Langgam.id - Balita itu tidak mau diam dari pangkuan Sang Bunda. Berjuang melepaskan diri, ia ingin bergerak ke mana-mana, seperti burung di alam bebas.
Sepintas si bocah terlihat cekatan. Begitu aktif. Posturnya yang berisi, dengan berat badan 8 kg untuk balita seusia 2,4 tahun, menunjukkan ia tumbuh baik-baik saja.
Melihat postur dan gesturnya, tanpa dinyana, balita tersebut ternyata menderita stunting. Adalah seorang bidan yang menyebutkan kalau balita tersebut stunting (tinggi badan anak berada di bawah standar)
“Stunting itu buk bidan yang melahirkannya bilang. (Padahal) makannya lancar. Gizinya juga, karena rutin minum susu dan makan nasi,” kata Sang Bunda (nama anak penderita stunting beserta orang tuanya sengaja tidak ditulis, sebagai bentuk perlindungan anak, dengan mengacu pada Peraturan Dewan Pers Tahun 2019 Tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak).
Mereka tinggal di Nagari Koto Hilalang, Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok, Sumatra Barat.
Keluarga penderita stunting ini tinggal di rumah sangat sederhana dengan kondisi sanitasi yang sangat buruk. Urusan berak dan peturasan, keluarga ini membuangnya pada jamban darurat yang berlokasi sekira 2 meter di belakang rumah.
Jamban tersebut tanpa penutup. Bermodalkan dua potongan papan untuk pijakan bercangkung. Di bawah potongan papan, menganga lubang kedalaman 4 meter, sebagai penampungan tinja.
Bila hendak berak, maka keluarga itu harus mengangkut air dengan ember. Air yang menetes di keran di rumahnya, bersumber dari jaringan perpipaan Pamsimas (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat).
Pamsimas yang mengantarkan air leding ke rumah-rumah warga di Koto Hilalang, tak selalu lancar. Seringkali mati.
Ini sebuah persoalan yang selalu membelenggu keluarga tersebut untuk memenuhi kebutuhan air bersih, termasuk daya dukung sanitasi.
Saat bertandang ke rumahnya, pertengahan November 2019, air tak mengalir. Di tanah pekarangan rumahnya yang lembap dengan warna kehitaman, longgokan tinja tak bisa dikaburkan dari pandangan mata. Sepertinya tinja dari Sang Bocah.
“Rumah tadinya tak ada WC (Water Closet) atau toilet. Kemudian kami buat WC darurat. Sudah 6 tahun pakai WC itu. Sementara air dari Pansimas. Tapi 4 bulan ini, air sudah tak hidup,” kata Sang Bunda.
Kondisi kehidupan keluarga tersebut tanpa akses jamban yang layak, menjadikannya salah satu keluarga penerima bantuan akses jamban. Tak begitu jauh dari WC darurat, berdiri bangunan kecil untuk akses jamban.
Bangunan tersebut menempel ke rumahnya. Baru berumur seminggu, dan ketiadaan air, belum dipakai.
Pendapat bidan hingga menjadi dalih balitanya dimasukkan dalam data anak penderita stunting di Koto Hilalang, sejujurnya tidak terlalu dimengerti oleh orang tuanya. Dia tidak paham apa alasan dan indikatornya.
Sebab dia kukuh bahwasannya secara asupan gizi untuk anaknya terbilang cukup. Namun dia tidak menampik, anaknya sering gatal-gatal, namun tidak terlalu sering diare.
Sisi lain, ia juga mengakui kalau sanitasi rumahnya buruk.
Tak begitu jauh dari rumah itu, masih di Koto Hilalang, penulis bersua dengan keluarga penderita stunting lainnya. Sang Bocah masih berusia 4,5 tahun.
Secara kasat mata, tak ada yang menonjol penanda dia penderita stunting. Dia bertumbuh dengan baik. Menurut orang tuanya, anaknya lahir normal, dengan panjang dan berat badan normal.
Saat ini, Sang Bocah berketinggian 99 cm, berat 14 kg. Pertumbuhan giginya juga merata.
“Makannya juga cukup. Waktu kecil ASI 2 tahun,” ujarnya.
