Mr. Sutan Mohammad Rasjid, dari Residen Hingga Gubernur Militer dan Menteri PDRI

Mr. Sutan Mohammad Rasjid, dari Residen Hingga Gubernur Militer dan Menteri PDRI

Mr. Sutan Mohammad Rasjid (Foto: Ist)

Langgam.id - Indonesia belum setahun merdeka, Sumatra Barat sudah dipimpin oleh tiga residen. Pada 20 Juli 1946 atau tepat 73 tahun yang lalu dari hari ini, Sabtu (20/7/2019), jumlahnya genap menjadi empat.

Kali ini, Komite Nasional Indonesia (KNI) Sumbar yang melaksanakan fungsi badan perwakilan memilih dengan suara mutlak Mr. Sutan Mohammad Rasjid.

Sejarawan Universitas Andalas Gusti Asnan dalam Buku ‘Memikir Ulang Regionalisme: Sumatera Barat Tahun 50-an’ menulis, sejak residen pertama mengundurkan diri, nama Rasjid selalu dicalonkan untuk menjadi orang nomor satu di Sumbar.

“Namun dengan berbagai alasan ia selalu menolak kesempatan itu. Akhirnya, setelah dua kali menolak, maka tanggal 20 Juli 1946 Rasjid diangkat menjadi residen Sumbar yang keempat,” tulisnya.

Sumbar kala itu memang berbentuk keresidenan, di bawah provinsi Sumatra. Usai merdeka, tokoh pendidikan Muhammad Sjafei, diangkat menjadi residen pertama pada 1 Oktober 1945. Ia hanya bertahan selama 1,5 bulan.

Residen kedua, Roesad Datuak Perpatih Baringek yang menjabat sejak 15 November 1945 hanya bertahan empat bulan. Residen ketiga, Dr. M. Djamil yang mulai menjabat pada 18 Maret 1946 juga bertahan sekitar empat bulan.

Sejarawan Universitas Negeri Padang (UNP) Mestika Zed mengatakan, selama satu tahun pertama kemerdekaan, di Sumbar tidak ada residen yang benar-benar sanggup atau mau memegang peranan sentral daerah yang berada dalam perjuangan tersebut.

“Selama tahun pertama perjalanan revolusi, jatuh bangun kekuasaan residen terjadi silih berganti,” tulisnya dalam Buku ‘Pemerintahan Darurat Republik Indonesia’ (1997).

Kekisruhan dan konflik di negara yang masih bayi terjadi tiap sebentar. Residen Mohammad Djamil misalnya harus menghadapi kekacauan akibat aksi Tuanku Nan Hitam dan kelompoknya di pinggir Kota Bukittinggi. (Baca: Residen Dr. M. Djamil, Memimpin Sumbar di Tengah Konflik)

Perjuangan yang belum terkonsolidasi dan upaya tentara Belanda untuk kembali menguasai Sumbar menjadi tantangan Rasjid ketika mengemban tugas sebagai residen.

Ia misalnya harus menghadapi upaya pembentukan negara boneka pembentukan negara boneka Belanda, seperti: Daerah Istimewa Sumatra Barat (Disba). (Baca: Perjanjian Linggarjati dan Gagalnya Daerah Istimewa Sumatra Barat).

Sebelum itu, juga peristiwa 3 Maret 1947, saat laskar Hisybullah ingin menculiknya dan merebut kekuasaan keresidenan. (Baca: Peristiwa 3 Maret 1947, Pergolakan Ranah di Awal Merdeka)

Peristiwa-peristiwa tersebut menguji ketegasan sekaligus kebujaksanaannya sebagai pemimpin. Ahmad Datuk Simaradjo dalam buku kumpulan tulisan ‘Sutan Mohamad Rasyid’ (1981) yang dibuat untuk memperingati ulang tahun Rasjid yang ke-70 menulis langkah yang dilakukannya menyelesaikan Peristiwa 3 Maret 1947.

Yakni, membebaskan dan merekrut anggota barisan (pemberontakan) yang sehat dan memenuhi syarat ke dalam TNI serta hanya mengadili pemimpinnya saja. Langkah berikutnya adalah konsolidasi.

Pada 27 Maret hingga 30 Maret 1947 Rasjid mengumpulkan seluruh wali nagari di Bukittinggi. Buku ‘Republik Indonesia Volume 10’ (1953) yang diterbitkan Kementerian Penerangan menulis, menyebut sekitar 450 sampai dengan 500 wali nagari menghadiri undangan Residen Rasjid.

Pramoedya Ananta Toer dkk dalam ‘Kronik Revolusi Indonesia Jilid III (1947)’ yang terbit pada 2001 menulis, dalam kesempatan itu Residen Rasjid dan Panglima Divisi IX Kolonel Ismael Lengah dengan panjang lebar menguraikan masalah pertahanan negara.

Selanjutnya Dewan Pertahanan Daerah, Kepala Jawatan Pertanian, Kesehatan dan lain-lain mengajak para wali nagari untuk menginsyafi sedalam-dalamnya, bahwa kemenangan revolusi, baru akan tercapai apabila segenap lapisan rakyat ikut berjuang.

