Boleh jadi pilkada pada bulan November mendatang menguji bagaimana eksistensi kekuatan partai politik dalam masyarakat. Paling tidak kita dapat mengetahui partai politik mana yang memiliki mesin politik yang tangguh di akar rumput.
Istilah mesin partai politik merujuk pada kekuatan atau energi yang dimiliki partai politik menjalankan semua sumber daya yang ada untuk mencapai kemenangan dalam sebuah kontestasi atau pemilihan.
Mesin partai politik juga meliputi strategi dan harmonisasi gerak komponen yang ada untuk satu tujuan kemenangan yang ditargetkan.
Walaupun pada umumnya partai politik saling mengklaim bahwa mereka memiliki mesin politik yang efektif dalam memenangkan pilkada, namun faktanya tidaklah begitu.
Relawan yang menjadi mesin partai politik hanya akan bekerja kalau "bahan bakarnya" memang disediakan oleh partai. Kalau tidak, tentu mesin partai tidak akan jalan.
Melihat kontestasi dalam Pilkada saat ini, mesin partai politik sangatlah bergantung pada anggota partai politik dan relawan (volunteer) yang mereka miliki di semua tingkatan untuk digerakan agar dapat memenangkan calon kepala daerah yang mereka dukung.
Namun kecenderungan yang terlibat ternyata tidak semua partai politik memiliki relawan yang dapat melaksanakan tugasnya di lapangan. Ini memang paradoks.
Walaupun sebuah partai politik dapat memenangkan Pemilu dan memiliki suara dukungan yang banyak dalam masyarakat. Namun, tidak otomotis dukungan tersebut menggambarkan kuatnya mesin politik partai.
Realita ini bisa dilihat pada kasus Pilkada yang ada. Dapat diperbandingkan bahwa relawan partai politik yang ditugaskan untuk memenangkan calon kepala daerah, justru tidak terlihat sebagai mesin partai ketimbang relawan yang dibentuk oleh calon kepala daerah.
Ini membuktikan bahwa sesungguhnya mesin partai yang dibentuk untuk memenangkan Pilkada tidak seefektif relawan yang dibentuk oleh calon kepala daerah. Bahkan mesin partai politik cenderung dapat bekerja kalau "bahan bakar" yang disediakan juga berasal dari calon kepala daerah yang didukung oleh partai mereka.
Fenomena lain dalam kasus relawan ini adalah ikatan politik relawan dengan partainya sangatlah longgar berbanding relawan yang dibentuk oleh calon kepala daerah.
Ini terjadi karena pelembagaan partai politik, khususnya ikatan ideologis partai politik dengan konstituennya tidaklah kuat. Akibatnya relawan partai politik sebagai mesin partai politik tidak bekerja maksimal karena tidak ada motivasinya kepada partai politik.
Di tambah buruknya komunikasi partai politik dengan konstituennya sehingga membawa dampak pada tidak pedulinya mereka kepada partai politik yang didukung.
Relawan Calon Kepala Daerah
Bagi calon kepala daerah keberadaan relawan ini sangatlah penting, khususnya untuk pemenangan. Jarang sekali kepala daerah dapat memenangkan pemilihan jika tidak didukung oleh relawan.
Karena relawan inilah yang bekerja melakukan kampanye dari rumah ke rumah, dari kelompok ke kelompok atau ke komunitas menyampaikan ide, gagasan dan pemikiran calon kepala daerah yang didukung.
Relawan menjadi mesin politik yang efektif mempengaruhi persepsi pemilih untuk memilih sesuai dengan keinginan calon kepala daerah.
Memang konsep relawan yang ada di Indonesia agak sedikit berbeda dengan relawan yang ada di negara-negara yang demokrasinya sudah maju. Mereka bekerja sebagai relawan dengan sukarela karena keinginan untuk membantu memenangkan calon yang mereka dukung.
Mereka sadar dengan konsekuensi dukungan yang mereka berikan kepada calon yang harus diikuti dengan membantu calon dengan serius. Tidak hanya memberikan tenaga sebagai petugas kampanye, tapi juga secara sukarela mau menyumbangkan sebagian uang mereka untuk membiayai kampanye calon.
Singkatnya mereka mau bekerja tidak dengan embel-embel, upah apalagi honorarium. Ini dapat dimaklumi karena relawan ini memiliki kondisi ekonomi yang sudah baik dan tingkat pendidikan yang juga baik. Akibatnya efikasi politik internal mereka berkembang dengan baik, terutama untuk mempengaruhi proses politik yang mereka ikuti.
Berbeda dengan negara-negara yang baru mengalami transisi demokrasi yang relawan politiknya bekerja untuk calon kepala daerah tertentu karena motivasi upah atau honorarium yang dijanjikan. Dukungan yang diberikan kepada calon bukan karena ide, gagasan dan pemikiran calon kepala daerah, tapi karena adanya kompensasi honorarium yang disediakan untuk mereka karena bekerja sebagai relawan.
Kondisi ini memang dapat dimaklumi karena kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia yang masih jauh dari prasyarat demokrasi yang diselenggarakan dengan baik.
Oleh karena tidak adanya ikatan ideologis ini, makanya biaya yang ditanggung oleh seorang calon kepala daerah menjadi sangat besar. Kalau tidak ada upah yang dibayarkan kepada relawan oleh seorang calon, mereka tidak akan mau mengkampanyekan calon yang mereka dukung.
Menariknya, relawan ini tidah hanya mengkampanyekan satu pasangan calon kepala daerah saja, tapi juga pasangan lain yang bagi mereka tidak memiliki dampak apa-apa. Siapa pun yang mereka kampanyekan adalah bagian pekerjaan yang mereka lakukan karena mereka dibayar untuk itu.
Inilah realita politik masyarakat di akar rumput yang tidak melihat ide, gagasan dan pemikiran sebagai dasar memilih pemimpin yang berkualitas.
Tentu ini menjadi masalah besar kita dalam melaksanakan pemilihan langsung dengan kondisi masyarakat yang terbatas dari aspek sosial dan ekonomi. Mereka menjadi oportunis dalam mengikuti kegiatan politik.
Jika kondisi pendidikan politik masyarakat tidak diperbaiki oleh partai politik, sampai kapan pun pemilihan langsung ini akan tetap berbiaya besar. Padahal andai saja partai politik benar-benar memiliki mesin politik yang bisa bekerja untuk partai dan calon yang mereka dukung, tentu biaya Pilkada in tidak akan ditanggung sendiri oleh calon kepala daerah.
Partai politik yang mengusung calon kepala daerah pun harus bertanggung jawab mengkampanyekan calonnya. Bukan sebaliknya meminta pembiayaan kepada calon kepala daerah untuk menggerakan mesin partai politik sehingga tanggung jawab calon kepala daerah semakin berat apalagi fokus menyampaikan ide, gagasan dan pemikirannya. (*)
*Asrinaldi A, Pengajar Ilmu Politik Universitas Andalas