Maka itu, orang tuanya jadi bingung kala tahu anaknya sebagai salah satu penderita stunting di Koto Hilalang.
Satu hal yang pasti, rumah yang dihuni keluarga kecil ini juga tidak memiliki akses jamban. Sehari-hari, bila tersesak buang air besar, maka keluarga tersebut berjalan kaki sejauh 100 meter menuju rumah orang tua dari Sang Bunda. Karena di sana ada WC yang bisa ditumpangi.
Menurut Kader Pembangunan Masyarakat (KPM) Nagari Koto Hilalang Siti Sanidah Putri, 42, di Nagari Koto Hilalang terdapat 75 anak penderita stunting.
Tingginya Angka Stunting di Kabupaten Solok
Angka kasus stunting di Kabupaten Solok termasuk tinggi di Sumatra Barat. Menurut data Riset Kesehatan tahun 2018, penderita stunting di Kabupaten Solok berjumlah 1.638 anak. Kabupaten Solok hanya kalah dari Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Pasaman Barat.
Kondisi ini, mendorong Pemerintah Kabupaten Solok melakukan upaya penanganan yang serius dengan garda terdepan ada di Puskesmas.
Tahun 2019, ada 10 nagari yang menjadi wilayah sasaran (penanganan) stunting Kabupaten Solok.
Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Solok Maryeti Marwazi, Nagari Koto Hilalang di Kecamatan Kubung, termasuk satu dari 10 nagari tersebut.
Sembilan nagari lainnya adalah Batu Bajanjang, Koto Laweh, Koto Gadang Koto Anau di Kecamatan Lembang Jaya; Aia Dingin di Kecamatan Lembah Gumanti; Sibarambang di Kecamatan X Koto Diatas; Sariak Alahan Tigo di Kecamatan Hiliran Gumanti; Taruang-Taruang di Kecamatan X Koto Sungai Lasi; Tanjung Bingkung di Kecamatan Kubung; dan Paninggahan di Kecamatan Junjung Sirih.
Sejauh ini Pemerintah Kabupaten Solok belum bisa memastikan penyebab tingginya angka stunting.
"Untuk saat ini, kita akan melakukan penelitian terkait penyebabnya. Soalnya stunting tidak hanya disebabkan karena tidak memiliki akses jamban. Mungkin juga karena prilaku hidup yang tidak baik lainnya, seperti pola makan yang tidak sehat," kata Bupati Kabupaten Solok Gusmal, beberapa waktu lalu.
Hal yang pasti, kebanyakan penderita stunting berasal dari kalangan keluarga yang tidak memiliki toilet. Dalam riset Kementerian Kesehatan (Kemkes), stunting bisa disebabkan gizi buruk (40 persen) dan tidak adanya air bersih dan sanitasi buruk (60 persen).
Sehingga kuat dugaan, penderita stunting di Kabupaten Solok karena buruknya sanitasi terutama ketiadaan akses jamban yang layak.
Berdasarkan sejumlah penelitian, tinja manusia 250 gr/orang/hari, dengan kandungan miliaran mikroba berbahaya, termasuk di antaranya, bakteri eschericia coli (penyebab diare), almonella tiphy (tipus), vibrio cholerae (kolera), virus hepatitis dan polio, dan telur cacing cambuk, gelang, tambang, kremi.
Gusmal menegaskan, pemerintah kabupaten telah memberikan petunjuk dan arahan kepada kecamatan, agar kebutuhan pengadaan jamban masyarakat juga dibiayai oleh pemerintahan nagari.
Melihat fenomena itu, Dinas Kesehatan Kabupaten Solok mengalokasikan bantuan toilet ke beberapa nagari.
Nagari Koto Hilalang tahun ini mendapat bantuan toilet untuk masing-masing 23 kepala keluarga.
Berbanding terbalik dengan tingginya angka stunting, nagari yang benar-benar bebas buang air besar sembarangan alias Open Defecation Free (ODF) di Kabupaten Solok baru 10 nagari.
