasa akan dirasakan oleh seluruh ormas keagamaan tersebut adalah;

  1. Penyebaran Ideologi Radikal: Ketika ormas agama terlibat dalam politik dan mendukung satu pihak, ada risiko penyebaran ideologi yang lebih ekstrem. Dalam beberapa kasus, ormas dapat berfungsi sebagai platform bagi kelompok-kelompok radikal untuk mengakses kekuasaan atau legitimasi. Hal ini bisa menciptakan lingkungan yang kurang kondusif bagi nilai-nilai moderat dan toleran.
  2. Manipulasi Kualitas Pemilihan Umum: Ketidaknetralan ormas agama dapat mengarah pada praktik-praktik yang merugikan proses pemilihan umum. Dengan mendukung kandidat tertentu secara terbuka, ormas dapat memengaruhi opini publik dan menciptakan ketidakadilan dalam kampanye. Ini bisa menjadikan pemilih merasa terpaksa untuk memilih kandidat yang didukung ormas, bukan berdasarkan pilihan pribadi mereka.
  3. Penciptaan Lobi Agama yang Kuat: Ormas agama yang terlibat dalam politik dapat menciptakan lobi agama yang kuat, yang berupaya untuk memengaruhi kebijakan publik demi kepentingan mereka sendiri. Ini bisa menimbulkan pertanyaan tentang representasi yang adil dalam pengambilan keputusan politik, terutama jika suara kelompok minoritas atau berbeda keyakinan diabaikan.
  4. Krisis Identitas Ormas: Terlibat dalam politik bisa mengaburkan identitas asli ormas agama. Masyarakat mungkin mulai melihat ormas lebih sebagai entitas politik daripada organisasi yang berfokus pada spiritualitas atau misi sosial. Hal ini dapat mengakibatkan krisis identitas, di mana ormas kehilangan arah dan tujuan yang sebenarnya.
  5. Keterasingan dari Generasi Muda: Ketika ormas agama terlibat dalam politik, generasi muda yang cenderung lebih kritis dan terbuka bisa merasa tidak terwakili atau bahkan terasing dari ormas tersebut. Mereka mungkin melihat ormas sebagai alat politik daripada lembaga yang mendukung pertumbuhan moral dan spiritual, sehingga berpotensi mengurangi partisipasi mereka dalam aktivitas ormas.
  6. Berkurangnya Keberagaman Pendapat: Ketidaknetralan ormas agama dapat menyebabkan hilangnya keberagaman pendapat di dalam organisasi tersebut. Ketika semua anggota didorong untuk mengikuti satu pandangan politik, ini bisa menimbulkan ketegangan internal dan mengurangi ruang untuk dialog konstruktif. Perdebatan yang sehat dan variasi pemikiran dianggap penting dalam setiap organisasi.
  7. Mengabaikan Isu Sosial yang Lebih Besar: Fokus ormas pada dukungan politik tertentu bisa mengalihkan perhatian mereka dari isu-isu sosial yang lebih besar, seperti kemiskinan, pendidikan, atau kesehatan. Alih-alih menjadi agen perubahan yang fokus pada perbaikan masyarakat, ormas mungkin terjebak dalam permainan politik, yang pada akhirnya bisa menghambat kemajuan sosial.
  8. Kehilangan Citra Positif: Ketika ormas agama terlibat dalam politik, citra positif mereka sebagai penyebar nilai-nilai moral bisa ternoda. Masyarakat mungkin mulai melihat ormas sebagai pihak yang lebih tertarik pada kekuasaan daripada pelayanan masyarakat, yang bisa merugikan reputasi jangka panjang ormas.
  9. Dampak Terhadap Kerukunan Antaragama: Ketidaknetralan ormas agama berpotensi merusak kerukunan antaragama. Jika satu ormas terlihat lebih mendukung satu pihak, ormas agama lain bisa merasa terancam dan memilih untuk mengambil posisi berlawanan, yang bisa memperburuk ketegangan antarumat beragama.

