Langgam.id - Nurani Perempuan Women’s Crisis Center menilai pemerintah lalai terhadap pemulihan bagi para korban kekerasan seksual. Padahal, pemulihan korban seksual harus dilakukan secara komprehensif.
Plt. Direktur Nurani Perempuan Women’s Crisis Center, Rahmi Merry Yenti mengatakan, apabila pemulihan korban tidak dilakukan secara komperhensif, tindakan kekerasan akan kembali terjadi. Termasuk tidak menutup kemungkinan korban akan menjadi pelaku kekerasan seksual.
"Karena itulah, desakan kami dari tahun 2016 dan sampai hari ini, walaupun sudah masuk prolegnas lagi. Cuma, tetap belum disahkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)," ujar Merry usai diskusi bersama jurnalis dalam memperingati Hari Perempuan Internasional (HPI), Minggu (8/3/2020).
Merry mengakui begitu banyak tantangan yang dihadapi dalam memperjuangkan RUU PKS segera disahkan. Salah satunya, penolakan dari beberapa organisasi keagamaan yang menolak keras RUU PKS tersebut.
"Mereka menilai substansi dari RUU PKS ini bisa melegalkan LGBT dan perzinaan. Padahal, sebetulnya ini adalah dari pengalaman kerja-kerja lembaga layanan se-Indonesia, bahwa kekerasan seksual harus segera ditangani," ungkapnya.
Baca juga : Nurani Perempuan: Harusnya Negara Juga Upayakan Pengesahan RUU PKS
Menurut Merry, subtansi di dalam RUU PKS hanya fokus kepada pemulihan terhadap korban kekerasan seksual. Termasuk, untuk pelaku kekerasan seksual tidak hanya hukuman penjara tetapi juga mendapat rehabilitasi psikologis.
"Kami melihat pelaku melakukan kekerasan seksual tidak hanya karena kemaluan saja. Tetapi persoalannya adalah di otak pikiran mereka (pelaku). Nah, itu yang harus kita selesaikan, proses rehabilitasi penting sekali," jelasnya.
Merry mengungkapkan selama 2020 pihaknya telah menanggani 25 kasus kekerasan terhadap perempuan. Paling banyak kategori kasus adalah kekerasan seksual.
"Kekerasan seksual memang paling tinggi, termasuk pada tahun 2019, ada 105 kasus diterima terkait kekerasan yang dialami perempuan. Proses hukum yang belum tuntas juga masih banyak, ada pelaku yang melarikan diri. 20 persen dari ratusan kasus itu," ucapnya.
Baca juga ; Soal Penolakan Sejumlah Pasal RUU-PKS, Ini Janji DPRD Sumbar
Momentum peringatan Hari Perempuan Internasional tahun ini, Nurani Perempuan Women’s Crisis Center kembali mendorong pemerintah untuk tidak mendiskriminatif perempuan. Apalagi munculnya RUU Omnibus Law ketahanan keluarga.
"RUU ini mengurus rumah tangga di mana perempuan hanya mengurus urusan domestik saja. Tiba-tiba muncul undang-undang yang sangat mendiskriminatif perempuan," katanya. (Irwanda/ZE)