Maryeti menyebutkan, 10 nagari tersebut adalah Nagari Kacang, Nagari Tanjung Alai, Nagari Sungai Durian, Nagari Koto Laweh Sungai Lasi, Nagari Siaro-Aro
Nagari Bukit Bais, Nagari Gaung, Nagari Tikalak, Nagari Supayang dan Nagari Pasilihan.
Kenyataan di lapangan ini menjadi acuan dari penilaian sanitasi Kabupaten Solok, dengan hasil yang agak jeblok. Akses jamban (basisnya keluarga) Kabupaten Solok saat ini baru 67 persen berdasarkan e-Monev STMB.
Alhasil, pada penilaian Kabupaten atau Kota Sehat pertengahan November ini, Kabupaten Solok hanya meraih penghargaan Kabupaten Sehat kategori Swasti Saba Wiwerda (Pembinaan).
Regulasi Jurus ODF
Kebalikan dari Solok, Kabupaten Pesisir Selatan justru semakin mantap menatap ODF atau 100 persen bebas BABS. Regulasi dan pemicuan menjadi jurus andalan menaklukkan persoalan sanitasi dan BABS.
Pada penilaian Kabupaten dan Kota Sehat yang rutin digelar dua tahun sekali, Pesisir Selatan menggondol penghargaan Swasti Saba Wistara (Pengembangan). Penghargaan yang diraih Pesisir Selatan lebih tinggi dibanding Kabupaten Solok.
Berdasarkan data aplikasi online STBM Smart capaian Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2019, akses sanitasi sudah mencapai 86. 73 persen. Sebanyak 147 nagari atau 80.77 persen telah melaksanakan STBM. Dengan rincian, 100 persen melaksanakan ODF sebanyak 61 nagari, 49 nagari sudah terverifikasi dan 12 nagari masih dalam proses verifikasi (klaim) pada STBM Smart.
Sebanyak 88 nagari sudah mempunyai akses jamban, 75-99 %, 39 nagari sudah mempunyai akses jamban 50-74 % dan 6 nagari akses jamban di bawah 50 %.
STBM merupakan pendekatan untuk merubah perilaku higiene dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan. STBM menjadi acuan nasional untuk program sanitasi berbasis masyarakat sejak lahirnya Kepmenkes No 852/Menkes/SK/IX/2008 tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis masyarakat.
STBM memiliki 6 (enam) strategi nasional, yaitu penciptaan lingkungan yang kondusif (enabling environment); peningkatan kebutuhan sanitasi (demand creation); peningkatan penyediaan sanitasi (supply improvement); pengelolaan pengetahuan (knowledge management); pembiayaan; dan pemantauan dan evaluasi.
Dikatakan Bupati Pesisir Selatan Hendrajoni, terdapat 6 tatanan penilaian dan 220 indikator yang dilakukan oleh tim penilai pusat Kabupaten Sehat di Pesisir Selatan.
Enam tatanan penilaian itu di antaranya, ketahanan pangan dan gizi, kehidupan masyarakat sehat dan mandiri, kawasan pariwisata sehat, kawasan sarana lalu lintas tertib, kawasan pemukiman sarana dan prasarana umum, serta kehidupan sosial yang sehat.
Penghargaan Swasti Saba Kabupaten/Kota Sehat merupakan kolaborasi dan sinergi antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri untuk memberikan apresiasi terhadap Pemda yang berkomitmen dan berhasil menjadikan Kabupaten/Kota Sehat Tahun 2019.
Kabupaten atau Kota Sehat, beber Kepala Dinas Kesehatan Pesisir Selatan, Satria Wibawa, merupakan pendekatan kesehatan masyarakat yang bertumpu pada kemitraan pemerintah daerah (lintas sektor) dengan masyarakat, dalam mengatasi masalah–masalah kesehatan yang berkaitan erat dengan masalah lingkungan fisik dan lingkungan sosial.
Di tingkat kabupaten, dimotori oleh Forum Kabupaten Sehat yang mensinergikan pembangunan agar berwawasan kesehatan. Di tingkat kecamatan dipandu oleh Forum Kecamatan Sehat, dan di desa atau nagari oleh Forum Desa Sehat.