Di samping itu, ketika ormas keagamaan tidak mampu menempatkan diri mereka pada posisi “tengah”, dan bergeser menjadi bagian dari posisi memihak, maka tidak dapat dielakkan betapa kemudian ormas keagamaan akan mengalami hal-hal sebagai berikut;

  1. Keterlibatan dalam Politik Kotor: Ketika ormas agama terlibat dalam politik, ada kemungkinan mereka terjebak dalam praktik politik kotor, seperti suap, manipulasi, atau pembohongan. Ini dapat merusak integritas ormas dan menciptakan stigma negatif terhadap organisasi agama secara keseluruhan, membuat masyarakat meragukan niat baik mereka.
  2. Menurunnya Komitmen pada Keberagaman: Ormas agama yang tidak netral dapat cenderung mengabaikan prinsip keberagaman. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, pendekatan yang eksklusif dapat menyebabkan marginalisasi kelompok yang berbeda keyakinan atau pandangan. Hal ini bisa menambah ketegangan dan konflik sosial.
  3. Menimbulkan Ketidakpuasan di Kalangan Anggota: Ketidaknetralan ormas agama dapat menyebabkan ketidakpuasan di kalangan anggota yang mungkin memiliki pandangan politik yang berbeda. Ketika ormas secara terbuka mendukung satu kandidat atau partai, anggota yang tidak setuju dengan pilihan tersebut bisa merasa tidak terwakili atau bahkan teralienasi.
  4. Menghambat Dialog Lintas Agama: Dalam konteks yang lebih luas, ormas yang tidak netral dapat menghalangi upaya dialog lintas agama. Ketika ormas terlibat dalam politik dengan cara yang partisan, mereka mungkin lebih fokus pada perdebatan daripada membangun jembatan komunikasi dengan kelompok lain. Ini bisa menimbulkan kurangnya saling pengertian dan kerjasama antarumat beragama.
  5. Risiko Ketergantungan pada Kekuasaan: Ormas yang terlibat dalam politik sering kali berisiko menjadi terlalu bergantung pada kekuasaan politik untuk pendanaan atau dukungan. Ketergantungan ini dapat mengubah agenda ormas, mengalihkan perhatian dari tujuan misi sosial mereka, dan menjadikan mereka lebih rentan terhadap perubahan kebijakan atau kepentingan politik yang tidak sejalan dengan nilai-nilai mereka.
  6. Menurunnya Kualitas Kepemimpinan Moral: Keterlibatan ormas dalam politik dapat mengakibatkan penurunan kualitas kepemimpinan moral. Para pemimpin ormas yang terlibat dalam politik mungkin lebih fokus pada pencapaian politik daripada menjalankan peran sebagai panutan moral. Hal ini bisa mengurangi kemampuan ormas untuk memberikan bimbingan moral kepada anggotanya dan masyarakat luas.
  7. Meningkatnya Ketegangan dalam Komunitas: Ketidaknetralan ormas dapat memperburuk ketegangan dalam komunitas. Dukungan yang jelas terhadap satu kandidat atau partai politik dapat menciptakan konflik di antara anggota komunitas yang memiliki pandangan berbeda, yang pada gilirannya dapat merusak persatuan dan kerukunan.
  8. Dampak Negatif pada Citra Agama: Ketika ormas agama terlibat dalam politik, tindakan atau keputusan yang salah dapat menciptakan dampak negatif terhadap citra agama secara keseluruhan. Masyarakat mungkin mulai menilai agama berdasarkan tindakan politik ormas, yang bisa merugikan prinsip-prinsip yang dianut oleh agama tersebut.
  9. Resistensi terhadap Perubahan Sosial: Ketidaknetralan ormas dalam politik dapat mengakibatkan resistensi terhadap perubahan sosial yang diperlukan. Ormas yang terikat pada satu agenda politik mungkin mengabaikan isu-isu sosial yang mendesak dan menolak untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman, sehingga menghambat kemajuan masyarakat.
  10. Dampak Jangka Panjang pada Hubungan Agama dan Negara: Keterlibatan ormas agama dalam politik dapat mempengaruhi hubungan antara agama dan negara. Ketika ormas terlibat dalam politik dengan cara yang partisan, bisa muncul kesan bahwa agama berusaha mempengaruhi atau bahkan mengontrol kebijakan negara, yang bisa menimbulkan konflik antara nilai-nilai sekuler dan religius.

