Langgam.id - Nagari Pagadih memiliki luas wilayah 6.500 hektare. Nagari ini terletak di Kecamatan Palupuh, Kabupaten Agam dan berbatasan langsung dengan Nagari Koto Tinggi di Kecamatan Gunung Omeh, Kabupaten Lima Puluh Kota.
Nagari ini terdiri dari lima jorong, yaitu Jorong Pagadiah Mudiak, Jorong Pagadih Hilia, Jorong Pagadih Banio Baririk, Jorong Tigo Kampuang, dan Jorong Bateh Gadang. Wali Nagari Pagadih Aliwar mengatakan Nagari Pagadih dihuni 542 kepala keluarga dengan 2.016 jiwa.
Kepada rombongan peserta pelatihan jurnalisme warga “Muda Melangkah” WRI Indonesia di depan Kantor Wali Nagari Pagadih, Rabu (31/8/2022), Aliwar menceritakan asal-usul Nagari Pagadih. “Dimulai dari kedatangan enam orang niniak dari Kamang yang datang bersama kaumnya pada awal abad ke-19,” katanya.
Keenam tokoh niniak yang dirajakan tersebut adalah Datuak Rajo Imbang (Suku Sikumbang), Datuak Rajo Nagari (Suku Koto), Datuak Rajo Ruhum (Suku Tanjung), Datuak Panduko Sati (Suku Melayu), Datuak Rajo Panawa (Suku Pili), Datuak Rajo Pangulu (Suku Bodi)” Jelas Aliwar yang fasih berbahasa Inggris.
Menurut Aliwar nama “Pagadih” berasal dari suatu peristiwa ketika Inyiak Bodi menancapkan tongkat dari kayu beringin. Sambil menancapkan tongkat tersebut ke tanah, ia berucap atau berseru, “Paga, dih!”. Itu bahasa Minang yang artinya, “Pagar, ya! Tujuannya agar negeri itu “dijaga” atau “dipagar”.
Setelah tongkat kayu beringin itu ditancapkan maka tumbuh menjadi pohon beringin yang besar. Pohon tersebut masih ada hingga dan dijadikan “titik nol” Nagari Pagadih. Kini di bawah pohon beringin besar itu ada tiga makam tokoh dari Nagari Pagadih. Salah satunya adalah makam wali nagari pertama Pagadih.
Nagari Pagadih salah satu desa terisolir di Indonesia. Nagari ini berada jauh di pedalaman. Akses transportasi dan komunikasi sangat terbatas, karena kurangnya infrastruktur jalan yang layak dan tidak ada jaringan komunikasi.
Kepala Jorong Banio Baririk Rosmi Pesra mengatakan sudah 48 tahun usianya belum pernah menemukan jalan beraspal di kampungnya. “Urang manyabuik jalan Pagadih ko batang ayie kariang (Orang menyebut jalan di Pagadih ini badan sungai yang airnya kering),” ujarnya.
Rosmi menceritakan pengalaman pahit akibat kondisi jalan yang jelek itu. Ada perempuan di Nagari Pagadih yang hendak melahirkan, namun terlambat sampai ke Puskesmas dan menyebabkan ibu beserta anak dalam kandungannya meninggal dalam perjalanan.
Baca Juga: Di Balik Mangkraknya Museum PDRI, Alot Sejak Penentuan Lokasi
Wali Nagari Pagadih Aliwar juga menceritakan pengalaman pahitnya melewati jalan utama keluar dari nagarinya.
“Saya mengalami kecelakaan tunggal menuju Bukittinggi pada Sabtu, 12 Desember 2010 pukul 14.45 WIB untuk memperjuangkan perbaikan jalan di Pagadih, selama sembilan hari saya koma dan 99 persen orang mangganggap saya sudah meninggal,” kata Aliwar sambil mengusap air mata yang sudah tak mampu lagi ia bendung.
Perekonomian masyarakat Nagari Pagadih masih sangat bergantung kepada alam. Aktivitas utama masyarakat adalah bertani. Namun karena rendahnya sumber daya manusia dan infrastruktur yang masih minim menyebabkan masyarakat belum bisa memanfaatkan hasil pertanian dengan baik. Potensi ekonomi lokal tidak berkembang.
“Selama ini kami bertani kopi yang kami tahu, tanam kopi bisa panen bisa dapat uang, ternyata ada cara-caranya supaya bisa menghasilkan kopi yang baik dengan nilai jual yang tinggi,” kata Rosmi.
Sehari di Nagari Pagadih dalam kegiatan “Muda Melangkah” yang difasilitasi oleh WRI Indonesia dan Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, kami nyaris tak menemukan anak muda Nagari Pagadih.
“Jangan heran jika kalian jarang menemukan anak muda di Nagari Pagadih, karena mereka lebih memilih untuk merantau keluar, mereka merasa tidak punya harapan untuk tinggal di kampung,” kata Rosmi.
Nagari Pagadih yang dikelilingi perbukitan dengan segala keindahan dan kekayaan alamnya ternyata juga menyimpan sejarah era Kemerdekaan Republik Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya rekam jejak sejarah yang masih bisa ditemui.
Nagari Pagadih pernah menjadi tempat persembunyian para pejuang pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) 1948. Syafruddin Prawiranegara yang saat itu memimpin PDRI memiliki rumah singgah di Nagari Pagadih. Di rumah gadang khas Sumatera Barat tersebut Syafruddin pernah mencetak uang kertas.
Rumah tua itu masih bisa ditemukan saat ini, hanya saja kondisi bangunannya memprihatinkan karena tak terawat. Melihat rumah itu cukup merefleksikan ingatan kita.
Tak jauh dari rumah itu terdapat gua Bukik Ngalau. Gua itu juga pernah dijadikan tempat persembunyian para pejuang saat bergerilya menghindari serangan tentara Belanda.
Nagari Pagadih memang memiliki keindahan dan kekayaan sejarah. Banyak potensi yang bisa dikembangkan seperti wisata alam, pemanfaat jasa lingkungan, dan objek wisata historis yang mengedukasi tentang sejarah Kemerdekaan Republik Indonesia.
Namun amat disayangkan, semua potensi tersebut tidak terekspos karena keterbatasan akses transportasi dan jaringan komunikasi yang masih sangat perlu diperhatikan. “Hingga saat ini kami masih Tiga T, Tertua, Terjauh, dan Tertinggal,” kata Aliwar. (Misrayanti)
Misrayanti dari Sungai Telang, Bungo, Provinsi Jambi adalah peserta Pelatihan Jurnalisme Warga “Muda Melangkah” WRI Indonesia di Bukittinggi, 2022.