Selain itu, regulasi diterbitkan dengan penekanan pentingnya keterlibatan nagari dalam menyadarkan masyarakat untuk hidup sehat, serta pentingnya sanitasi dan akses jamban di level keluarga.
Pada tahun 2018, diterbitkan Peraturan Bupati No 77 Tahun 2018 tentang Standar Biaya Pemerintah Nagari Tahun Anggaran 2019.
Ini menjadi legalitas bagi pemerintahan nagari untuk aktif membangunkan akses jamban bagi warga kurang mampu atau yang belum memiliki WC dengan menganggarkan dana desa.
Dalam Perbup ini, dibunyikan setiap nagari menganggarkan dana desa untuk pembangunan lima jamban dengan maksimal Rp.4.5 juta. Mengingat peruntukan dana desa juga untuk hal yang krusial lainnya, maka Pemerintahan Nagari Painan Timur Painan, membatasi anggaran dana desa untuk bantuan akses jamban.
Sesuai Perbup No. 77 Tahun 2018, Wali Nagari Painan Timur Painan, Hendra Ardison Chandra mengatakan, sejak tahun 2018, pemerintahannya menyediakan bantuan akses jamban bagi 5 rumah, dengan RAB senilai Rp.3 juta.
Hingga tahun 2019, katanya, sudah 10 rumah yang dapat bantuan pembangunan WC. Sehingga, 40 rumah yang tadinya tidak memiliki WC, sekarang tinggal 30 rumah.
Gusmarti, 49, adalah seorang penerima bantuan akses jamban di Nagari Painan Timur Painan. Tiga bulan terakhir, ia dan keluarga tak lagi harus berjalan sepanjang 200 meter lebih menuju sungai Batang Painan, hanya untuk buang air besar.
Sebab, alokasi dana desa dari Desa (nagari) Painan Timur Painan, Kabupaten Pesisir Selatan, memastikan keluarganya buang air besar cukup di rumah saja.
“WC (toilet) baru 3 bulan ini. Sebelumnya buang air besar di batang air (sungai) yang berjarak sekitar 200 meter dari rumah,” ujar Gusmarti, beberapa waktu lalu.
Padahal, di rumah yang ia tempati, ada 2 kepala keluarga yang tinggal, dengan jumlah jiwa 10 orang. Selama ini, seperti halnya Gusmarti, bila ingin buang air besar, harus ke sungai.
“Rata-rata, kami 3 kali ke sungai. Bahkan malam hari pun, kalau sesak buang air besar, ke sungai,” ujarnya.
Keberadaan toilet di dalam rumah, Gusmarti lebih tenang bekerja. Setiap saat ingin buang hajat atau pun buang air kecil, tak perlu lagi jauh-jauh yang pastinya menyita waktu.
Cukup melangkahkan kaki beberapa meter saja. Toilet itu berada di sudut dapurnya. Sehari-hari Gusmarti pun lebih banyak menghabiskan waktu di dapur, memproduksi penganan mpek-mpek.
Ya, kuliner khas Palembang tersebut menjadi jualan sehari-hari Gusmarti.
Berdagang mpek-mpek di SD dekat rumahnya, Gusmarti mampu meraup omset sekitar Rp.150 ribu per hari.
Anggaran Terbatas, Pemicuan Jurus Selanjutnya
Pada tahun, Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan bertekad bebas dari buang air besar sembarangan.
"Seluruh rumah tangga di Pesisir Selatan pada tahun 2020 harus sudah memiliki akses jamban," kata Bupati Hendrajoni.
Untuk itu, Hendrajoni menginstruksikan para wali nagari agar mengalokasikan anggaran nagari untuk membangun jamban (WC) bagi rumah tangga yang belum mempunyai jamban.
"Seluruh wali nagari segera lakukan pendataan rumah tangga yang belum memiliki jamban, kemudian alokasikan anggaran untuk membangun jamban tersebut," katanya, Selasa (10/9).
Painan Timur Painan; meski hanya sepelemparan batu dari pusat pemerintahan Pesisir Selatan, namun menjadi salah satu kerikil tajam bagi Pesisir Selatan menuju 100 persen akses sanitasi. Dengan kata lain, predikat ODF, bebas BAB sembarangan.