Setiap organisasi keagamaan bertanggungjawab untuk melaksanakan misi agama dan kemudian misi kebangsaan. Misi agama merupakan landasan utama bagi ormas keagamaan untuk menciptakan “api dakwah” mereka guna mewujudkan tujuan manusia yang insan kamil dalam berbagai lapangan kehidupan. Sekali lagi tetaplah dijalan dakwah (netral), karena jalan dakwah akan terus berjalan sementara kekuasaan silih berganti. Pilihan politik dukung mendukung biarlah dilaksanakan individu-individu anggota ormas , sementara ormas itu sendiri tetap dalam jalan tengah/netral.

Negara yang besar ini membutuhkan organisasi keagamaan khususnya Islam yang benar-benar bertanggungjaawab menciptakan “kader pemimpin” guna dipersiapkan menjalankan kepemimpinan kebangsaan yang ber-akhlaqul karimah. Pemimpin yang bertanggungjawab menciptakan kemaslahatan umat, dunia dan akhirat.

Organisasi keagamaan harus menempatkan diri mereka sebagai kekuatan umat membentengi Negara dan masyarakat dari setiap potensi kerusakan. Mereka tidak boleh menjadi bagian yang dimanfaatkan oleh politik untuk kepentingan menghancurkan masyarakat dan maupun Negara. Di situlah kemudian, ketika ormas keagamaan mampu menjaga netralitas dan independensi mereka, maka mereka akan menjadi kekuatan civil society yang tidak dapat diperlakukan semena-mena oleh kekuasaan.

Ormas-ormas keagamaan mandiri seperti inilah yang kita harapkan untuk terus menerus berpegang teguh dengan prinsip perjuangan mereka. Dengan harapan, ketika terjadi penyelewengan kekuasaan, maka mereka dengan kelompoknya menjadi pelurus jalan kekuasaan untuk tetap konsisten kepada Pancasila dan UUD 1945. Ormas agama haruslah tetap sebagai penjaga garis moral bangsa dan menjaga ormas agama agar tidak terbawa pragmatisme politik lima tahunan.

Tag:

Baca Juga

Debat Pilkada Sumbar: Kebebasan Beragama dalam Sorotan, Tantangan bagi Toleransi di Ranah Minang
Debat Pilkada Sumbar: Kebebasan Beragama dalam Sorotan, Tantangan bagi Toleransi di Ranah Minang
Jabatan Gusti Chandra sebagai Direktur Kredit dan Syariah merangkap tugas Pjs Direktur Utama (Dirut) dan seluruh Direksi Bank Nagari,
Bank Nagari Ingatkan Nasabah NCM Corporate Waspadai Kejahatan Online
Debat Pilgub Sumbar: Apa Benar LGBT di Sumbar Peringkat Ketiga Nasional?
Debat Pilgub Sumbar: Apa Benar LGBT di Sumbar Peringkat Ketiga Nasional?
Epyardi dan Mahyeldi Debat Soal Angka Stunting di Kabupaten Solok, Bagaimana Faktanya?
Epyardi dan Mahyeldi Debat Soal Angka Stunting di Kabupaten Solok, Bagaimana Faktanya?
Debat Pilgub Sumbar: Soal Akses Internet Epyardi Sebut Banyak 'Blind Spot', Mahyeldi Bantah, Bagaimana Faktanya?
Debat Pilgub Sumbar: Soal Akses Internet Epyardi Sebut Banyak 'Blind Spot', Mahyeldi Bantah, Bagaimana Faktanya?
Debat Pilgub Sumbar: Epyardi Asda Tuduh Anak Buah Mahyeldi Terjerat KKN, Ini Faktanya
Debat Pilgub Sumbar: Epyardi Asda Tuduh Anak Buah Mahyeldi Terjerat KKN, Ini Faktanya