Langgam.id - Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Andalas Gusti Asnan kaget namanya disebut seolah-olah jadi salah satu sejarawan yang menyetujui naskah akademik Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 2 Tahun 2022.
Kepres tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara itu setelah ditandatangani Presiden Joko Widodo menjadi kontroversi dan memantik polemik. Pasalnya, sejumlah fakta sejarah yang termuat dalam kepres tersebut dinilai keliru.
"Saya memang diundang menghadiri seminar membahas hal ini di Jogja. TOR-nya bagus, antara lain menyebutkan bahwa serangan umum 1 Maret tak terlepas dari perjuangan yang terjadi pada masa PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia)," katanya, kepada langgam.id, Rabu (9/3/2022).
Serangan umum 1 Maret 1949 sendiri, menurut Gusti, memang pantas diperingati sebagai hari besar nasional. Mengingat, peristiwa itu turut berdampak bagi perjuangan Indonesia di dunia internasional yang telah diperjuangkan PDRI sejak membentuk kabinet pada 22 Desember 1948.
Namun, menurut Gusti, SU 1 Maret tak terpisahkan dari serangkaian peristiwa dan perjuangan yang dilakukan di berbagai daerah di masa itu di bawah PDRI yang dipimpin Mr. Sjafruddin Prawiranegara. "Saya kaget, yang didiskusikan lain, kok hasilnya lain lagi," katanya.
Nama Prof Gusti Asnan memang dicantumkan dalam naskah akademik, menjadi salah satu sejarawan yang hadir dalam seminar.
Meski setuju tanggal 1 Maret dijadikan hari besar nasional, tapi Gusti tak setuju dengan banyak fakta sejarah dalam naskah akademik. "Membaca kalimat pertama saja, kok seperti bukan seperti naskah akademik," tuturnya.
Prof Gusti kecewa, karena selain fakta sejarah, akurasi naskah itu juga bermasalah. Antara lain, halaman 5 menyebut bahwa pada 24 Juni 1948 Syafruddin Prawiranegara sebagai pemimpin PDRI memberikan mandat kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan untuk memulihkan keamanan sebelum pemerintahan kembali ke Yogyakarta.
Bila kita membuka buku sejarah, untuk kalimat itu saja, ada dua kesalahan. Kesalahan pertama adalah, pemerintahan kembali ke Jogja itu semestinya bukan tahun 1948, tapi 1949. Kesalahan kedua, menteri pertahanan pada Juni 1948 masih dirangkap oleh Mr. Sjafruddin yang menjadi Ketua PDRI. Bukan lagi dijabat Sri Sultan, karena sejak 19 Desember 1948 pemerintahan kabinet Hatta sudah diserahkan pada PDRI.
Sejarawan Universitas Negeri Padang (UNP) Mestika Zed dalam Buku "Somewhere in The Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan" (1997) menulis, PDRI membentuk kabinet pada 22 Desember 1948 di Halaban, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Mandat itu baru dikembalikan Mr. Sjafruddin dalam sidang kabinet tanggal 13 Juli 1949.
Gusti bertambah kaget, hal yang tak ada dalam sejarah, malah kemudian dimasukkan ke dalam kepres. Alih-alih menyebut PDRI, Kepres tersebut malah mencantumkan bahwa serangan umum 1 Maret digerakkan dan disetujui oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Hal tersebut termuat dalam konsideran menimbang huruf c Kepres itu.
Selengkapnya, konsideran c itu berbunyi sebagai berikut, "Bahwa peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 digagas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman serta disetujui dan digerakkan oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dan didukung oleh Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, laskar-laskar perjuangan rakyat, dan segenap komponen bangsa Indonesia lainnya, merupakan bagian penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang mampu menegakkan kembali eksistensi dan kedaulatan Negara Indonesia di dunia internasional serta telah berhasil menyatukan kembali kesadaran dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia."
Tentang Serangan Umum 1 Maret digerakkan dan disetujui oleh Bung Karno dan Bung Hatta, menurut Gusti, tidak benar. "Ini kesalahan. Sejarah yang dibuat-buat," katanya.
Kedua proklamator yang jelas sangat berjasa pada berbagai periode perjuangan bangsa itu, pada episode pasca agresi kedua tersebut berada dalam tawanan Belanda. Setelah ditangkap pada 19 Desember 1948, Bung Karno, Sjahrir dan Agus Salim ditawan di Prapat. Sementara, Bung Hatta dan sejumlah tokoh lain ditahan di Bangka. Belakangan, Bung Karno dan Agus Salim turut dipindah ke Bangka.
Selama ditawan tersebut, menurut Gusti, tak ada kontak para pimpinan itu dengan para pimpinan militer. "Bahkan, setelah serangan umum hingga dibebaskan juga tak ada kontak. Sehingga tak mungkin bila disebutkan menggerakkan dan menyetujui SU 1 Maret," tuturnya.
Dengan siapa pimpinan militer di Pulau Jawa dan juga di Sumatra berkoordinasi saat itu? Almarhum Prof. Mestika Zed semasa hidupnya, menjelaskan dengan detail dalam buku "Somewhere in The Jungle" di atas. Buku setebal 355 halaman tersebut merupakan hasil riset tekun Prof. Mestika dibantu dosen dan peneliti sejarah dari UNP (sebelumnya IKIP Padang) dan Univesitas Andalas.
Baca Juga: “Somewhere in The Jungle”, Mengenang Mestika Zed di Panggung Sejarah
Buku ini berdisiplin dengan fakta dengan sumber. Memiliki 534 catatan kaki dari berbagai sumber, sebagiannya adalah bahan primer. Sumber-sumber itu antara lain, hasil wawancara puluhan saksi sejarah, puluhan dokumen arsip Indonesia, Belanda, Inggris dan Amerika, 31 manuskrip, 164 buku dan artikel serta puluhan berita dari belasan koran terbitan Indonesia dan Amerika.
Bahan yang lengkap membuat Mestika bisa merunut dengan detail perjalanan PDRI sejak 19 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949, termasuk episode serangan umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.
Uniknya, publikasi yang mendapat penghargaan sebagai buku terbaik dari IKAPI/ Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di bidang ilmu sosial pada 1999 tersebut, tidak termasuk jadi sumber buku dalam naskah akademik kepres ini.
Mestika menulis, koordinasi antar para pimpinan PDRI di Pulau Jawa dan pimpinan militer di Pulau Jawa sudah terjadi sejak 19 Januari 1949, dimulai oleh Kolonel Simatupang, Nasution, menteri-menteri yang tidak ditawan Belanda serta Jenderal Soedirman sendiri.
"Sejak itu, informasi mengenai perkembangan-perkembangan yang terjadi di Jawa terus menerus dilaporkan kepada PDRI di Sumatra melalui pemancar radio dan telegram," tulisnya.
Sebenarnya, sejak 22 Desember 1948, Panglima Soedirman telah masuk dalam kabinet PDRI sebagai Panglima APRI. Sehingga, ketika kontak melalui radio bisa terjalin, koordinasi dengan militer di Pulau Jawa menjadi lebih baik.
Komunikasi Jenderal Sudirman sebagai panglima dengan Mr. Sjafruddin sebagai kepala pemerintahan saat itu terus terjalin hingga mendekati masa berakhir PDRI. Termasuk saat muncul inisiatif menggelar Perundingan Roem-Roijen antara pimpinan yang ditawan di Bangka dengan Belanda.
Kabinet PDRI baik sipil maupun militer sama-sama menolak berunding. Ketika Roem-Roijen tetap berlangsung, kabinet PDRI maupun Jenderal Sudirman menolaknya.
Dalam surat yang panjang kepada Mr. Sjafruddin, Panglima Soedirman sempat mempertanyakan legalitas tokoh-tokoh yang berada di Bangka untuk berunding, tanpa melibatkan PDRI.
Baca Juga: Surat Panglima Besar Soedirman untuk PDRI
Dalam surat itu, Jenderal Soedirman meminta PDRI menolak dengan tegas rencana perundingan itu. "Bila berita tersebut benar, maka pemerintah pula wajib bersikap yang tegas, ialah menolak hal tersebut," katanya, sebagaimana dikutip Jenderal AH Nasution dalam Bukunya "Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia" (1977).
Panglima Besar Soedirman juga menyindir status tawanan para pemimpin di Bangka. "Minta keterangan, apakah orang-orang yang dalam tawanan atau pengawasan Belanda berhak merundingkan, lebih-lebih memutuskan sesuatu hal yang berhubungan dengan politik, untuk menentukan status negara kita. Sedang telah ada PDRI yang telah diresmikan sendiri oleh Tim Presiden ke seluruh dunia pada tanggal 19-12-1948," tulisnya, sebagaimana dikutip Mestika Zed.
Kekecewaan Soedirman pada Sukarno-Hatta sebenarnya telah berawal sejak Agresi Militer II, karena rapat kabinet memutuskan tak bergerilya, namun membiarkan ditangkap Belanda. Sebaliknya, panglima langsung menyatakan dukungannya begitu tahu PDRI berdiri di Sumatra.
Andai bisa menghubungi Bangka pun, tak mungkin serangan umum 1 Maret yang jelas merupakan operasi militer di bawah tanggung jawab panglima, digerakkan oleh Sukarno-Hatta. Karena hubungan yang sedang tak harmonis itu. Hubungan ini belakangan baru cair bersamaan dengan pengembalian mandat PDRI pada Juli 1949.
Selain itu, yang juga patut dicatat, kontak PDRI dengan luar negeri yakni India, terjadi lebih awal, pada 17 Januari 1949. Pada 19 Januari, Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang saat itu berbasis di Bidar Alam, Solok Selatan, Sumatra Barat menyampaikan pesan radiogram kepada Wakil Indonesia di India Soedarsono untuk disampaikan dalam Konferensi New Delhi yang mendukung perjuangan Indonesia pada 20 Januari.
Resolusi New Delhi ini yang mendorong Dewan Keamanan PBB melanjutkan sidang membahas Agresi Militer II Belanda di Indonesia. Selanjutnya, PDRI pula yang membuat Soedjatmoko, Soedarpo dan Palaar tetap bisa duduk menjadi wakil Indonesia di PBB, sehingga tetap bisa mendebat propaganda Belanda dalam sidang Dewan Keamanan.
Tentang Serangan Umum 1 Maret 1949, Mestika membahas dalam sub bab khusus sepanjang lima halaman. Ia sampai memeriksa arsip PBB untuk mencari bagaimana pengaruh serangan itu terhadap agenda diplomatik yang berlangsung pada episode itu.
Meski SU 1 Maret tak disebut khusus dalam arsip PBB, menurut Mestika, peristiwa tersebut merupakan salah satu titik balik yang penting dalam usaha Republik dalam menandingi hegemoni militer Belanda di dalam negeri dan usaha-usaha diplomatiknya di luar negeri.
Serangan tersebut menjadi khusus, menurutnya, karena dilakukan di Yogyakarta yang sebelumnya jadi ibu kota Republik Indonesia dan pada siang hari.
Menurutnya, serangan tersebut digagas oleh Sri Sultan Hamengkubowono IX. Melalui surat, Sultan meminta izin Panglima Sudirman pada Februari. Panglima mengizinkan dan meminta Sultan untuk berkoordinasi dengan Letkol Soeharto yang kemudian jadi penanggung jawab dan pelaksana lapangan.
