Oleh: Sunardi Simanullang
Bayangkan seorang anak yang pagi itu berangkat ke sekolah dalam keadaan sehat. Ia berpamitan kepada orang tuanya dengan ceria dan penuh senyuman. Namun, beberapa lama kemudian, kabar mengejutkan datang, anak itu harus dilarikan ke rumah sakit akibat keracunan makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG), sebuah inisiatif pemerintah yang semestinya menjadi jaminan kesehatan bagi anak, bukan malah ancaman keselamatan.
Inilah fakta yang terjadi saat ini, a maraknya kasus keracunan yang terjadi kepada para siswa setelah mengonsumsi Makan Bergizi Gratis (MBG). Bahkan dilansir dari detikcom, kasus terbaru itu terjadi di delapan sekolah di Kota Bogor, Jawab Barat. Dimana sebanyak 210 orang mengalami keracunan setelah mengonsumsi MBG, 34 orang diantaranya menjalani rawat inap dan 129 orang lagi mengalami keluhan ringan. Beberapa keluhan yang dialami para murid diantaranya seperti mual, sakit perut, lemas dan diare.
Melihat maraknya kasus keracunan dari MBG ini, Presiden Prabowo Subianto pun angkat bicara terkait hal itu. Pada saat Sidang Kabinet Paripurna di Istana Kepresidenan, Presiden Prabowo mengatakan bahwa tingkat keberhasilan program MBG ini mencapai 99,99 persen meski terdapat banyak kasus keracunan di berbagai daerah. Dia beralasan bahwa korban keracunan dari MBG ini hanya berkisar 200 orang atau sebesar 0,005 persen, hanya sebagian kecil jika dibandingkan jumlah penerima MBG yang mencapai 3 juta orang (Kompas.com 5/5/2025).
“Hari ini memang ada keracunan, yang keracunan sampai hari ini dari 3 koma sekian juta, kalau tidak salah dibawah 200 orang yang keracunan, yang rawat inap hanya 5 orang,”ujar Prabowo, Senin (5/5/2025).
Tidak sampai di situ, ia juga membandingkan jumlah kasus keracunan dan jumlah penerima MBG yang berada di bawah angka 1 persen, sehingga ia menganggap program MBG ini berhasil 99,99 persen.“Jadi bisa dikatakan yang keracunan atau yang perutnya enggak enak sejumlah 200 orang, itu 200 dari 3 koma sekian juta kalau tidak salah adalah 0,005 persen. Berarti keberhasilannya 99,99 persen” tuturnya.
Dari statement itu, Prabowo seolah-olah menggambarkan kasus keracunan MBG ini hanya soal angka statistik saja bukan soal nyawa manusia. Padahal ini adalah sebuah perkara yang sangat serius karena menyangkut keselamatan jiwa manusia dan berpotensi merugikan negara. Karena setiap siswa memiliki potensi besar untuk mengubah nasib negara.
Oleh sebab itu, standar keberhasilan program Makan Bergizi Gratis (MBG) ini tidak hanya diukur dengan tidak banyaknya atau tidak adanya anak yang keracunan, melainkan dari terpenuhinya kebutuhan gizi setiap anak secara menyeluruh dan mampu menurunkan angka stunting pada anak di Indonesia. Namun saat ini, alih-alih meningkatkan gizi anak, malah membuat sebagian anak keracunan dan terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit. Padahal dana yang dialokasikan untuk kelancaran program ini sudah sangat besar.
Adanya program MBG ini seharusnya tidak hanya menjadi simbol kepedulian pemerintah terhadap pertumbuhan anak, akan tetapi juga menjadi representasi dan komitmen kuat pemerintah terhadap keselamatan dan kualitas hidup pada anak. Pemerintah memiliki tanggung jawab penuh dalam memastikan setiap aspek program ini berjalan dengan baik dan aman serta sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Pemerintah juga tidak boleh menilai keberhasilan program MBG ini hanya melalui angka statistik semata. Setiap adanya kasus keracunan menjadi alarm serius yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Meskipun kasus keracunan itu kecil jika dibandingkan dengan yang tidak keracunan, hal itu tetaplah sebuah tanda bahwa adanya sebuah masalah serius yang harus diselesaikan. Bahkan satu anak saja yang keracunan merupakan sebuah permasalahan besar bagi negara. Karena hal ini menyangkut nyawa dan keselamatan pada anak itu sendiri dan tidak ada yang bisa menggantikan jika hilangnya nyawa seseorang. Sehingga, ketika ada kasus keracunan terjadi, pemerintah harus segera bertindak tegas dengan transparansi dan penuh tanggung jawab, bukan hanya mengklaim persentase keberhasilan tanpa adanya solusi konkret yang diberikan.
Karena kasus ini tidak hanya pada persoalan keracunan melainkan juga kasus ditemukannya ulat dalam nasi dan sayur MBG pun juga pernah terjadi di beberapa sekolah, salah satunya di SMK 4 Yogyakarta pada 5 Mei lalu (Kompas.com). Oleh sebab itu, jangan sampai kasus-kasus seperti ini terulang lagi karena akan membuat kepercayaan masyarakat terhadap program pemerintah ini menurun. Akibatnya, banyak orang tua akan lebih memilih untuk tidak mengizinkan anak-anak mereka mengonsumsi MBG, sementara di sisi lain, anak-anak dapat mengalami trauma yang mendalam hingga kehilangan rasa aman terhadap makanan yang seharusnya menyehatkan.
Maka dari itu, pemerintah harus menetapkan langkah-langkah mitigasi dengan cepat dan menyeluruh. Evaluasi mendalam juga perlu dilakukan terhadap program ini, mulai dari bahan-bahan yang digunakan hinggs pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaanya. Sebab, dengan dana yang sebesar itu, mengapa masih bisa terjadi keracunan kepada siswa? Pemerintah juga harus menyediakan fasilitas sanitasi dan menciptakan lingkungan yang higenis, agar setiap proses pengolahan MBG terjamin kebersihan dan kelayakannya. Pemerintah juga perlu memberikan transparansi terkait bahan-bahan yang digunakan untuk memasak MBG tersebut, sehingga orang tua siswa tau terbuat dari apa makanan yang dimakan oleh anak-anak mereka. Bila perlu pemerintah membuat pengawasan silangg oleh BPOM dan Kemenkes yang sangat ketat, agar mereka mampu mengawasi setiap makanan yang ada dan memastikan makanan itu sudah layak dan aman untuk dimakan. Sehingga tidak ada lagi kasus keracunan terjadi dalam program MBG dan target zero accident pun bisa dicapai. (*)
Sunardi Simanullang, mahasisiwa UIN Imam Bonjol Padang, Prodi Hukum Keluarga Fakultas Syariah