Kolom-Langgam.id - Puluhan kuburan yang berada tidak jauh dari bibir pantai jatuh masuk ke laut dan tulang belulang manusia berserakan di pantai, saat terjadinya abrasi besar-besaran di Pantai Padang. Peristiwa dramatik tersebut terjadi pada tahun 1972, seperti dilaporkan oleh majalah Ganto No. 14, 1973 dalam artikel berjudul “Laju Erosi Pantai Padang Berhasil Dihentikan.”
Abrasi telah menjadi masalah klasik Pantai Padang. Posisinya di pantai barat Sumatera membuatnya berhadap-hadapan dengan ombak Samudra Hindia yang ganas. Sampai pada 1973, berdasarkan informasi dari majalah yang sama, laju abrasi Pantai Padang mencapai 2,2 meter per tahun.
Usaha pertama pemerintah Sumatera Barat untuk mengatasi masalah abrasi dilakukakan pada 1964. Saat itu, dam darurat untuk menahan hantaman ombak mulai di bangun di sepanjang Pantai Padang, mulai dari muara Batang Arau sampai ke Muara Banjir Kanal. Pembangunan dam darurat ini terus dilanjutkan sampai 1968-1969. Walau begitu, pembangunan dam darurat tersebut belum cukup menolong. Dalam waktu empat tahun saja, dam darurat tersebut telah retak dan tergerus. Sehingga, sejak tahun 1969 tanggul sistem grip mulai dibangun.
Namun sistem grip berupa tanggul pantai dengan konstruksi bongkahan-bongkahan batu gunung dan bongkahan kubus beton itu pun belum mampu menjinakkan kuatnya ombak Samudra Hindia. Karena itu, tumpukan batu grip beranjung (groin) yang menjorok ke laut sejauh 25 meter, mulai dibangun pada 1973, setahun setelah abrasi besar pada 1972. Keseluruhan proyek menjinakkan ombak ini menghabiskan dana sebesar 206 juta rupiah.
Strategi membangun tanggul dari tumpukan batu grip dan groin untuk menjinakkan ombak ini sebetulnya adalah fenomena tersendiri pada zamannya. Pada masa-masa sebelumnya, Pantai Padang belum mengenal teknologi modern semacam itu. Pemerintah negara kolonial Belanda yang menjadikan Pantai Padang sebagai pusat perdagangannya, hanya berurusan dengan pembangunan pelabuhan, kanal-kanal, sistem pertahanan, gedung-gedung pemerintah, serta infrastruktur penopang eksploitasi lainnya, tanpa memperhatikan masalah abrasi.
Pada masa kolonial itu juga pernah terjadi abrasi besar-besaran. Daya rusaknya sangat luar biasa. Tanpa tanggul pantai dan groin, ombak bahkan mampu menggerus sebuah bukit buatan. “Tepat di ujung jalan Nipah, dulu terdapat tujuh buah meriam VOC dalam posisi setengah lingkaran menghadap kelaut. Meriam itu dibongkar pada 1988 dan bekas tempatnya diubah menjadi bukit kecil yang ditanami rerumputan yang cantik. Pada tahun 1907, bukit bagus ini berikut rumah kecil di atasnya dan bangku-bangku tempat bersantai, separuhnya hancur oleh terjangan ombak. Begitu pula dengan taman bagus yang terdapat di utara bukit buatan ini,” tulis Rusli Amran dalam "Padang Riwayatmu Dulu" (1986, 15).
Hari ini abrasi kembali menjadi masalah. Sejak beberapa waktu belakangan, pantai Muaro Lasak digempur ganasnya ombak Samudra Hindia. Sistem grip yang melindungi kawasan tersebut, baik yang berjejer di sepanjang pantai mau pun groin yang menjorok ke laut, tidak berdaya dibuatnya. Pondasi Monumen Merpati Perdamaian yang belum sampai berdiri lima tahun itu, kini terancam. Tidak itu saja, kawasan lainnya di sepanjang Pantai Padang juga tengah terancam.
Saat ini, pemerintah tengah mengatasi persoalan tersebut. Karung-karung pasir untuk mengantisipasi semakin tergerusnya bibir pantai nampak ditumpuk di sekitar pantai Muaro Lasak. Penggunaan karung-karung ini sifatnya masih sementara.
Pemerintah sendiri, berdasarkan rekomendasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), menyatakan tidak akan menggunakan lagi sistem grip sebagai solusi masalah abrasi. Letak Padang yang termasuk dalam kawasan rawan bencana Tsunami, jutru membuat batu-batu grip menjadi bahaya seandainya terjadi Tsunami. Batu-batu itu dapat berubah menjadi seperti pisau dalam blender. Sampai pada tahun 2013 saja terdapat 388 ribu kubik batu grip, yang tersebar di sepanjang Pantai Padang. Bayangkan, pisau blender raksasa macam apa yang dapat tercipta dari tumpukan batu sebanyak itu.
Sebagai solusi, ke depan, pemerintah berencana mengganti sistem grip dengan vegetasi, seperti bakau dan pohon cemara udang yang dapat menahan abrasi serta efek merusak dari tsunami. Hal ini jelas harus didukung. Namun, pemerintah sendiri perlu konsisten dengan benar-benar menghentikan proyek pemasangan batu grip yang berbahaya itu di sepanjang pantai Sumatera Barat. Termasuk pembangunan sistem grip dengan anggaran miliaran rupiah di Pariaman, yang rencananya akan terus dilaksanakan.
Tanggul pantai dan groin dari batu grip sebagai teknologi penjinak ombak, memang sudah saatnya ditinggalkan dan diganti dengan cara baru seperti pemanfaatan vegetasi tadi. Laporan bernada optimis dalam majalah Ganto No. 15 Tahun 1973 yang berjudul “Laju Erosi Pantai Padang Berhasil Dihentikan” di atas, menunjukkan keberhasilan pada masanya sendiri. Keberhasilan sistem grip adalah suatu pencapaian pada masa lalu. Jaman terus berubah, kesadaran pun terus berubah. Kini kita menyadari bahwa batu grip menyimpan bahaya. Dan kini terbukti pula bahwa sistem yang dipakai lebih dari empat dekade itu, ternyata tidak berhasil menghentikan abrasi untuk selama-lamanya.
*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Andalas. Saat ini bergiat bersama komunitas menulis Lab. Pauh 9, Padang.