Dalam Kepres No 2 Tahun 2022, hanya nama Sultan dan Panglima Sudirman yang disebutkan, selain nama Bung Karno dan Bung Hatta sebagai yang menggerakkan dan menyetujui. Sejumlah pihak mengkritisi dan mempertanyakan kenapa nama Soeharto tak masuk. Salah satu yang menyoal adalah Anggota Komisi I DPR RI Fadli Zon.
Dalam keterangan di akun medsos Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan, tak semua tokoh harus masuk dalam narasi kepres. Ia meminta publik untuk membaca naskah akademik yang memuat nama Soeharto dan nama-nama tokoh lainnya. Naskah akademik tersebut dapat diunduh di situs resmi Kementerian Dalam Negeri.
Naskah akademik yang disebut Mahfud menyebut soal PDRI di beberapa bagian, tapi tidak menegaskan bahwa serangan umum itu adalah sebagai bagian dari pemerintahan PDRI.
Bila ada yang terkait PDRI, hanya sedikit pada halaman 66 naskah itu. Disebutkan, ada teks berita tentang serangan umum yang dikirimkan ke markas PDRI di Sumatra Barat. Mr. Sjafruddin kemudian meminta petugas radio meneruskan kabar itu ke pos pemancar di Takengon, Aceh agar dikirimkan ke radio di Myanmar dan India serta disebarkan ke seluruh dunia.
Menurut Mestika, yang diterima Sjafruddin di basisnya di Bidar Alam adalah laporan. "Stasiun radio/telegrafis PHB yang dipimpin Raden Sumadi yang diperbantukan pada gubernur militer menyiarkan berita mengenai pertempuran dan mengirimkan laporan kepada Panglima Besar Sudirman dan Ketua PDRI di Sumatra," tulisnya.
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Andalas Charles Simabura mengatakan, salah satu yang bisa digarisbawahi setelah membaca naskah akademik adalah, bahwa kepres tersebut dibentuk karena selama ini historiografi SU 1 Maret cenderung menonjolkan serta mengkultuskan perorangan sebagai tokoh sentral.
"Agak paradoks jadinya. Di satu sisi, kepres ada supaya jangan menonjolkan tokoh tertentu, tapi di sisi lain memunculkan nama-nama tertentu dan menghilangkan yang lain," katanya.
Sehingga, menurutnya, wajar bila kemudian muncul protes dan memantik polemik. "Kelemahannya, akan ada nama yang terlupakan, terlepas apakah itu sengaja atau tidak," ujar Charles.
Ia mengatakan, kepres penetapan hari besar nasional tak perlu memuat nama-nama, sehingga terhindar dari bahasa yang sifatnya subjektif. "Tidak perlu menyebut nama, karena Kepres ini memang tidak ditujukan untuk nama tertentu, kecuali ini adalah penghargaan individual seperti pahlawan nasional," tuturnya.
Kepres perayaan hari besar nasional, menurut Charles, cukup memuat landasan sosiologis, filosofis,
yuridis dan historis. "Semestinya cukup berisi urgensi penetapan hari besar nasional itu, mengapa keputusan itu lahir, aspek historis, peneguhan kembali rasa kebangsaan dan aspek-aspek lain yang ingin dituju. Tak perlu menyebut nama."
Charles meminta pemerintah merujuk Kepres Nomor 28 Tahun 2006 tentang Hari Bela Negara. "Lihatlah Kepres Hari Bela Negara, tak satu namapun ada di sana. Meski kita tahu dari sejarah, tokoh sentralnya adalah Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Tapi karena Kepres itu bukan khusus untuk beliau, tak ada nama beliau di situ."
Sementara, kepres nomor 2 tahun 2022 malah menambahkan nama-nama tokoh yang tak sesuai fakta sejarah. Kemudian, seperti melupakan keterkaitannya dengan sebuah pemerintahan darurat yang dibiayai oleh rakyat selama tujuh bulan dari pelosok rimba Sumatra. (HM)