“Semua anak muda yang sudah cukup umur harus bersedia maju ke medan pertempuran. Dan, bakti rakyat dalam bentuk penyerahan 10 persen penghasilan padi (iuran perang) harus dilakukan sebaik-baiknya. Dibicarakan juga kemungkinan untuk mendirikan Majelis Kredit sebagai badan pembantu kaum tani,” tulis Pramoedya.

Konsolidasi tiga hari di Bukittinggi ini meningkatkan soliditas Sumbar. Kepemimpinan Rasjid berhasil menyelesaikan masalah internal dan kemudian berkonsentrasi dalam perjuangan melawan tentara Belanda.

Langkah konsolidasi sejak 1947 hingga 1948 menjadi modal besar bagi Rasjid dan masyarakat Sumatra Barat ketika terjadi Agresi Militer II Belanda pada 19 Desember 1948. Saat Belanda yang semula berada di daerah sekitar Padang menyerang jauh ke pedalaman hingga menguasai seluruh kota di Sumbar.

Ketika perjuangan dilanjutkan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di bawah Mr. Sjafroeddin Prawiranegara, Mr. Mohammad Rasjid diangkat menjadi gubernur militer Sumbar merangkap menteri pertahanan.

Langkah konsolidasi yang dilakukan Rasjid saat jadi residen, jadi modal penting menggerakkan dukungan rakyat pada PDRI dan menopang perjuangan. Rasjid juga bisa berkomunikasi lebih mudah dengan semua level pemerintahan hingga ke tingkat nagari.

“Instruksi-instruksi Gubernur Rasjid ke seluruh daerah seringkali diselingi dengan kata-kata yang khas, yang membuat pembacanya seakan-akan langsung mengikuti pidato pemimpin mereka,” tulis Sejarawan Universitas Negeri Padang Mestika Zed, dalam Buku ‘Somewhere in The Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia’ (1997).

Mestika memberi contoh instuksi itu, “Berikanlah bantuan sebanyak-banyaknya dalam (bentuk) apa saja untuk memperkuat kembali kedudukan negara, dan segala anjuran dari pihak Belanda kalau sampai kepada rakyat mesti dapat dibasmi bersama-sama dengan pamong praja dan polisi.”

Kebijakan Rasjid lainnya yang besar mempengaruhi perjuangan adalah mengorganisir perlawanan rakyat. Antara lain dengan menertibkan milisi serta membentuk Pasukan Mobil Teras (PMT).

Buku ‘Propinsi Sumatera Tengah’ (1959) terbitan Kementerian Penerangan menyebut, instruksi pembentukan PMT dikeluarkan Gubernur Rasjid pada 5 April 1949.

Dengan adanya instruksi ini, menurut Ahmad Husein dkk dalam Buku ‘Sejarah perjuangan kemerdekaan R.I. di Minangkabau/Riau, 1945-1950″ (1992), Gubernur Militer melarang adanya barisan bersenjata baru di Sumbar. Hanya ada pengecualian terhadap Tentara Pelajar seperti yang disebut dalam Instruksi Gubernur Militer No. 30/GM/Instr/49.

Instruksi Rasjid keluar dalam suasana koordinasi kekuatan militer di Sumbar yang terpecah pasca Agresi Militer II. Sejarawan Audrey Kahin dalam ‘Dari Pemberontakan ke Integrasi, Sumatra Barat dan Politik Indonesia (1926-1998)’ (2005), memaparkan situasinya.

“Menghadapi serangan gencar Belanda, struktur militer yang rapuh di Sumatra Barat terpecah. Banyak anggota pasukan memilih bersatu dengan komandannya yang lama sewaktu menjadi laskar,” tulisnya.

Anggota TNI di Sumbar memang banyak yang berasal dari laskar. Mulai 1947, mereka direkrut bergabung ke TNI setelah sempat terjadi konflik bersenjata dengan tentara.

Sementara, kekuasaan Kolonel Dahlan Ibrahim yang menggantikan Ismail Lengah menjadi Komandan Divisi Banteng tak kuat. Menurut Audrey, selain disibukkan oleh perbekalan dan menata hubungan dengan partai politik dan masyarakat, kekuasaan Dahlan terhalang karena banyaknya perwira senior dengan pangkat dan pengalaman hampir sama dengannya.

“Kebingungan mengenai kepemimpinan angkatan bersenjata telah memperkuat kekuasaan sipil di Sumatra Barat,” tulis Audrey.

Kepemimpinan Rasjid tersebut, yang membuat seluruh nagari di Sumbar solid menjaga perjuangan PDRI selama delapan bulan. Muaranya kemudian, perang kemerdekaan selesai menjelang pengakuan kedaulatan oleh Belanda.

Mr. Sutan Mohammad Rasjid lahir di Pariaman pada 19 Nopember 1911. Ia menamatkan pendidikan HIS Pariaman, MULO Padang, AMS-B Jakarta dan Sekolah Hukum Tinggi (RHS) Jakarta. Di zaman Jepang, ia sempat menjadi jaksa tinggi di Padang merangkap Kepala Kantor Kebaktian Rakyat Sumatra Barat (1944).

Setelah masa PDRI, Rasjid menjadi pegawai tinggi dan dan Sekjen Deparlu (1950-1954) dan kemudian menjadi Duta Besar berkuasa Penuh RI untuk Italia di Roma (1954-1957). (HM)

Baca Juga

29 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
29 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
27 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
27 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
26 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
26 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
25 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
25 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
23 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
23 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
21 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
21 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat