Perjanjian Linggarjati dan Gagalnya Daerah Istimewa Sumatra Barat

Perjanjian Linggarjati dan Gagalnya Daerah Istimewa Sumatra Barat

Sutan Sjahrir berpidato saat penandatanganan Perjanjian Linggarjati,(Foto: Repro Buku Terobosan Sukarno dalam Perjanjian Linggarjati)

Langgam.id - Di Istana Rijswijk yang kelak dikenal sebagai Istana Negara, Perdana Menteri Sutan Sjahrir berdiri menghadap bagian tengah meja yang membentang panjang.

Ia saling berhadapan dengan puluhan delegasi Indonesia dan Belanda yang duduk dalam dua deret kursi menghadap ke arah meja. Sjahrir duduk sebaris dengan Schermerhorn dan Van Mook dari delegasi Belanda.

Hari itu, Sjahrir memimpin delegasi Republik menandatangani perjanjian bilateral pertama Indonesia: Linggarjati. Perjanjian yang telah dibahas dan dirundingkan kedua delegasi sejak November 1946 di Linggarjati, Cirebon.

Lebih 1300 kilometer dari sana, pada hari yang sama, perwakilan Belanda di Sumatra Barat memancang rencana berbeda. Didukung beberapa tokoh dan mantan pegawai kolonial, sebuah negara boneka siap didekalarasikan di Padang: Daerah Istimewa Sumatra Barat (Disba).

Wartawan Rosihan Anwar yang meliput penandatanganan Perjanjian Linggarjati dalam Buku 'Sutan Sjahrir, True Democrat, Fighter for Humanity, 1909-1966' menyebut, tanggal perjanjian tersebut: 25 Maret 1947.

Pada tanggal yang sama, menurut Mr. Sutan Mohammad Rasjid dalam Buku 'Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Minangkabau', Belanda dan tokoh-tokoh yang mendukungnya berencana mendeklarasikan Disba di Padang. Dua peristiwa tersebut terjadi tepat 72 tahun yang lalu dari hari ini, Senin (25/3/2019).

Perjanjian Linggarjati yang dimediasi Inggris, diadakan untuk menengahi kontak senjata antara pejuang Republik dengan tentara Belanda. Konflik yang terus menerus terjadi sejak Belanda kembali usai Perang Dunia II dengan niat menguasai kembali bekas koloninya.

Rushdy Hoesein dalam Buku 'Terobosan Sukarno dalam Perjanjian Linggarjati' (2010) menulis, perjanjian tersebut berlangsung dalam 11 kali pertemuan. "Mulai 22 Oktober 1946 sampai dengan 16 November 1946," tulisnya.

Perjanjian yang diawali gencatan senjata pada 14 Oktober 1946 itu, diawali di Jakarta, kemudian pindah ke Linggarjati dan kembali lagi ke Jakarta. Kesepakatan yang diparaf pada 15 November 1946 itu terdiri atas 17 pasal.

Pada intinya, menurut Sejarawan Audrey Kahin dalam Buku 'Dari pemberontakan ke integrasi Sumatra Barat dan politik Indonesia, 1926-1998', dalam perjanjian itu, pemerintah Belanda mengakui kekuasaan de facto Republik hanya atas Jawa dan Sumatra.

Kemudian, "Kedua pihak sepakat untuk mengupayakan pembentukan negara federal yang berdaulat dan demokratis. Negara Indonesia Serikat, menjadi bagian dari Uni Belanda-Indonesia. Di Sumatra Barat, perjanjian Linggarjati ini mengharuskan tentara Republik mundur dari Kota Padang dan sekitarnya," tulisnya.

Batas garis demarkasi tersebut, menurut Mestika Zed dkk dalam Buku 'Indarung: Tonggak Sejarah Industri Semen Indonesia', sebelah utara sampai di Tabing, sebelah selatan di Bungus, sedang di sebelah timur berada di Simpang Lubuk Bagalung.

Kelebihan perjanjian ini, membuat posisi Indonesia di dunia internasional menguat. Pengakuan kedaulatan dari Amerika Serikat dan Inggris terjadi setelah Linggarjati. Namun, karena wilayah menyempit dan mengakomodasi kepentingan Belanda, juga membuat marah banyak kalangan.

Menurut Audrey Kahin, kesepakatan itu membuat orang Sumatra Barat berang. Belum lagi ditandatangani sudah terjadi reaksi bersenjata. Percobaan pengambilalihan pemerintahan Sumbar pada 3 Maret 1947, salah satunya, karena kekecewaan pada Perjanjian Linggarjati. (Baca: Peristiwa 3 Maret 1947, Pergolakan Ranah di Awal Merdeka).

Peristiwa lain yang terjadi persis saat perjanjian itu ditandatangani juga mewarnai suasana saat itu. Jauh sebelum Agresi Militer I yang diawali pernyataan sepihak Van Mook, Belanda sudah menggembosi Linggarjati bahkan di hari perjanjian itu ditandatangani.

Ahmad Husein dkk dalam Buku 'Sejarah perjuangan kemerdekaan R.I. di Minangkabau/Riau, 1945-1950' menulis, di Padang mulai akhir 1946 dan hingga awal 1947, Belanda telah berusaha pula mendirikan apa yang dinamakan mereka 'Daerah Istimewa Sumatera Barat' (Disba). Padahal, di perjanjian Linggarjati, Belanda sudah sepakat, Sumbar masuk wilayah Republik Indonesia.

Negara boneka serupa, juga didirikan Belanda di banyak wilayah lain di Indonesia. "Di mana-mana Belanda berusaha keras mendirikan Negara-negara Boneka atau Daerah-daerah Istimewa," tulisnya.

Untuk mempersiapkan Disba, Belanda membentuk badan persiapan pendirian daerah istimewa yang dinamakan 'Persatuan Umum'. Pensiunan Komisaris PTT Abdul Rahman dan Loebis, seorang mantan pemegang buku Koek & Co diangkat jadi ketua dan sekretaris. Sementara Jaksa Tinggi Husein disiapkan untuk jadi Ketua Disba.

Persatuan Umum gencar menulis kebaikan Belanda dan sebaliknya menyerang pemerintah Republik Indonesia. Husein juga bolak-balik ke Medan untuk mengurus deklarasi.

Pramoedya Ananta Toer dalam 'Kronik Revolusi Indonesia menulis, di hari deklarasi bertempat di Belakang Tangsi, panitia sibuk menyiapkan acara deklarasi lengkap dengan alat musik.

Panitia siap, undangan yang tak datang. Yang hadir hanya 17 orang termasuk para penggagas yang bekerja sama dengan Belanda. Ketika Residen Van Straten datang, dia langsung kembali karena kecewa.

Sepinya masyarakat yang datang karena acara ini karena kerja sama pemuda dan pejuang, antara lain, Barisan Maut Istimewa (Mais). Para pemuda, mengumumkan kepada masyarakat untuk tidak keluar rumah. Mereka juga mencegat di jalan-jalan masuk kota, seperti di Tabing, Lubuk Begalung, Teluk Bayur, termasuk di Seberang Padang, Simpang Haru dan Purus.

Percobaan negara boneka Belanda di Sumbar yang dibuat bahkan saat Perjanjian Linggarjati ditandatangani, pun gagal. (HM)

Baca Juga

Menhir Maek Tiang Peradaban yang Selaras dengan Semesta
Menhir Maek Tiang Peradaban yang Selaras dengan Semesta
Tanjung Barulak Menolak Pajak
Tanjung Barulak Menolak Pajak
HIMA Sejarah Unand Bekali Angkatan Muda
HIMA Sejarah Unand Bekali Angkatan Muda
Situs Diduga Peradaban Era Neolitik-Megalitik Ditemukan di Lubuk Alung
Situs Diduga Peradaban Era Neolitik-Megalitik Ditemukan di Lubuk Alung
Penutur Kuliner
Penutur Kuliner
Deddy Arsya Dosen Sejarah UIN Bukittinggi
Hasrat Bersekolah dan Ruang Kelas