Sebagian penduduk Painan Timur Painan yang tinggal di bantaran Batang Painan, tidak memiliki WC. Mereka bertahun-tahun, berak di sungai. Ini sudah menjadi kebiasaan yang mengakar.
Seruan bupati dan legalitas dari Perbup No. 77 Tahun 2018, Pemerintahan Nagari Painan Timur Painan, berusaha mengurangi angka keluarga yang belum memiliki akses jamban.
Dari 40 rumah tangga yang belum memiliki akses jamban yang layak di tahun 2018, Pemerintah Nagari Painan Timur Painan berhasil menurunkannya menjadi 30 rumah tangga per tahun 2019.
Caranya, menyicil bantuan akses jamban 5 unit per tahun. Sumbernya dari dana desa.
Turunnya jelas tidak drastis, dan kemungkinan besar bebas BABS khusus untuk Nagari Painan Timur Painan, tidak akan tercapai pada tahun 2020. Hal yang diinginkan Bupati Pesisir Selatan.
Faktor utamanya, menurut Wali Nagari Hendra karena keterbatasan anggaran dan kesadaran masyarakat sendiri.
Ia tidak bisa melakukan langkah revolusioner membebaskan wilayahnya bebas buang air besar sembarangan, karena peruntukan dana desa juga diperlukan hal-hal krusial lainnya.
Pada tahun 2019, Nagari Painan Timur Painan menerima dana desa Rp.860 juta. Ini sebenanya meningkat jika dibandingkan tahun 2018 sebesar Rp.749 juta dan tahun 2017 senilai Rp.787 juta.
Namun, infrastruktur masih butuh sentuhan pembangunan secara berkelanjutan. Sisi lain, pemberdayaan ekonomi juga harus terus dilakukan untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, nilai tambah dari usaha yang dijalankan warga.
“Kendala bantuan untuk pembangunan akses jamban, karena dibatasi oleh kebutuhan lain nagari yang diambil dana desa. Terutama untuk pemberdayaan dan pembangunan. Pembangunan misalnya, masih banyak jalan nagari yang harus diperbaiki, drainase juga, gedung Puskesri, dan pembangunan wisata Timbulun, dimana tahun 2019 dilakukan pembangunan parkir kendaraan,” terang Hendra, pertengahan November.
Maka pihaknya hanya mengalokasikan Rp.15 juta dari dana desa untuk pembangunan akses jamban bagi warga yang belum memilikinya.
Sejak tahun 2018, dialokasi untuk 5 rumah tangga sesuai anjuran Perbup, tapi dengan nilai masing-masing Rp.3 juta.
“Kabupaten minta kita ODF, bebas BABS. Diminta nagari menyelesaikan. Kami siap, dengan mengacu pada Perbup yakni setidaknya 5 rumah tangga tiap tahun,” ujar Hendra.
Hendra sadar keterbasan anggaran akan menyulitkan pembebasan Painan Timur Painan dari BABS. Sehingga ia pun menyosialisasikan upaya lain yakni pemicuan STBM.
Kegiatan pemicuan STBM dilakukan dalam rangka Percepatan Target Pencapaian Universal Akses 2019 (100% akses air minum, 0% kawasan kumuh, dan 100% akses sanitasi yang layak ), dan surat Edaran Bupati Pesisir Selatan No. 800/568A/BPT-PS/VIII/2016 tentang Pelaksanaan STBM.
Pemicuan yang dimaksud bersifat stimulan. Dinas Kesehatan Pesisir Selatan, menyediakan fasilitas untuk jamban senilai Rp.600 ribu. Sementara masyarakat didorong turut berswadaya seperti membangun sendiri, cari pasir sendiri.
"Hanya dengan uang Rp.600 ribu jamban keluarga bisa dibangun," kata Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pesisir Selatan, dr. Satria Wibawa.
Meski ada stimulan dari pemerintah, beberapa keluarga di bantaran Batang Painan, belum tergerak untuk melengkapi rumahnya dengan WC yang layak. Misalnya keluarga Harmensyah, 60 dan Jasni, 58. Rumah yang membelakangi Batang Painan, selain dua orang itu, tinggal juga 7 anak-anak mereka, dimana 4 orang sudah kawin.
Sehari-hari mereka beol ke sungai Batang Painan. "Dana gak ada untuk membangun WC. Dapat pagi, habis sore. Kadang juga tidak bekerja," imbuh Nova Putri Susanti, 30, anak dari pasangan Harmensyah dan Jasni.
Ia pun mengaku, kalau mendapat tawaran stimulan pendirian toilet dengan nilai Rp.600 ribu. Namun, tidak bisa dijalankan karena biaya untuk pemenuhan komponen lainnya dirasa tidak ada.
"Pernah diusulkan bantuan. Cuma disediakan cekungan toilet dan pipa. Semen dan pasir dari awak. Dana itu yang tidak ada," katanya.
Menurut Hendra, program dari dinas kesehatan, sebetulnya warga sangat terbantu karena diberi cekungan toilet, paralon, dan cetakan tangki penampungan untuk pembangunan akses jamban standar.
"Sudah ada 12 kepala keluarga yang ditawarkan namun belum ada laporan tindaklanjut dari warga tersebut," Hendra menambahkan.
Beberapa waktu lalu, Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan sengaja mengumpulkan 60 orang yang terdiri dari 40 orang wali nagari dan 20 orang pemegang program kesehatan lingkungan di Puskesmas.
Mereka bagian dari gerakan pembangunan jamban keluarga secara masif di masing-masing nagari yang ada di daerah ini. Agar seluruh nagari bisa stop buang air besar sembarangan.
Selanjutnya, pemerintahan nagari mensosialisasikan kepada masyarakat yang belum memiliki akses jamban.
“Upaya kita datang ke masyarakat, tanya jamban, itu sudah sosialisasi. Tapi susahnya kebiasaan masyarakat buang air besar di sungai. Kok masih ada yang tidak memiliki WC? Padahal beli motor bisa. Dan ada juga pemicuan dari Pemkab,” tandasnya.
Hendra pun berpikir untuk mengubah kebiasaan warga berak ke sungai dengan memproduksi peraturan nagari (Pernag). Saat ini, jelasnya, ada dua draf Pernag tentang pengendalian kebersihan sungai.
Muatannya, ada pelarangan pembuangan sampah dan buang air besar di sungai.
“Sejak sebulan lalu kita godok. Target Pernag minimal sampai kabupaten di akhir tahun ini,” sebut Hendra.
Regulasi dan mendorong kepala daerah atau pejabat terkait mengeluarkan instruksi, dianggap solusi tepat percepatan stop BABS dan mengubah kebiasaan beol sembarang yang sudah sangat mengakar.
Direktur Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Sumatra Barat Firdaus Jamal menuturkan, instrumen kebijakan seperti regulasi, penting. Akan tetapi, menurutnya, kalau tidak ada upaya sistematis Pemda mengawal itu, misalnya ada tim khusus hingga di level nagari, akan sulit memaksakan setiap warga agar memiliki WC.
"Misalnya juga dalam upaya penyadaran, selain menyediakan anggaran, juga memberikan punishment (hukuman)," katanya.
Firdaus mencontohkan, Kabupaten Pringsewu di Lampung, mensyaratkan dapat NA (Surat Nikah) bagi pasangan yang mau nikah, harus ada jamban.
“Di Polsek (sana) pun demikian. Izin keramaian, harus ada jamban. Aturan, tidak ada pengawalan sistematis, kontinu tingkat nagai (desa), sulit," papar Firdaus.
Didukung Stichting Nederlandse Vrijwilligers (SNV)— organisasi pembangunan internasional nirlaba dari Belanda, PKBI berkoalisi dengan Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M), sejak tahun 2017, mendorong percepatan ODF di Kabupaten Sijunjung dan Padang Pariaman.
Dalam hal ini, advokasi kebijakan isu sanitasi dipilih mengingat dari kenyataan rendahnya kesadaran masyarakat untuk memiliki WC.
Menurut Firdaus perlu penekanan secara aturan untuk mengubahnya. Sejauh ini baru tiga daerah mengeluarkan Perbup yang mengatur soal sanitasi atau akses jamban yakni Pesisir Selatan, Pariaman, dan Sijunjung.
Untuk percepatan ODF, menurut Firdaus, tidak cukup dikeluarkannya Perbup saja. Sebab, Perbup hanya mengingat lingkungan administrasi Pemda. Akan tetapi, sejauh mana bupati memprioritaskan anggaran untuk sanitasi.
Dijelaskannya, kalau bicara sanitasi ada tiga hal yakni regulasi (dari kabupaten sampai nagari); kelembagaan, misal Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL), yakni tim khusus yang bertugas mendorong akses sanitasi dan anggaran.
“Pesisir Selatan bagus karena regulasi kuat. Solok diketahui banyak kasus stunting, bukan penekanan pada gizi saja, tapi perilaku BABS.
Sementara berdasarkan pengalaman di Sijunjung, kata Firdaus, ada Perbup, nagari bisa ditekan. Namun, anggaran dana desa harus dijadikan peluang untuk pemenuhan akses jamban warga miskin.
“Di samping itu, perlunya reward dan punishment. Misal akses jamban jadi indikator kemajuan nagari. Kalau banyak stunting, menjadi indikator terbelakang. Ikut lomba kabupaten sehat, angka sanitasi rendah tidak bisa ikut. Minimal 82 persen bisa ikut. Dan dapat penghargaan, kalau 100 persen,” terangnya.
Muara Semuanya Pemenuhan SDGs
Tahun 25 September 2015, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meluncurkan program pembangunan berkelanjutan yang diberi nama Sustainable Development Goals (SDGs), menggantikan program sebelumnya Millennium Development Goals (MDGs).
SDGs tersebut otomatis berlaku bagi negara-negara maju dan berkembang untuk 15 tahun ke depan atau hingga 2030.
Berbeda dari pendahulunya MDGs, SDGs dirancang dengan melibatkan seluruh aktor pembangunan, baik itu pemerintah, Civil Society Organization (CSO), sektor swasta, akademisi, dan sebagainya.
Kurang lebih 8,5 juta suara warga di seluruh dunia juga berkontribusi terhadap 17 tujuan dan 169 target dari rencana aksi global tersebut hingga tahun 2030.
Salah satu tujuan terpenting SDGs adalah memastikan ketersediaan dan manajemen air bersih yang berkelanjutan dan sanitasi bagi semua. Salah satu poinnya, menegaskan, pada tahun 2030, mencapai akses terhadap sanitasi dan kebersihan yang layak dan adil untuk semua dan mengakhiri buang air di tempat terbuka, dengan memberikan perhatian khusus pada kebutuhan perempuan dan anak perempuan serta mereka yang berada dalam situasi rentan
Kesehatan merupakan visi pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk lima tahun ke depan. Sehingga pemerintah seyogianya mencurahkan segala kekuatan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan juga lingkungan, sekaligus pemenuhan SDGs.
“SDGs (untuk sanitasi dan jamban) bukan lagi akses, tapi aman,” kata Firdaus.
Mengacu pada data STBM Smart, langkah mencapai SDGs dalam konteks sanitasi bagi semua, masih tertatih-tatih. Indikatornya terutama jamban sebagai entitas dari sanitasi.
Untuk ukuran Indonesia, akses jamban baru 77 persen. Sementara menilik provinsi sebagai kontributor angka nasional, Sumatra Barat sendiri 79,30 persen berdasarkan STBM Smart Kemenkes per tanggal 14 November 2019.
Artinya masih ada sekitar 21 persen masyarakat yang belum punya akses jamban. Angkanya sekitar 1 juta jiwa. Mereka inilah yang kemungkinan besar BABS.
Ini tentu menjadi PR (pekerjaan rumah) bersama, bagaimana percepatan akses jamban bagi semua. Bukan saja pemerintah, tapi juga butuh dukungan CSO, serta partisipasi semua pihak, terutama masyarakat.
Sehingga komitmen SDGs pada isu sanitasi khususnya akses jamban terpenuhi sesuai tenggat waktunya. Di samping memastikan generasi Indonesia tumbuh dalam iklim sanitasi yang baik, sebagai modal menjadi bangsa unggul. (OSH)